Banjirembun.com - Istri kurang ajar. Itulah kalimat yang tepat yang patut saya berikan pada istri saya itu. Meski sedang tahap proses sidang perceraian gugat, selama Majelis Hakim belum memutuskan, saya tetap menganggap yang bersangkutan masih sebagai istri. Walau, saya pun sejatinya sejak lama juga ingin cerai dengannya.
Oh ya, perkenalkan nama saya sebut saja Kode X. Tentu, itu nama samaran. Hal tersebut, demi menjaga privasi saya serta melindungi nama "baik" perempuan yang menjadi istri saya. Intinya, saya tidak ingin pembaca berasumsi liar. Cukuplah tulisan ini sebagai pelajaran tanpa perlu ditelusuri mendalam.
Baca juga: Sebuah Kisah, Ketika Istri Kurang Ajar Berkoar-koar Seolah-olah Menjadi Korban Suaminya
Saya akui, setelah menikah dengannya, saya memiliki banyak pencerahan dan "kesadaran." Baik itu berupa ilmu, pengetahuan, wawasan, pengalaman, pelajaran hidup, dan lain sebagainya. Sebelum menikah, saya masih buta arah karena keterbatasan mental saya untuk berani out of the box dan faktor lainnya.
Sebelum menikah hingga di hari H ijab kabul, saya memiliki tabungan sekitar 32 juta. Angka itu dari hasil saya menabung semenjak kisaran tahun 2011-an sampai di pelaminan. Tanpa ada peran sama sekali dari istri. Sebab, perkenalan saya dengan istri sangat singkat. Jarak kenalan, lamaran "resmi," dan ijab kabul amat pendek.
Di mana, pada masa perkenalan saya beberapa kali diundang istri ke rumah adik kandungnya untuk saling kenal. Saat itu, istri tidak memberitahukan bahwa rumah yang ditinggali tersebut merupakan milik adiknya. Sebaliknya, justru mengesankan bahwa itu rumahnya hasil pemberian orang tuanya.
Di sisi lain, istri kala itu juga menginformasikan bahwa istri punya rumah yang belum dihuni di posisi pojok (hook). Letaknya sangat dekat dengan rumah milik adiknya.
Barulah setelah ada kesepakatan untuk serius menikah proses renovasi rumahnya sendiri dilakukan. Alhasil, saya beranggapan bahwa rumahnya ada dua dan istri tidak meluruskan itu. Malah yang ada terkesan menyembunyikan fakta atau informasi yang benar.
Berikutnya, istrilah yang mengajak saya menikah duluan yang ia sampaikan lewat telepon reguler. Sebab, saat itu saya tidak pakai smartphone. Melainkan HP Nokia non smartphone agar bisa fokus kuliah. Yang mana, istri menelepon beberapa kali dan SMS saya duluan.
Selain itu, istri telah menjanjikan saya akan dibelikan mobil Toyota Cayla turun dari dealer yang BPKB-nya atas nama saya dibeli lunas. Pendek kalimat, istri sangat canggih dalam memantapkan hati saya guna mau menikah dengannya. Diimbuhi, saat itu saya juga ingin lepas dari trauma perbuatan ibu kandung saya.
Bukan cuma itu, istri juga menginformasikan memiliki aset tanah kavling di perumahan lain. Tentulah, pada waktu itu saya yang masih naif merasa bisa tenang ketika kelak menikah dengannya. Ada peluang bagi saya untuk menjalani rumah tangga tanpa perlu pusing diganggu oleh mertua maupun orang tua.
Selanjutnya, uang tabungan yang saya sebutkan di atas sebagian saya gunakan untuk menafkahi istri setiap bulan (ditambahi gaji saya kerja kisaran 1,5 juta yang saya terima setiap 3 bulan sekali). Total nafkah pertama di awal nikah jika dihitung perbulan 1,5 juta.
Sebagian lain, uang tabungan itu saya gunakan untuk berwirausaha. Salah satunya budi daya tanaman Aglaonema. Sebagian lainnya lagi, untuk beli tiket pesawat jalan-jalan bersama istri ke beberapa kota lantaran ada urusan pekerjaan dan kegiatan organisasi.
Dengan biaya penginapan juga berasal dari saya pribadi, tetapi di penginapan lain yang harganya harus lebih murah dari hotel tempat menginap istri. Singkatnya, istri melarang saya menginap di hotel tempat istri sedang ada acara seminar atau agenda lain yang semacamnya. Padahal, itu rencananya bayar hotel "mewah" pakai uang saya sendiri.
Saya curiga istri menjelek-jelekkan saya di mata peserta seminar, teman kerja di acara tersebut, maupun teman organisasi yang mengadakan kegiatan tersebut. Lebih lanjut, akan saya uraikan di bawah tentang perilaku istri yang tak menghargai suami dan menjatuhkan harga diri suami di mata orang lain.
Sebagian lagi, uang tabungan itu saya investasi untuk beli kambing yang saya titipkan ke pemilihara di lereng gunung. Tepatnya, di atas perbukitan yang lebih atas daripada daerah rumah milik istri. Sisanya, salah satunya untuk pengembangan blog (website) pribadi saya yang jumlahnya lebih dari satu.
Menurut asumsi saya, di awal nikah, istri sangat menghendaki agar uang saya cepat habis tanpa ada tabungan lagi. Entah maksudnya apa seperti itu. Saya berpikiran bahwa istri tak mau kalah dan harus selalu di atas suami.
Singkat kalimat, istri mengintervensi dan mengganggu saya saat hendak berdikari. Setiap usaha saya dalam mencari uang kerap ikut campur dengan cara mengganggu berupa komentar sinis sehingga menjatuhkan mental saya.
Terbukti, saat saya investasi kambing justru digembosi yang akhirnya istri menyuruh saya mencabut (mengakhiri) lalu menarik uang investasi kambing kepada pemelihara. Di mana, bagi hasil laba total untuk saya 500 ribu seluruhnya saya berikan pada istri, sedang modal pokok saya bawa sendiri.
Termasuk pula, dalam menulis artikel di blog pribadi (website pribadi), istri juga mengatur sehingga saya tidak leluasa. Setiap saya update artikel baru istri selalu berkomentar yang menyebabkan saya tertekan. Dalam bentuk kata-kata merendahkan seperti "Buat apa menulis, memalukan saja kalau penghasilan sedikit."
Lebih lanjut lagi, sejak awal pernikahan, istri mengadu domba saya dengan teman kerja di kantornya (mengesankan kepada saya bahwa individu tersebut jahat). Padahal, saat bertemu pertama kali dengan teman kerjanya itu, saya sangat nyaman karena beliau sopan dan ramah.
Saya turut pula curiga (berasumsi), istri meminta cerai gugat ke Pengadilan Agama karena orang tua saya tidak mau membiayai haji untuk saya, agar bisa haji bareng dengan istri di tahun 2025 ini. Saya sudah didaftarkan haji oleh orang tua dengan biaya sebesar 25 juta pada akhir 2019 (sebelum pandemi).
Saya mencurigai istri iri dengki pada saudara kandung saya yang diberi fasilitas kijang Innova di rumah orang tua saya yang tinggal serumah. Sedangkan, kakak kandung saya yang lain diberi uang 300 juta untuk diwakafkan.
Serta bentuk lain yang diberikan pada saudara kandung saya yang selain di atas. Sedangkan saya, hanya dikirim uang terbatas. Seolah istri hanya jadi tempat penitipan anak buangan dari orang tua yang tak menginginkan anak seperti saya.
Hal unik yang perlu diketahui, istri haid lebih dari 12 hari (bahkan lebih dari 2 pekan). Saat dua Id (Fitri dan Adha) Istri selalu haid selama pernikahan. Baru setelah saya ingatkan akhir-akhir ini (1 tahunan) haid "lancar" dan di hari Id tahun lalu tidak haid. Tuhan saja dimanipulasi, apalagi saya?
Saya di mata keluarga Istri sudah dijelek-jelekkan Istri sejak awal pernikahan. Salah satu contohnya saya menanam atau usaha budi daya Aglaonema pakai uang saya sendiri. Namun, Istri mengesankan di mata adik kandungnya saya pakai uang Istri.
Contoh lain, adik kandung istri sebelum nikah punya hutang 5 juta. Sesudah nikah (masih pengantin baru) meminta hutang uang itu secara "mendesak" pada adiknya sehingga seolah saya butuh uang pada Istri. Padahal saya mencukupi nafkahnya.
Kecurigaan (asumsi) saya kenapa Istri baru sekarang mau mengajukan cerai karena:
1. Bapak Istri sudah meninggal, karena sejak awal bapak Istri tidak menghendaki cerai dan saya sendiri tidak mau menceraikan istri karena ingin balas budi pada bapak Istri karena dalam berumah tangga tidak pernah ikut campur (mengatur maupun berkomentar) serta tak pernah mendatangi rumah istri yang kami tinggali bersama.
2. Istri merasa malu saat saya marah-marah (termasuk marah besar) pada teman kerja istri yang mengontrak tepat depan rumah (baru mengontrak sekitar April 2024) disebabkan rumahnya sedang direnovasi.
3. Istri kecewa karena rumah saya yang dibelikan oleh orang tua saya mau saya jual dan istri saya janjikan dapat bagian kecil hanya 25 juta dari perkiraan harga 175-an juta (dijual cepat).
4. Istri kecewa karena saya beritahukan bahwa tanah milik orang tua yang kelak diberikan pada saya akan saya "serahkan" pada salah satu orang tua yang masih hidup untuk dikelola.
Sebagai penutup, sejak tahun 2020 awal, selain masakan Istri yang rasanya "aneh" serta jam masak atau siap saji tak teratur, saya memutuskan masak sendiri lantaran demi menjaga "keamanan" makanan yang saya konsumsi.
Saya Difitnah Menaniaya Istri
Saya difitnah istri bahwa penyebab saya marah besar disebabkan minta uang padanya yang tak dia beri. Nyatanya itu bukan karena uang, tetapi karena kelakuan kurang ajar istri. Tidak menghargai suami. Kentut sembarangan di dekat suami saat suami makan, bukan maksud bercanda tetapi bentuk merendahkan.
Lebih parah lagi, istri sering merendahkan harga diri suami di mata tetangga, pekerja kebersihan, tukang serta kuli bangunan, satpam, pedagang sekitar rumah, atau orang yang pernah maupun sedang berhubungan pada saya sebagai suami.
Saya berani menghadiri sidang pengadilan karena saya dalam posisi "tidak terlalu bersalah" (karena saya mengakui terkait kata-kata kasar dan merusak barang yang saya lakukan), tetapi tidak menganiaya. Namun, alasan bukan karena uang. Sebab, orang tua masih kirim uang setelah penghasilan berkurang.
Saya curiga hanya dimanfaatkan istri guna menggugurkan kewajiban istri agar sudah berstatus nikah di usia 40 tahun, kemudian membuat kesan dirinya trauma berumah tangga sehingga bisa "bebas" ogah menikah lagi sampai mati.
Walau saya akui, saya juga "memanfaatkan" istri demi dapat lepas trauma dari ibu kandung saya. Namun, saya tahu diri, sadar diri, dan tahu balas budi. Di mana, saya tidak akan marah kecuali disulut lebih dulu.
Tidak benar saya marah besar gara-gara keinginan tak dipenuhi. Kalau keinginan tertentu tak dipenuhi paling parah saya memboikot (mendiamkan, tak mau memandang, dan keluar rumah) dan mengajak dia pisah dengan nada tinggi karena cerai adalah keinginan saya sejak lama.
Watak istri mendominasi, suka mengatur, gemar memanipulasi, dan mengintimidasi. Sifat superior dan jiwa "meninggi" sudah saya rasakan sedari pertama berumah tangga. Di mana, di awal nikah istri berani mencakar tangan saya. Namun, baru berani saya pastikan hal itu saat pandemi tiba karena kita sering berada di rumah.
Saya sebagai suami sejujurnya mengakui salah karena gagal membimbing istri. Selain itu, saya akui tujuan saya menikah perempuan usia dewasa yang terpaut jauh dari saya seperti istri tersebut agar dapat "bimbingan." Ternyata tidak. Justru sebaliknya.
Hal lain yang tak kalah mengganggu, saya dituduh mudah tersinggung ketika diberi saran dan arahan. Padahal, itu tidak benar. Paling parah, ketika saya ogah menuruti kemauan istri yang saya lakukan yaitu dengan cara "mengabaikan" yang bermaksud supaya saya tidak diatur-atur lagi.
Istri tahu betul dalam memancing emosi suami. Dengan cara kentut, membuat suara-suara gaduh saat suami sedang tidur di fase awal (paling nyaman sehingga apabila terputus bangun secara mendadak dapat memunculkan emosi).
 |
Ilustrasi hubungan rumah tangga yang retak (sumber gambar pixabay.com) |
Sejujurnya setelah menikah dengan istri, saya yang sekarang justru yang mengalami trauma (sesudah tahu kelakuan istri pada mediasi persidangan gugatan cerai). Ternyata, sikap dan sifat istri sangat parah. Manipulatif, play victim, memelintir fakta (fakta kejadian ada tetapi penyebab dan alasan perbuatan dipelintir).
Istri telah melanggar janji di awal nikah (membelikan mobil atas nama saya dan memberikan ruang saya berkreasi). Alih-alih bebas berekspresi, saya terkekang di 2-3 tahun awal pernikahan.
Lebih menggelikan lagi, istri menyampaikan alasan ingin cerai karena nyawanya merasa terancam. Kata-kata menyangkut keselamatan nyawa tersebut amat berlebihan. Justru nyawa saya yang terancam mati secara perlahan akibat "diracun" oleh dia.
Akibatnya, sekarang saya punya gejala autoimun dan gejala kanker yang sangat besar kemungkinan akibat masakan yang istri buat serta saran istri di awal pernikahan yang beli martabak, nasi goreng, sate, dan berbagai makanan tak sehat lain.
Baca juga: Kisah Waliyullah: Kehidupan Rumah Tangga Wali Qimin, Ketika Uang Menjadi Tuhan
Terbukti, di awal nikah berat badan saya 110 Kg. Padahal paling tinggi yang pernah saya timbang sebelum nikah kisaran 80 Kg. Dengan rata-rata 74 Kg.
Contoh intervensi (saya sebutkan yang hanya seingat saya):
1. Saya ingin berkurban kambing Idul Adha ke pondok pesantren yang dibina adik kandung istri, tetapi dilarang.
2. Saya memberitahukan hendak berkurban di Masjid dekat domisili juga dilarang.
3. Istri terlalu mengikutcampuri hubungan pertemanan saya dengan teman kuliah maupun teman kerja dengan "nada" intimidatif.
Semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat menjadi bahan pelajaran bersama.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Pengalaman Pribadi, Difitnah Istri telah Menganiaya, Padahal Marah Besar Tanpa Main Tangan"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*