Banjirembun.com - Jangan tolak makanan, nanti kualat. Jangan sia-siakan membuang makanan, mubazir itu sahabat setan. Hargailah makanan, walau sebutir nasi, itu tetaplah makanan, bukan kotoran!
Dogma dan norma kebiasaan semacam tiga kalimat di atas, mungkin pernah diterima oleh sebagian pembaca budiman. Baik itu, yang disampaikan oleh ibu kandung ataupun sesepuh di kampung.
Sesungguhnya, pesan moral tentang anjuran untuk tidak mengabaikan maupun membuang makanan sangatlah berguna. Setidaknya, wajib dipakai saat memasak dan memakan di rumah sendiri.
Adapun, terkait hidangan yang masih bersangkut paut dengan orang lain, mesti disesuaikan dengan tradisi. Tentulah, juga tak perlu memaksa diri kalau memang berisiko tinggi.
Banyak hal, kenapa disarankan meminimalkan atau malah menolak secara sungguh-sungguh, semua makanan yang diberikan serta dihidangkan oleh orang lain.
Bukan cuma alasan sungkan lantaran takut dibilang serakah, rakus, tak tahu tata krama, kelaparan, atau semacamnya. Namun, menyangkut pula dengan aspek risiko kesehatan.
Mulai dari mual, diare, alergi, imunitas tubuh menurun, sampai risiko penyakit kronis. Parahnya, risiko menerima sebuah penghinaan serta kematian jangka pendek dan menengah pun bisa terjadi.
Contoh penghinaan dari sajian makanan berupa ada paku di dalam tempe atau jenis lauk lain, terdapat rambut, ada isi staples, terdapat gelang karet, dan beberapa hal lain yang tak mengenakkan.
Kasus menghinakan di atas, sesuatu yang masih nampak. Bagaimana kalau makanan yang diberikan sebelumnya telah diludahi, diberi kotoran kecil, atau dikasih sesuatu yang sulit untuk disadari secepatnya?
Sadisnya lagi, takutnya makanan itu diberi racun baik yang mematikan ataupun yang slow release. Nah, ujung-ujungnya nanti dikatakan disebabkan terkena santet. Bisa pula, difitnah akibat gagal memenuhi tumbal pesugihan.
Padahal, keadaan sakit maupun kematian di atas diperbuat oleh orang yang meracuni lewat makanan. Di mana, ada kasus nyata tentang hal itu yang sudah ditindak polisi. Lebih jelas, silakan tonton dua video di bawah.
Nah, dalam kasus saya, alasan saya menolak pemberian makanan oleh tetangga saya ialah karena saya sudah memasak dengan porsi tersedia lebih dari cukup. Berhubung, masakan bikin saya takut terbuang sia-sia, akhirnya saya tolak secara halus.
Alasan lainnya yaitu saya terkena penyakit yang mewajibkan saya untuk menghindari mengonsumsi hidangan sembarangan. Berhubung, sepertinya bawaan tetangga mirip bingkisan jajan dan nasi kotak, akhirnya saya putuskan menolak.
Saya meyakini, isi jajan itu ada roti-rotian berbahan terigu. Begitu pula, isi nasi kotak dikhawatirkan ada bahan makanan tertentu yang mesti saya hindari. Lalu, buat apa saya terima kalau akhirnya tak semuanya saya makan?
Beruntungnya, tetangga saya memaklumi disertai memberi senyuman. Lantas pamit dengan wajah menunjukkan keteduhan.
(*)
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Alasan Saya Menolak Bingkisan Nasi dan Kotak Jajan dari Tetangga"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*