Banjirembun.com - Bukan maksud tak berempati pada pihak yang sedang dirundung masalah. Sebab, saya sendiri juga punya masalah. Namun, saat ini masalah yang saya hadapi masih kalah, dibanding rasa syukur setelah menjalani hidup baru terlepas dari cengkraman hidup penuh siksa batin.
Sebagaimana manusia umumnya, pasti masing-masing punya problem kehidupan. Bedanya, masalahnya kecil atau besar. Berdampak sistemik atau hanya sederhana. Ada yang membackup sepenuhnya atau tak ada yang membantu sama sekali.
Terkadang, sebesar apapun masalah kehidupan, berhubung hati sedang mengalami bahagia luar biasa, seolah sirna dan tak terjadi apa-apa. Bahkan, selera makan justru jauh lebih meningkat dari sebelumnya. Badan menjadi mudah berisi.
Lebih lanjut, masalah hidup yang saya hadapi bukan cuma satu. Melainkan beberapa, yang malahan mayoritasnya melibatkan orang terdekat. Enggak perlu saya detailkan seperti apa permasalahan itu. Intinya, berkepanjangan dan membuat saya trauma.
Kini, saya telah mulai terbebas dari masalah hidup lain yang tak kalah jauh bikin membebani hati. Setidaknya, kondisi mental saya terasa ringan dibandingkan sebelumnya. Walau sebenarnya, masih ada masalah kehidupan berbeda, yang menanti untuk saya dapatkan solusinya.
Cukup Makan Tanpa Bumbu Bervariasi dan Tak Berlauk Mahal, Sudah Bikin Lahap Makan
Orang yang sedang bahagia cenderung mudah bertambah berat badannya. Namun, apakah orang gemuk sudah pasti hidupnya bahagia? Jawabannya, belum tentu. Sebab, kadang tubuh gemuk hanya sebuah pelarian diri dengan cara banyak makan.
Orang bertubuh tambun pun, bisa disebabkan pola asuh yang salah pada masa kecil maupun saat usia remajanya. Dapat pula, akibat pola hidup yang tak sehat. Makan sembarangan. Bukan sekadar tentang porsi, melainkan bahan makanan yang banyak mengandung kalori.
Dalam kasus saya, peningkatan berat badan, mayoritasnya dikarenakan hati bahagia. Pernah sih, satu kali seumur hidup mengalami kenaikan timbangan badan ugal-ugalan. Dari berat badan sekitar 75 kg dalam kurun tak lebih dua tahun menjadi kisaran 110 kg.
 |
Ilustrasi individu dengan berat badan 110 kg lebih (sumber foto koleksi pribadi) |
Hal tersebut, terjadi di awal pernikahan pada tahun 2017 hingga 2019. Kala itu, selain hati bahagia bisa lepas dari gangguan orang yang bikin trauma, diakibatkan pula karena saat pengantin baru, istri terlalu sering merekomendasikan atau malah kadang cenderung memerintah membeli masakan tak sehat.
Di antara makanan yang saya beli yaitu martabak manis atau terang bulan, nasi goreng, sate, jajanan gorengan, ayam goreng bertepung, dan makanan tak menyehatkan lainnya. Kadang, istri sengaja membeli dobel dan dia tak mau makan. Pikir saya, ketimbang mubazir, akhirnya saya habiskan sekalian.
Ketika istri memasak di dapur pun, masakannya juga sungguh tak menyehatkan. Terlalu asin, sangat manis, dan ada rasa yang sangat aneh lainnya. Saya curiga, dia memang sengaja membuat masakan seperti itu. Entah tujuannya apa? Beruntung saya tak marah. Bisa menahan diri.
Sebab, berkali-kali saya berkomentar ketika memakan masakan buatan istri yang rasanya aneh itu, dengan entengnya dia selalu membela diri berkata-kata kurang lebih intinya sama "Ya begitu, kalau hati lagi suasana buruk, efeknya rasa masakan ikut terimbas."
Alhamdulillah, setelah mengalami pandemi 2020, saya menjadi lebih tahu tentang pentingnya menjaga kesehatan. Saat itu pula, saya bertekad menurunkan berat badan. Ajaibnya, dalam tempo kurang dari satu tahun, berat badan saya pada pertengahan 2021 anjlok menjadi 74 kg.
Lebih jauh, ketika saya masih hidup bersama istri, makanan yang saya masak sendiri di kompor minyak tanah, racikan bumbu dan bahannya hampir sama dengan yang sekarang. Bahkan, mungkin lebih variatif dan bermutu dibanding sekarang. Namun, saat itu selera makan saya biasa-biasa saja.
Kini, tatkala uang saya sedang "merana," membikin saya harus berhemat keras, nyatanya selera makan saya naik drastis. Lauk sederhana, semisal sambal dan sayuran direbus, sudah mampu menaikkan selera makan saya menjadi lahap.
Ketika lagi mood masak nasi pun (saya sengaja mengurangi memakan nasi putih demi kesehatan), kerapnya saya cepat menghabiskannya. Memang, apakah sungguh betul begitu berpengaruhnya efek bahagia terhadap peningkatan nafsu makan?
Tulisan ini dibuat bukan untuk menyalahkan orang lain. Tentulah, bukan pula menghardik takdir. Namun, sebagai bentuk saya mengevaluasi diri. Kenapa saya gampang dibodohi orang lain?
(*)
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Selera Makan Saya Sedang Naik Drastis, Bukan Disebabkan Kelaparan, tetapi karena Hati Berbahagia"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*