Banjirembun.com - Anak yang dibuang. Lebih tepatnya menyebut dengan bahasa jawa "dibuwak karo wong tuwane." Itulah ungkapan yang pernah dilontarkan oleh tetangga, yang begitu ringannya tangan mengetik tulisan di aplikasi pesan singkat. Kalimat tersebut dihujamkan di grup Whatsapp lingkungan RT alias Rukun Tetangga.
Oh ya, perkenalkan nama saya RX Mberick. Tentu bukan nama sebenarnya. Sekadar nama samaran demi menjaga nama baik keluarga. Lagian, saya juga setuju dengan falsafah jawa "Mendem jeru, mikul duwur" yang bermakna sebuah nasihat menjaga nama baik orang tua. Sembunyikan buruknya dan angkat tinggi kebaikannya.
Baca juga: Anak yang "Dibuang" oleh Orang Tua Maupun Berstatus Yatim Piatu Dapat Berubah Jadi Kekuatan Mematikan
Bagi saya, penyebutan "anak terbuang" merupakan hal yang biasa. Dengan alasan sejak kecil saya memang sudah teramat kenyang diperlakukan orang tua yang memang begitu. Hanya saja, yang saya heran, kenapa di grup lingkungan warga kok mau-maunya mengurusi masalah pribadi individu. Terlebih lagi persoalan dengan keluarga dekat.
Memangnya apa permasalahan keluarganya sendiri sudah beres? Apatah dia tak sadar bahwa perkataan itu akan menjelekkan nama orang tua saya? Akan timbul persangkaan berupa "Kok ada orang tua yang tega membuang anaknya. Kok jadi orang tua enggak mau bertanggung jawab." Tentu, mereka mungkin pula berprasangka dengan menyebut bapak dan ibu saya telah gagal menjadi orang tua.
Syukurnya, saya pernah mendengar nasihat yang berujar "Jangan hanya memahami apa yang dikatakan, tetapi pahami juga apa tujuan di balik perkataan itu serta pahami juga siapa saja yang mendengarnya. Boleh jadi, apa yang dikatakan itu bukan bermaksud merendahkanmu maupun menyerangmu. Melainkan mengadu domba."
Sakitnya Menjadi Anak yang bukan Harapan Orang Tua Semenjak Lahir sampai Dewasa
Bagi saya, menjadi seorang anak yang tak diinginkan kelahirannya sehingga sepanjang hidup diabaikan serta tidak diperlakukakan semestinya oleh orang tua adalah pengalaman yang amat menyakitkan. Salah satunya, berdampak trauma masa kecil yang terus membekas hingga sekarang.
Sebenarnya, saya dahulu sempat bingung kenapa ibu saya enggak mengharapkan kelahiran saya? Setelah saya dalami, salah satu hal temuan menarik yaitu kelahiran saya telalu mepet dengan kakak kandung nomor tiga. Jaraknya tidak lebih dari setahun. Padahal, kakak saya yang sulung dengan kakak saya yang nomor dua rentang kelahirannya cukup terbilang jauh.
Efek buruk yang mengganggu kesejahteaan emosional saya tersebut terjadi secara mendalam dan jangka panjang. Bagaimana tidak? Saat saya mendapat penolakan dan perundungan dari teman sebaya masa kecil, bukan malah dibela atau setidaknya ditenangkan, justru diimbuhi pengabaian dan kadang penolakan dari orang tua.
 |
Ilustrasi individu korba kejahatan orang tua (Sumber pixabay.com) |
Orang tua yang semestinya menjadi pusat dukungan emosional, sebagai sumber kasih sayang, mencari kenyamanan, menambatkan perasaan sedih dengan berkeluh kesah, dan tempat untuk menimba ilmu sayangnya yang ada malah berbuat jahat. Boleh dikata, saya kehilang figur seorang ibu yang utuh seperti umumnya yang diperoleh anak-anak lainya.
Hal tersebut membikin saya kebingungan, meragukan diri sendiri layak tidak untuk dicintai, kesulitan dalam membangun identias diri yang tentunya juga tak mudah menemukan jati diri, gampang cemas dengan bagaimana nasib di masa depan nanti lantaran takut orang tua tak memberi dukungan, merasa tak dihargai sebagai manusia, dan sering gagal dalam memahami diri sendiri maupun dunia.
Di antara kejahatan orang tua sebut saja seperti mengintimidasi, menjatuhkan harga diri anak, mempermalukan anak dengan berbuat seenaknya tanpa peduli "nama baik" anaknya, membiarkan anak atau kadang menyingkirkan anak yang dalam keadaan sendirian, hingga membuat anak menjadi pribadi yang kerap menyalahkan diri sendiri.
Berbagai sikap orang tua, yang sebagian telah disebutkan di atas, tentulah menyebabkan saya yang sudah dewasa ini mengalami gangguan perilaku. Misalnya, akibat sering dibentak yang disertai tatapan mata melotot sadis membikin saya mengalami masalah dalam berkomunikasi secara lisan.
Selain itu, walau saya bukan anti sosial yang tak punya empati, nyatanya saya terpaksa harus berkepribadian menutup diri. Bukan bermaksud tak peduli pada lingkungan. Akan tetapi, jiwa saya ini masih terlalu lemah dan "sakit" untuk ikut nimbrung dalam situasi yang kadang mengingatkan saya pada masa lalu.
Baca juga: 5 Cara Berbakti pada Orang Tua yang Jahat Terhadap Anaknya
Saya sudah kenyang disindir, dihina, dijatuhkan, dan dikucilkan oleh ibu saya. Hal itu berakibat ketika saya berinteraksi sosial membuat saya tidak mau lagi dibegitukan. Saya menginginkan suasana hubungan yang harmonis, tulus, dan saling mempercayai. Bukan seperti orang tua saya yang gemar berkhianat dan menyalahi janji.
Untungnya, semua perlakuan negatif di atas lebih dominan diterapkan oleh ibu saya. Adapun, bapak saya sifatnya lebih cenderung pasif dan menghendaki perdamaian. Jadi, sebenarnya saya tidak terlalu terisolasi. Sebab, sedari kecil bapak saya cukup mampu menjadi penawar dahaga jiwa. Meski itu tak sesegar ketika ibu yang memberikan.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Pengalaman Pribadi, Menjadi Anak yang Tak Diharapkan Kelahirannya dan Diabaikan Oleh Orang Tua"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*