Banjirembun.com - Momen bulan Ramadan merupakan salah satu periode kehidupan yang melahirkan banyak kenangan tak terlupakan. Salah satunya yaitu saat saya melihat seorang pria bersama anak kecilnya yang berjamaah sholat Ashar.
Anaknya, walau masih belia berusia kisaran 5 tahun, sungguh menunjukkan perangai orang dewasa. Tidak pecicilan alias enggak banyak gerak, banyak mau, maupun bersuara nyaring. Tatapan matanya juga seolah terkontrol tanpa disertai rasa penasaran.
Saat pria itu ingin menata barisan sholat sebelum takbir pertama, cukup dengan menyentuh pundak si kecil. Begitu pula, ketika sholat sunnah sebelum jamaah, sang anak mampu melakukan gerakan sholat dengan lihai layaknya orang dewasa.
Perlu diketahui, saat bulan ramadhan itu, saya bertemu dan melihat pria bersama anaknya beberapa kali. Semua pertemuan yang tanpa disertai ucapan lisan itu berada di Masjid yang sama. Selain bertemu kala jamaah sholat Ashar, kadang pula di waktu sholat Dhuhur.
Singkat cerita, entah kenapa hati ini tergerak untuk mengikuti pria tersebut sampai ke rumahnya. Barangkali, sebabnya saya tak sengaja melihat dia beserta anaknya menuju tempat parkir sepeda motor di area Masjid.
Pria dan anaknya tampak di parkiran menaiki sepeda jawa kuno butut yang disebut sepedah unto. Sang anak begitu tenang dan percaya betul pada pria yang memboncengnya.
Saya yakin, pria itu memakai sepeda kayuh bukan untuk menikmati seni kehidupan. Bukan pula untuk cari perhatian. Akan tetapi, memang yang dimiliki hanya itu. Tak ada kendaraan lain.
Sontak, hati saya terenyuh. Niat ingin bersantai di teras Masjid saya urungkan. Saya tergerak untuk menelusuri.
Setelah mengetahui pria itu membonceng anaknya keluar pintu gerbang Masjid, saya lekas menuju sepeda motor. Sesudah tahu pasti arah keluarnya ke mana, saya fokus memakai pelindung dada dan memakai jaket di atas sepeda motor.
Saya membuntuti pelan dan menjaga jarak cukup renggang. Terpenting saya sudah tahu arah beloknya ke mana, barulah saya tancap gas agar tak kehilangan jejak.
Ternyata, tempat tinggalnya cukup dekat dengan Masjid. Berhubung rute jalannya berbelok-belok membuat kesan jauh dan sulit pergi menuju dan pulang dari Masjid.
Tempat tinggalnya sederhana. Melihat itu, hati saya semakin tersentuh. Saya ingin sekali bertamu ke rumahnya untuk bersedekah.
Saat itu, memang saya belum punya uang banyak, jumlah tabungan juga masih sedikit. Akan tetapi, nominal duit di saku, menurut saya masih cukup pantas untuk didermakan.
Sayangnya, entah bisikan setan atau memang saya yang waktu itu masih minim pengalaman (ini kejadian di tahun 2011-an atau sekitar 14 tahun lalu), akhirnya saya putuskan batal putar balik menuju rumahnya.
Disertai gumam di hati "Ah, lain waktu juga masih bisa datang ke rumahnya."
Nyatanya, sampai sekarang saya tak pernah bertemu maupun bertamu ke rumah pria tersebut. Bahkan, saat kondisi keuangan saya sedang jaya-jayanya, tetap saja tak terbesit ke sana.
Maklum, selain jarak waktu yang sudah lama, saya juga sudah pindah luar kota. Saya juga amat jarang sholat di Masjid tersebut saat pulang kampung.
Kini, kondisi keuangan saya terpuruk. Aneh memang, saat miskin justru teringat pada orang yang pernah saya rencanakan untuk disedekahi.
Semoga saya segera memperoleh rezeki yang cukup melimpah. Dengan itu, saya bertekad datang ke rumahnya.
Kendati demikian, saya berdoa semoga nasib perekonomian mereka terangkat.
Mungkin anak kecil itu sudah gede. Sudah enggak pantas lagi saya beri uang saku. Biarlah orang tuanya yang menerima. Kalau memang sudah jadi kalangan kaum berada, ya saya bersyukur Alhamdulillah.
Semoga harapan saya terwujud.
(*)
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Saya Masih Ingin Bertemu Kembali dengan Pria Tersebut"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*