Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Isi Novel "Di Tanah Perantauan" Bagian ke-3 Detik-detik Terakhir, Buah setelah 3 Tahun Penantian

Bagian KetigaDetik-detik Terakhir, Buah setelah 3 Tahun Penantian

Kota Kediri, Oktober 2007

Cerita ini dimulai dengan munculnya kegelisahan hati saya. Dinamika berorganisasi di kampus, yang diperparah oleh urusan kuliah di semester 5 sekarang yang semakin berat, telah membikin saya terbebani. Diimbuhi, secara tiba-tiba rasa cinta pada Heni terus muncul semakin kuat tak terbendung lagi. Kombinasi semua itu menyebabkan hati gundah.

Sungguh aneh. Tanpa "bisikan" apapun, saya ingin berjumpa lagi dengan Heni. Saya punya firasat, kalau enggak saya temui segera akan berakibat terlambat. Di mana, suara hati saya berkata "Sebelum terlanjur dilamar cowok lain, segera temui Heni!"

Lagi pula, saya sedang dilanda rindu berat padanya. Percayalah, menahan kangen pada seseorang, betapa tak enak. Di sisi lain, mau menemui Heni pun kondisi mental atau jiwa saya masih belum memungkinkan.

Sampai kapan saya mesti menikmati penderitaan rindu ini sendirian?

Diperparah lagi, pada suasana sunyi di siang hari bolong seperti sekarang, saya sendirian di sekretariat yang cuma ditemani lagu-lagu super galau. Itu semua, membuat hati saya tambah tersayat-sayat. Kali ini, secara enggak sengaja saya mendengarkan lagunya milik Melly Goeslaw dan Anto Hoed berjudul "Tak Tahan Lagi."

Sekertariat kami memang begitu, saat sepi pun masih ada suara musiknya. Hal itu dilakukan, salah satu alasannya agar orang yang mau berbuat jahat berpikir dua kali sebelum nekat masuk ke dalam sekretariat. Dengan suara musik berputar akan disangka di dalamnya ada orang. Padahal, sangat mungkin di dalam lagi tidur siang.

Perlu diketahui saja, pintu sekretariat ini jarang dikunci. Bahkan, lebih seringnya terbuka lebar karena banyak anggota organisasi yang hilir mudik keluar masuk. Dengan tujuan sekadar mampir di jeda perkuliahan. Terdapat juga anggota yang hendak bermalam selama semalam atau dua malam maupun anggota yang menjadi penghuni tetap sekretariat.

Begini lirik lagu yang saya dengar sampai bikin hati ini super gulana:


"Tak tahan lagi ingin bertemu...

Berjuta kata ingin ku ucap...

Selama kau pergi tak ada lagi...

Teman dalam sepiku...

Bulan mendekap wajah yang murung...

Serpihan rindu ingin kusapu...

Sepiku hilang saat kau hadir...

Menepis semua gundah"


Mendengar lagu di atas, membuat saya benar-benar merasa tak tahan lagi, secara spontan saya curhat pada Furi yang baru saja tiba di sekretariat dalam keadaan sendirian. Di mana, dia merupakan adik tingkat di kampus dan junior di organisasi.

Berhubung usianya terpaut kisaran 3 tahun di atas saya, tentulah meski secara formal dia berada di bawah saya, ternyata dari segi kematangan dalam berpikir sangat dapat diandalkan. Sebagai bentuk penghormatan padanya, saya mengawali panggilan namanya dengan disertai sebutan Pak, yang menunjukkan singkatan dari kata Bapak.

Tanpa bisa dibendung lagi saya berucap "Pak Furi, saya menyukai anak orang kaya, rumahnya di sekitaran stasiun Kota Kediri. Orang tuanya pemilik toko ATK di sana."

Furi penuh antusias merespon "Benaran tidak? Kalau benar ayo kita samperin. Naik motorku, aku bonceng. Daripada kamu terlihat galau terus."

Maklum saja, Furi cukup tahu gelagat saya yang begitu aneh ketika berada di dekat wanita. Lagi pula, beberapa kali saya pernah mengajak dia bicara soal sejumlah mahasiswi tertentu yang berparas cantik. Salah satunya bernama Amel. Ia penyiar radio kampus sekaligus sebagai pembawa acara pada radio swasta di Kota Kediri. 

Dengan penuh semangat, seolah dia ingin mengenalkan atau menjodohkannya dengan saya, dia memberi puji-pujian tentang Amel di depan saya. Intinya, barangkali menurut Furi, saya merupakan cowok yang cocok dijodohkan dengan siapa saja.

Buktinya, ketika saat tak sengaja ada Amel di dekat saya, dengan penuh sembrono Furi memanggil saya dengan nada semangat "Nathan! Ini loh Amel, mau enggak aku kenalkan? Mumpung dia lagi di sini."

Tahu tidak? Dia berkata cukup lantang seperti di atas persis di dekat Amel yang lagi berdiri sendirian. Tanggapan dari Amel yaitu seketika tersipu malu tanpa mengeluarkan kata-kata. Walau penyiar radio, Amel menampilkan diri sebagai cewek pendiam di depan saya. 

Bagaimana respon saya ketika dibegitukan oleh Furi? Tentu, saya langsung mundur halus. 

Dari bentuk kepedulian nyata Furi dalam membantu saya mencari jodoh seperti itulah yang bikin saya tiba-tiba keceplosan curhat ingin "dijodohkan" lagi. Sekarang ini sasaran ceweknya ialah Heni.

Dengan wajah masih lemas, walau sudah diyakinkan oleh Furi, saya berusaha menjawab ajakan dia, yang antusias supaya saya secepatnya menemui Heni, yang berupa "Tetapi aku takut, kamu mengerti sendiri kan dengan kader-kader mahasiswi di organisasi kita saja, aku tampak seperti ayam sayur begitu?"

Furi dengan nada tinggi tanpa maksud menunjukkan kemarahan, tetapi bentuk ketegasan berkata "Ayolah, daripada kamu nyesel nanti! Wes ta lah, risiko dipikir belakangan. Terpenting sudah dicoba. Kamu itu laki-laki apa perempuan?"

Di mana, ungkapan wes ta lah artinya sudahlah.

Menerima tantangan itu, saya langsung jawab lantang "Ayo!"

Untungnya, sekretariat sedang sepi. Jadi enggak ada yang tahu perkara ini.

Sebelum berangkat, saya menimpali "Tunggu Dulu Pak, aku mau menulis sesuatu dulu untuk dia. Jaga-jaga enggak ketemu dia. Sedikit kok isinya, kalau dia enggak ada nanti aku berikan pada pegawai toko atau pada keluarganya di sana, kalau beruntung langsung aku berikan padanya."

Saya sok-sokan percaya diri menyebut kata “beruntung” seperti di atas maksudnya hendak menutupi grogi saya. Padahal, di lubuk hati terdalam, saya belum siap untuk bertemu Heni.

Saya justru merasa nyaman tatkala yang saya temui adalah kerabatnya maupun pegawai yang kerja di sana. Lantas, saya titipkan tulisan tangan yang sudah saya siapkan.

Tak lama setelah itu, kami berdua meluncur ke toko yang lokasinya di baratnya stasiun Kota Kediri. Dengan wajah optimis, Furi berusaha keras ingin menghapuskan resah gelisah hati saya dengan langkah menuju ke sana sesegera mungkin. Tanpa boleh menunda-nunda dengan mampir dulu ke warung makan maupun ke tempat lain.

Tampak wajah Furi sangat kasihan melihat kondisi saya yang  terlihat gugup, kalut, ragu, penuh harapan segera tuntas masalah percintaan yang saya alami, gemetaran bukan karena lapar, bingung, sendu, dan semacamnya yang semuanya campur aduk jadi satu. Furi memang sosok teman hebat!

Setiba di sana, bersyukurlah Heni tidak ada. Kalau ada mungkin saya sudah pingsan duluan. Walau Furi sudah mendampingi persis di samping saya, tetap saja saya masih gugup saat berada di dalam toko.

Furi memang tipe orang nekat. Dia mau saja diajak masuk toko, meski di dalam tidak beli apapun. Dia sangat percaya diri dalam membantu saya. Demi saya, dia rela malu untuk tidak berbasa-basi membeli sesuatu. Langsung fokus tertuju pada misi utama, tanpa perlu menyelingi dengan sesuatu yang justru dapat mengganggu tujuan kami.

Dengan nekat saya serta Furi mendatangi bagian kasir. Ternyata, di dekatnya ada figur laki-laki berwibawa yang saya yakin itu adalah kakaknya Heni. Seketika langsung saya berikan secarik kertas ini kepada kakaknya Heni. 

Setelah itu saya bertanya dalam keadaan lumayan gugup "Maaf, kalau boleh tahu Masnya bernama siapa?" Ternyata bernama mas Santo.

Isi surat yang saya tulis tersebut yaitu:

"Hen, apakah kamu sudah dilamar orang?...

Kalau belum tolong saat aku ke toko ini lagi, pada hari Jumat tanggal 02 November 2007 pukul 10.00, kamu ada di toko untuk bertatap muka denganku sekaligus bertegur sapa.

Jika kamu sudah dilamar orang maka saat aku di ke sini lagi, kamu cuekin aku saja!"

 

Kota Kediri, November 2007

Hari yang saya tunggu telah tiba. Kali ini saya ingin masuk ke toko milik ibunya Heni sendirian saja. Tanpa perlu didampingi lagi seorang teman di samping saya yang siap menangkap tubuh saya ketika tetiba pingsan. Jika misi saya ini gagal total maka saya tak ingin teman saya mengetahui nasib tragis yang nanti saya alami. Oleh sebab itu, saya putuskan masuk sendirian.

Saya ke kawasan stasiun Kediri diantarkan oleh Rifqi. Dia sudah berstatus sebagai calon suaminya Fitri. Ternyata, hasil jerih payah Rifqi, melalui pendekatan yang diterapkannya, menghasilkan juga. Fitri, teman saya yang selama 6 tahun satu kelas terus-menerus akhirnya dipinang oleh Rifqi.

Dia mengantarkan saya dengan sepeda motornya guna menemui Heni. Dia menunggu di depan stasiun. Sedangkan, saya melangkahkan kaki menuju toko ibunya Heni yang jaraknya enggak begitu jauh dari stasiun. Sebuah Toko ATK yang terkenal di Kota Kediri.

Sebagai cara untuk meredam grogi sekaligus supaya mudah memahami situasi toko, saya putuskan untuk “berbasa-basi” dengan langkah membeli satu barang termurah di toko. Harganya sangat ramah dengan kantong saya. Walau perlu waktu untuk mencarinya, saya tetap telaten ingin menemukan barang “murah,” tetapi masih sesuai dengan kebutuhan saya.

Sesudah itu, saya antri menuju kasir sembari melihat-melihat ke berbagai penjuru guna memastikan di mana Heni berada. Antrean di depan saya sudah mulai berkurang, ternyata Heni belum juga muncul.

Tibalah hanya satu orang di depan saya. Bagai sambaran kilat, munculah Heni yang menggantikan kasir di depan saya yang sedari tadi sibuk melayani pembeli.

Tiba waktunya bagi saya untuk membayar. Tanpa banyak buang waktu lantaran juga takut mengganggu aktivitas toko, saya langsung bertanya pada Heni "Bagaimana jawabannya?"

Dengan wajah ngeselin dia menjawab "Jawaban apa?"

Dengan ragu saya menanggapi "Itu,... yang aku tulis di surat."

Heni tersenyum "Oh, menurutmu?

Aku timpali "Belum, tolong beri aku waktu dulu ya."

Tanpa jeda lama, pada sepersekian detik saya menambahi "Ini jadinnya bayar berapa?"

Heni menjawab "Enggak usah bayar."

Dengan penuh jiwa jantan, saya menjawab "Ya sudah, saya enggak jadi beli. Terima kasih ya atas waktunya."

Saya beranjak pergi dengan muka menahan senyum gembira. Saya tak ingin rasa gembira saya mengganggu ketenangan di toko.

Sekilas, mas Santo yang berada di samping Heni hanya berdiam diri menyaksikan cara komunikasi kami berdua.

Sedangkan, pembeli yang antri di belakang saya, terlihat wajahnya penuh rasa penasaran, seolah ingin berkata "Percakapan macam apa ini?"

Sebagai pengingat, kembali saya beritahukan, selama hidup ini, saya belum pernah berkomunikasi dengan Heni. Baru kali ini saya melakukan dialog dengannya.

Walau cara interaksi saya seperti di atas, saya yakin Heni bisa memahami dan mau memaklumi kepribadian saya yang mungkin bagi sebagian orang disebut mengalami gangguan atau dalam kasus tertentu punya “kebutuhan khusus.”

Lebih dari itu, dimungkinkan Heni sudah tahu betul bahwa cinta saya padanya amat tulus. Dengan modal ketulusan itulah, barangkali dia percaya diri bisa merubah perilaku saya yang begitu "unik" di kemudian hari, tatkala akhirnya memutuskan hidup bersama dalam hubungan lebih terikat.

Kenapa saya meyakini Heni mau diajak ke jenjang lebih serius? Alasannya, cukup dengan melihat gelagat dari berdialog dengan saya di atas, sangat terlihat betul mimik muka dan gestur tubuh menunjukkan keinginan agar saya menembaknya atau mengajak jadian.

Selain itu, kini saya mulai percaya tanpa ragu bahwa kode-kode yang Heni berikan pada masa lalu merupakan kenyataan alias kebenaran. Bukanlah suatu asumsi "kosong" maupun ilusi, terlebih lagi halusinasi. Ternyata, saya tidak mengalami gangguan jiwa atau skrizofrenia berwujud halusinasi.

Perlu ditekankan, pemaknaan saya terhadap perilaku Heni di atas bukan didasarkan pada feeling ataupun prasangka semata tanpa dasar ilmu pengetahuan.

Sebelumnya, saya telah membaca buku psikologi bergambar disertai pernah menonton acara TV tentang kejiwaan seseorang saat berkomunikasi. Salah satunya, tanda-tanda terkait lawan bicara ada ketertarikan atau sebaliknya justru terkesan hendak menghindari. 

 

Kota Kediri, Desember 2007

Kisaran satu bulan ke depan, setelah pertemuan pertama dengan Heni, saya kembali ke toko ibunya. Perlu diketahui, saya belum “terbiasa” komunikasi dengan Heni. Apalagi, saya dengan Heni belum bertukar nomor HP supaya bisa ber-SMS-an.

Kali ini, nasib baik menimpa saya. Ternyata Heni lagi ada di toko. Tanpa perlu mondar-mondir di dalam toko, saya berjalan fokus menyamperi Heni, lantas bagai begal atau pemalak di pinggir jalan raya, saya putuskan nekat bertanya "Saya ingin bicara denganmu sekarang, bisa tidak?"

Tanpa dinyana alias tak terduga, mas Santo kakaknya Heni ternyata mendengarkan ucapan saya barusan.

Mas Santo langsung berkata "Bisa-bisa, silakan, biar saya yang kondisikan tokonya."

Mas Santo bisa ramah kepada saya serta tampak mendukung saya untuk dekat dengan Heni, saya yakin karena Heni sudah cerita tentang saya di hadapan kakaknya.

Bahkan, amat mungkin Heni sudah bercerita tentang saya kepada kakaknya sebelum saya datang untuk pertama kali ke toko ibunya itu. Barangkali sedari SMA Heni sudah curhat.

Wah, beruntungnya diri ini karena Tuhan memudahkan langkah hidup saya. Membikin saya bertambah mantap untuk menikahi Heni kelak. Semoga dilancarkan oleh-Nya.

Heni pun mengajak ke sisi depan toko agak mendekati pintu masuk. 

Heni berkata "Mau ngomong apa?"

Langsung saya jawab "Bagaimana, masih kuat jomblo?

Dia menimpali "Cuma mau ngomong itu saja?"

Dengan muka polos tanpa dosa, saya berani bertanya pada Heni “Kamu tertarik atau menyukai saya enggak?”

Heni menjawab “Kok masih ditanyakan?? Memangnya selama ini saya apa tidak terlihat jelas di mata kamu? Dasar cowok enggak peka.”

Dengan wajah penuh kelegaan, akhirnya saya bersemangat kembali, tetapi tanpa disertai meninggikan nada serta tak terlihat efuoria, saya berkata padanya “Saya juga suka kamu. Saya punya harapan untuk serius hidup menikah denganmu.”

Heni menyela dengan satu kata “Terus?”

Saya melanjutkan pembicaraan tersebut "Tetapi, aku belum ada minat untuk berpacaran. Aku ingin fokus kuliah dan kerja dulu. Jadi, mungkin kita jarang bertemu. Beri aku waktu 1,5 tahun lagi. Nanti aku kabari kamu lagi.”

Heni seolah tak terima “Jadi, kamu mau menggantungkan sebuah hubungan?... Oh jadi bener ya, kabar kalau kamu itu tukang gantungin cewek”

Saya memberi penjelasan padanya “Bukan begitu, sebagai laki-laki saya punya cara pandang yang luas dan panjang... Buat apa pacaran, kalau tujuannya hanya menghapus kesepian dan meluapkan perasaan cinta. Ketimbang pacaran, mending waktu yang ada kita gunakan untuk pengembangan diri supaya siap menjalani masa depan.”

Heni merespon “Iya,... iya,.. kalau dipikir-pikir masih bisa diterima sih alasan seperti itu.”

Saya menambahi "Untuk saling mengenal, memahami, dan membicarakan hal-hal pokok menuju pernikahan tidak harus diterapkan dengan pacaran. Cukup berkenalan layaknya seorang teman dekat, sudah bikin aman dan nyaman bagi hati kita masing-masing. Satu sama lain tak ada yang tertawan maupun terkekang"

Dalam suara bisikan hati tanpa terucap, saya merasa heran, kok tumben bicara saya begitu lancar di depan cewek. Apa gara-gara saya sudah menguasai suasana di toko ini. Sebab, selama hidup ini saya belum pernah menuju toko ibunya Heni, kecuali saat bersama Furi sekitar dua bulan yang lalu. Alhamdulillah, Tuhan membersamai jiwa-jiwa seperti saya ini.

Sebagai penutup pembicaraan, saya berucap “Kalau memungkinkan, sesekali aku akan datang ke toko ini untuk beli sesuatu atau sekadar lihat-lihat saja agar bisa bertemu kamu di toko. Selebihnya, aku ingin menuntaskan masalah diriku sendiri dahulu. Saya pamit dulu ya. Terima kasih waktunya, Hen."

Sesudah bertemu dengan Heni yang kedua kali, tambah membuat saya semakin yakin untuk menjual HP. Selain tak ingin mengganggu Heni melalui SMS yang saya kirim, alasan lainnya yaitu saya bermaksud hendak fokus menuntaskan kuliah serta ingin hidup berhemat. Daripada uang untuk beli pulsa, bagi saya lebih baik ditabung sebagai bekal saya merantau setelah lulus kuliah.

 

Kota Kediri, Januari 2008

Hampir satu bulan terlewati, saya mendadak menjadi bodoh. Enggak tahu harus bagaimana lagi? Mesti membicarakan apa lagi dengan Heni? Mesti komunikasi dengan cara apa lagi? Bayangkan saja, saya belum punya apa-apa. Jangankan simpanan uang yang cukup untuk hidup selama dua bulan penuh tanpa bekerja, sekadar membelikan Heni sesuatu saja masih pikir-pikir.

Saya bukan tipe orang yang jago pura-pura guna mengambil hati seseorang. Contohnya, sok berduit dengan cara membelikan Heni sesuatu yang terlihat mengkilau maupun mengajak ke restoran bergengsi, tetapi ketika sudah menikah semua berubah. Alih-alih memberi uang "bonus" pada istri, sekadar kewajiban memberi nafkah saja sangat pelit dan sulit dikeluarkan.

Nauzubilah, saya enggak ingin jadi suami seperti itu.

Di sisi lain, saya tak ingin memanjakan Heni dengan cara royal pada dia sebelum berstatus menjadi istri saya. Dia harus tahu di awal bahwa hidup bersama saya mungkin butuh banyak pengorbanan. Serta tahu bagaimana gaya hidup saya yang sederhana dan tak begitu tahu dunia fashion ataupun jenis gaya hidup glamor lainnya. 

Lantas, bagaimana cara saya memberitahukan dia bahwa mungkin saya bukan cowok ideal yang bukanlah tipe pilihan bagi sebagian wanita? Selain takut membuat Heni yang akhirnya pergi pelan-pelan meninggalkan saya, tentunya saya enggak ingin membebani pikirannya untuk turut merenungkan kekhawatiran saya atas masa depan kita nanti.

Lagian, dalam waktu dua tahun dari sekarang ini, saya belum punya keinginan menikah. Saya butuh waktu satu tahun lagi untuk menuntaskan perkuliahan. Serta, ditambah satu tahun untuk bekerja hidup mendiri mencari uang sebagai modal berumah tangga secara layak.

Apalagi, Heni berasal dari keluarga kaya yang terbiasa memperoleh fasilitas dan makanan terjamin berkualitas. Bakal kaget, kalau tiba-tiba hidup sederhana bersama saya setelah menikah. Walau mungkin tidak sederhana banget, tetapi tentu bakal berbeda dari sebelum nikah. Saya harus meminimalisir culture shock tersebut.

Mau membicarakan urusan di atas dengan orang tua kandung pun, ujungnya malah bakal semakin memperberat pikiran saya saja. Akhirnya, saya putuskan saya simpan semuanya sendirian serta punya pendirian kokoh sebagai solusinya. Yakni, sebelum siap atau mampu menikahi Heni, saya bertekad sunguh-sungguh enggak akan minta pendapat maupun bantuan apapun dari orang tua.

Baru setelah punya duit cukup untuk menafkahi selama minimal 5 bulan pertama setelah akad nikah dengan layak, saya akan memberitahu orang tua supaya mendukung saya menikahi Heni. Tak perlu diadakan acara resepsi. Cukup datang ke acara akad nikah yang diselenggarakan oleh pihak keluarga mempelai wanita.

 

Kota Kediri, Februari 2008

Saya izin mengundurkan diri sebagai ketua bidang eksternal organisasi. Dengan alasan ingin naik ke tingkat cabang yang cakupan tugas dan wewenangnya melingkupi seluruh wilayah Kota Kediri.

Ternyata, dengan alasan tertentu, proses kenaikan “paksa” tersebut enggak diperbolehkan. Salah satunya, lantaran memang saya belum waktunya ke cabang. Padahal, niat saya naik ke cabang yaitu hendak mengurangi aktivitas berorganisasi.

Kalau tetap berada di organisasi lingkup kampus, tentulah amat kelihatan ketika saya mulai jarang berkegiatan. Akhirnya, mantap saya putuskan untuk mengundurkan diri dari kepengurusan organisasi walau akhirnya tak naik tingkat ke cabang.

Saya membuat surat pernyataan pengunduran diri secara resmi. Alasannya, saya mau fokus berkuliah dan ingin cari kerja untuk mengumpulkan modal kehidupan sesudah lulus kuliah.

 

Kabupaten Kediri, April 2008

Saya semakin tambah bertekad untuk merantau ke Kalimantan. Itu merupakan mimpi saya yang sudah lama terpendam. Bahkan, sebelum saya beranjak SMP sudah ada “kilatan” di otak berkali-kali terkait hasrat untuk merantau ke sana.

Selain terinspirasi oleh paman saya, salah satu pemicu saya bersemangat merantau ke sana ialah hendak melepaskan dan meninggalkan diri dari lingkungan penuh trauma.

Semenjak tidak lagi bermukim di sekretariat, berakibat pada kondisi jiwa saya "yang lain" mengalami goncangan. Trauma masa kecil muncul kembali. Sejumlah perlakuan menyakitkan yang saya terima, sungguh enggak etis ketika saya tunjukkan secara gamblang, tanpa diubah dulu dalam bentuk cerita tersirat.

Itu pun, barangkali malah justru menyebabkan masalah yang saya hadapi terkesan sangat sepele bagi orang lain.

Saya merantau punya misi bukan cuma bertahan hidup maupun melarikan diri dari masa lalu. Melainkan, hendak mencari bekal berumah tangga. Takut saja, tiba-tiba Heni mengajak lebih tepatnya "memaksa" nikah tanpa memberi aba-aba dahulu, yang ternyata saya belum punya duit untuk menafkahinya secara pantas.

Masak mau menafkahi Heni dari hasil duit pemberian orang tua? Itu pun tatkala orang tua mau memberi.

Berselang beberapa hari setelahnya, di sela-sela menyelesaikan urusan kuliah, sesekali saya curi-curi waktu untuk menguasai bagaimana caranya dapat duit supaya bisa menjadi bekal saya berangkat ke Kalimantan. Langkahnya, saya baca tulisan-tulisan di internet yang secara gratis dapat saya akses di perpustakaan kampus. 

Di perpus itulah saya juga pernah membuat blog atau situs organisasi yang saya ikuti. Inilah berkah dan hikmah lainnya yang dapat saya ambil dari berkuliah. Yakni, sudah mampu mengakses internet secara gratis. Sedangkan, barangkali di belahan dunia lain banyak orang yang ketika memegang mouse ternyata tangannya masih kaku. Oleh sebab itu, saya patut bersyukur.

 

Kabupaten Kediri, Mei 2008

Di tengah-tengah menyelesaikan tugas-tugas kuliah diselingi dengan mengais-ais duit dengan cara ikut kerja part time bersama teman, saya masih kepikiran bagaimana cara tetap menjalin komunikasi dengan Heni. Hal itu, supaya hubungan saya dengan Heni tetap terjaga tanpa perlu "mengikat," tetapi sebaliknya juga tak menyebabkan tiba-tiba bisa putus begitu saja.

Lebih lanjut, sebetulnya saya punya keinginan untuk membangun komunikasi terbuka dan jujur di antara kita berdua. Tak ada yang ditutup-tutupi. Sebaliknya, tak ada yang perlu didramatisir sehingga terkesan menakut-nakuti atau menekan.

Akan tetapi, setelah dipikir-pikir, memangnya saya siapanya Heni, kok berani mengajak deep talk? Jawaban hati saya "Memang saya bukan siapa-siapa Heni, tetapi kita saling cinta!"

Akhirnya, saya putuskan untuk menulis surat kepada Heni yang inti surat tersebut kurang lebih berisi:

1.   Saya ingin di antara kita berdua saling mengenal lebih mendalam. Terutama terkait memahami tujuan hidup, nilai-nilai kehidupan, impian atau harapan di masa depan, hingga menentukan cara terbaik dalam mengatasi setiap perbedaan atau penolakan dalam hal apapun yang bakal terjadi setelah nikah.

2.   Saya mau di antara kita saling terbuka tentang perasaan cinta yang ada di hati. Kenapa saya cinta Heni serta sebaliknya kenapa Heni menyukai saya? Hal apa saja tentang saya yang memungkinkan bisa mengurangi rasa cinta Heni? Selain rasa cinta, hal apa saja yang mampu membangun sebuah kepercayaan di antara kita?

3.   Saya hendak saling berbagi menyangkut konsep berumah tangga yang ideal dengan Heni. Terutama masalah keuangan, pemahaman terhadap cara beragama di kehidupan sehari-hari, persepsi seputar hubungan pernikahan yang ideal, bagaimana cara membesarkan anak-anak, seperti apa kondisi hubungan keluarga masing-masing yang tentu bakal mempengaruhi kehidupan berumah tangga, sampai pemahaman terkait kehidupan bersosial atau bermasyarakat.


Sesudah merangkai tulisan panjang, yang saya tulis tangan cukup rapi di kertas folio, yang isinya saya rangkum seperti 3 hal di atas,  hati saya menjadi lebih lega. Adar rasa plong di dada.

Sayangnya, seusai tuntas menulis. Bukan malah saya hantarkan langsung ke Heni, yang ada saya simpan rapat di lemari kamar rumah orang tua saya. Saya putuskan untuk menunda dulu membebani pikiran Heni. Saya berpikiran, ini belum saatnya untuk membicarakan hal-hal yang berat.

 

Kota Kediri, Juli 2008

Setelah enam bulan berlalu enggak pernah ke toko ibunya Heni, entah tiupan angin dari mana yang akhirnya mengantarkan saya kembali sana. Tanpa wajah berdosa, saya langsung menuju area kasir. Bersyukurlah, ternyata ada Heni.

Sayangnya, sikap Heni bikin diri ini kaget. Setelah melihat wajah saya, bukannya disambut dengan wajah kerinduan, malah dia balik badan menuju ke bagian dalam. Seolah menghilang ditelan bumi.

Untunglah, saya membawa kertas folio yang berisi uraian tentang konsep sebuah hubungan pra nikah atau sebelum nikah yang satu sama lain harus terbuka dan jujur terkait hal-hal penting. Kertas itu, saya titipkan ke pegawai toko untuk disampaikan kepada Heni.

Aneh memang, kita enggak punya status hubungan yang terikat semisal pacaran ataupun ikatan lamaran, tetapi sikap antara kita berdua seolah sedang berpacaran atau punya hubungan spesial. Kalau memang kita pantas disebut memiliki ikatan khusus, apa sebutan atau nama yang cocok untuk hubungan tersebut?

Lagi pula, saya begini kan bersikap konsisten. Antara perkataan saya dengan tindakan sesuai. Saya tak mengumbar janji-janji apapun pada dia. Sebaliknya, sebagai kabar "penggembira" bagi Heni, saya juga sudah menunjukkan rasa ketertarikan untuk menikahinya.

Selain itu, saya bersikap seperti itu bermaksud ingin memberi ruang dia “bergerak” untuk menjaga privasinya. Intinya, saya menghormati batasan-batasan terkait ruang pribadi yang dimiliki Heni. Nyatanya, Heni menanggapi berbeda. Mungkin dia mengira saya masih ingin melirik-lirik cewek lain. Dapat pula, terkait dirinya yang memang ingin segera ada hubungan khusus semisal berpacaran.

Tak patah arang, pada akhir bulan Juli saya kembali lagi ke toko. Sekali lagi, Heni bersikap dingin. Mendiamkan saya. Wajahnya tampak muram yang persis sekali bentuknya ketika saya melihat dia untuk terakhir kali ketika di SMA dahulu kala.

Waktu itu, saya melihat wajahnya diliputi penuh kekesalan ketika berdekatan dengan saya. Peristiwa tersebut berlangsung tak lama sesudah “tragedi di bawah pohon kelengkeng” terjadi.

Terpaksa, sekali lagi saya harus melibatkan mas Santo. Kalau masih kurang mempan, tatkala diperlukan saya ajak Hasan mendampingi saya menemui Heni. Biar suasana kembali cair. Mungkin, inilah waktunya untuk menggunakan "kunci" tersebut.

Beruntung diri ini, mas Santo begitu peduli pada hubungan kami yang ditunjukkan dengan berkata “Tenang saja, Heni tidak apa-apa. Hanya ngambek biasa. Nanti bakal balik lagi seperti dulu. Besok ke sini lagi ya... Ingsa Allah, bakal berubah berseri.”

Saya berpikiran “Apa gara-gara isi kertas folio yang saya tulis, yang bikin Heni justru semakin berwajah muram?” atau “Jangan-jangan Heni berpikiran saya hanya alasan saja, saya dikira ingin mempersulit hubungan kita ke tingkat lanjut seperti jenjang pernikahan?”

Kemungkinan pula "Apakah kebanyakan cewek begini? Masa PDKT terlihat banget ingin berdekatan terus, tetapi saat sudah dekat sedikit-dikit mengambek." Lalu, "Bagaimana nanti setelah menikah? Apakah bertambah parah merajuknya?"

Padahal, sebagai cowok "dingin," saya tak ingin terburu-buru menjalin sebuah hubungan ke tingkat lebih serius. Saya ingin mengambil jeda dahulu, sehingga menganggap enggak perlu terus-menerus menemui Heni.

Hal itu, agar di antara kami saling memahami diri sendiri dalam konteks persiapan menuju nikah. Alhasil, saya tak mengikuti nasihat Mas Santo, saya putuskan keesokannya tidak kembali lagi ke toko ibunya Heni.

Saya bersama Heni, masing-masing harus introspeksi dulu. Kalau mengenali atau memahami diri sendiri saja masih gagal, bagaimana mau memahami orang lain? Patut ditanyakan, sudah betul-betul siap menikah atau semata-mata tak lebih dari didasarkan cinta belaka sehingga mengabaikan persiapan matang sebelum mengarungi bahtera rumah tangga?

Barulah setelah itu, masing-masing di antara kami saling mengenali satu dengan yang lain lebih mendalam, yang tentunya butuh sering bertemu. Namun, sepertinya Heni tak memahami maksud isi hati saya tersebut. Sudah sepatutnya, sebagai lelaki, saya harus bersikap sabar dan telaten.

Guna membaca kisah selanjutnya silakan baca di sini dengan cara menekan tautan berikut: https://www.banjirembun.com/2025/02/isi-novel-di-tanah-perantauan-bagian-ke_45.html. Bisa pula, copy-paste alamat link tersebut ke dalam kotak browser atau peramban anda.





Baca tulisan menarik lainnya:

Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Isi Novel "Di Tanah Perantauan" Bagian ke-3 Detik-detik Terakhir, Buah setelah 3 Tahun Penantian"

Posting Komentar

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*