Banjirembun.com - Cerita ini bukan terjadi baru-baru saja. Melainkan kejadiannya lebih dari enam tahun lalu. Di mana, kala itu saya sedang giat-giatnya mencari uang. Maklum saja, awal pernikahan sudah sepatutnya harus lebih giat cari uang.
Segala pekerjaan saya lakukan. Terpenting menghasilkan duit. Dengan penuh harap bisa buat tabungan untuk membesarkan anak. Walau istri belum ada tanda-tanda hamil, nyatanya semangat saya tak kendur.
Baca juga: 3 Pengalaman Pribadi Saat Tanya-tanya Malah Ketemu Broker atau Makelar Dadakan
Salah satu jenis profesi yang saya gelitu yaitu menjadi makelar. Bahasa lebih kerennya disebut mediator dan pialang. Ada pula yang menyebut sebagai blantik, broker, calo, perantara, penghubung, agen, hingga komprador.
Tenang saja, saya bukan makelar yang begituan. Tentunnya, tidalah juga makelar kasus di pengadilan, makelar tindak korupsi, makelar dana hibah (proposal bantuan), maupun makelar jabatan. Namun, saya makelar jasa.
Setiap satu kali transaksi, keuntungan yang saya dapat minimal 100 ribu. Kadang bisa mencapai 200-an ribu. Bagi sebagian orang, angka itu merupakan nominal kecil. Akan tetapi, bagi saya cukup tergolong besar. Terlebih lagi, pekerjaan saya gampang.
Ditambah lagi, transaksi yang saya lakukan telah tembus ratusan kali jumlahnya. Tentulah, total semua penghasilan dari pekerjaan saya menjadi makelar melampaui 2 digit. Itu penghasilan bersih tanpa dipotong apapun.
Barangkali ada yang bertanya, "Di zaman sekarang mana mungkin kerja tanpa modal? Setidaknya keluar biaya beli bahan bakar."
Guna menjawab pertanyaan di atas, perlu disampaikan bahwa saya menjadi broker tidak bertemu tatap muka. Melainkan lewat dunia maya. Jadi, modal yang saya keluarkan sekedar berupa kuota internet dan listrik.
Komunikasi yang kami lakukan pun tidak melalui telepon. Barulah kalau penting mendesak, panggilan telepon diterapkan. Itupun amat jarang. Melainkan, transaksi dan diskusi dengan pelanggan, dilakukan lewat aplikasi chat dan email. Itu saja.
Pengalaman Terkena Tipu Konsumen yang Nakal
Jadi begini ceritanya. Kala itu, saya dihubungi oleh calon pengguna jasa perblantikkan yang sedang saya promosikan secara gencar. Jujur saja, pertama kali jadi makelar masih membuat saya terlalu bersemangat.
Mungkin, calon konsumen saya itu mengetahui nomor saya dari dunia maya dari iklan saya saya sebar. Bukan dari pihak lain yang pernah menggunakan jasa saya. Sebab, seingat saya, kala itu pelanggan jasa percaloan saya belum banyak pelanggan.
Konsumen yang nakal tersebut, juga tak begitu kalah semangatnya dengan saya. Dia bertanya-tanya terkait hal-hal yang seharusnya tidak perlu diketahui oleh calon pelanggan saya. Itulah kode etik yang berlaku dalam dunia makelar.
Kalau konsumen ingin mengetahui terkait harga sebenarnya serta tanya-tanya cara agar bisa bertransaksi langsung tanpa perantara, tentulah bakal menghilangkan peran mediator. Dengan kata lain, makelar tidak kecipratan uang.
Berhubung, waktu itu saya masih berstatus makelar amatir alias pemula, sesudah uang kesepakatan nilai transaksi ditransfer ke rekening saya, dengan cerobohnya saya memberitahukan hal-hal yang ditanya olehnya.
Tak berselang lama, dia meminta balik uang yang sudah ditransfer tersebut. Menggunakan beberapa alasan. Baik melalui chat maupun telepon yang dilakukan beberapa kali. Saya terganggu. Lagi pula, saat itu saya sedang konsentrasi di bidang lain.
Lebih dari itu. Calon konsumen tersebut menunjukkan nada yang terburu-buru, sangat mendesak, dan harus diutamakan. Akibatnya, secara spontan saya mau saja menuruti kemauan calon konsumen untuk mentrasfer balik duit yang telah dikirimkan ke rekening saya.
Barulah, beberapa waktu kemudian saya menyadari. Mungkin, calon pengguna jasa saya tersebut lebih memilih menggunakan jasa makelar dari orang lain. Boleh jadi juga, dia bertindak atau bertransaksi sendiri tanpa memakai perantara.
Baca juga: Trik Broker, Agen, Makelar, atau Sales dalam Menghadapi 5 Karakter Konsumen Seperti ini
Perilaku konsumen di atas memanglah tidak merugikan saya secara keuangan. Namun, secara mental dan keprofesionalan, saya merasa dirugikan.
Kalau niat awal bertanya saja atau langsung minta bantuan tanpa mau keluar biaya, tentunya saya enggak bakal menjawab pertanyaan yang diajukan kepada saya. Kalau saya jawab, saya dapat uang dari mana?
Semoga pengalaman ini bermanfaat bagi pembaca.
(*)
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Pengalaman Pertama Kali Jadi Makelar, Bukannya Untung Malah Kena Tipu"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*