Banjirembun.com - Cerita ini masih berhubungan atau boleh dibilang melanjutkan dari tulisan saya sebelumnya yang berjudul "Pengalaman Pribadi, Difitnah Istri telah Menganiaya, Padahal Marah Besar Tanpa Main Tangan."
Perkenalkan, sebut saja nama saya Kode X. Tentulah, itu nama samaran. Dengan maksud demi menjaga privasi saya sendiri maupun menjaga nama "baik" istri saya yang tak boleh saya jatuhkan martabatnya sebagai insan.
Perceraian merupakan musibah. Apapun alasannya. Baik itu dengan dalih pisah secara damai tanpa konflik maupun yang "harus" didahului lempar kesalahan yang menjadi sebab-sebab terjadi perpisahan.
Sebenarnya, saya dengan istri sepakat pisah baik-baik tanpa perlu adu argumen untuk menunjukkan kebenaran dan kebaikan diri sendiri. Di mana, istri yang menggugat cerai ke Pengadilan Agama.
Kesepakatan pisah secara baik-baik itu terjadi sesudah tanggal 27 Desember (tahun saya rahasiakan). Hari di mana saya di dalam hati sangat merasa lega bakal bisa pisah dengan istri. Akan tetapi, tidak saya tunjukkan pada istri seperti apa isi suasana hati tersebut.
Gugatan yang dilayangkan istri di atas sejujurnya juga atas permintaan saya sendiri. Istri saya "tantang" bercerai ketika saya sedang marah dengan nada suara cukup tinggi di malam hari. Kalau tidak salah tanggal 14 Desember (tahun saya rahasiakan).
Pada tanggal 27 Desember, saya kaget. Ternyata, hari itu merupakan jadwal panggilan sidang perceraian yang pertama dari Pengadilan Agama. Di pagi hari itu, saya diberitahu istri secara mendadak. Entah apa alasannya seperti itu?
Undangan sidang perceraian tidak saya terima sendiri dari kurir paket Pos Indonesia. Melainkan diterima istri beberapa hari sebelumnya, tanpa diberitahukan secepatnya kepada saya. Baru di pagi hari saat hari H sidang pertama (tanggal 27) undangan disampaikan pada saya.
Padahal, kami masih tinggal serumah. Selain itu, istri juga sudah mengirimkan gugatan perceraian pada tanggal 16 Desember (kisaran dua hari sesudah saya "tantang" bercerai). Namun, gugatan itu juga tak diberitahukan pada saya.
Intinya, istri main slintutan dan baru saya sadari sekarang, ternyata istri punya alasan tertentu kenapa slintat-slintut begitu. Alasan istri itu, sementara masih saya simpan dulu.
Kembali ke topik tulisan ini, kenapa saya tidak menceraikan (cerai talak ke Pengadilan Agama) istri sejak lama? Jawabannya, saya uraikan di bawah ini:
1. Saya yang usul menikahi istri kepada orang tua kandung saya dengan iming-iming supaya bisa segera lulus kuliah S3. Dengan harapan, mungkin akan diarahkan oleh istri karena istri sudah lulus S3.
2. Mertua tidak pernah ikut campur rumah tangga kami. Jangankan berkomentar, mertua tidak pernah memerintahkan maupun mengatur-atur. Termasuk tidak pernah sama sekali datang ke rumah istri kecuali saat Hari H ijab kabul yang sesudah itu tak pernah lagi datang. Andai mertua berkomentar saja (tidak harus sampai memerintah atau mengatur-atur) saya berkemungkinan besar menceraikan istri sudah dari dulu. Saya tidak menceraikan istri juga sebagai wujud balas budi pada mertua (terutama bapak kandung istri).
3. Sebagai lelaki, pantaskah menceraikan istri yang telah memberikan pengalaman hidup di tengah kekurangan yang juga saya miliki? Setiap insan punya kelebihan dan kekurangan. Kalau seseorang mampu introspeksi diri secara benar, bakal mudah menemukan kelemahan diri dan sebaliknya gampang melihat keunggulan orang lain. Bukan cuma itu, sebagai makhluk sosial, tentu harus punya empati dan tahu arti balas budi.
4. Kasihan istri kalau diceraikan, bisa berakibat kehilangan muka. Kenapa suami menceraikan istri? Khawatir ada dugaan berupa "Pasti ada 'sesuatu' pada istrinya." Serta tentunya, dengan sifat istri yang "seperti itu," takutnya ada dendam membara kepada saya.
5. Saya juga menghindari dibilang atau dicap oleh pihak yang saya kenali maupun yang mengenal istri menyebut saya dengan perkataan "Habis manis sepah dibuang." Sesudah merasa menikmati hidup bersama istri, kok tega-teganya menceraikannya begitu saja.
Itulah sedikit curhat dari saya. Semoga dapat menjadi pengalaman bagi semua. Setidaknya, mengetahui bahwa sifat dan kelakuan manusia sulit untuk kita duga-duga.
Terlanjur berprasangka baik, ternyata justru sebaliknya. Begitu pula, sudah berprasangka buruk, nyatanya salah dalam menduga.
(*)
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Urun Unek-unek, Mengapa Saya tak Menceraikan Istri Sejak Lama?"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*