Bagian Keempat: Tibalah Time Skip
Kota Kediri, Agustus 2008
Sembari menyelesaikan tugas perkuliahan tanpa disertai aktivitas lain, kecuali mencari duit, terkadang saya masih cukup sering mampir ke Masjid Agung Kota Kediri. Terutama ketika capek, bosan, atau dirundung kepenatan.
Tentu, saya sendirian saja. Alih-alih melampiaskan rasa gelisah dengan langkah menemui Heni maupun mampir ke sekretariat organisasi untuk membuang "sial," justru saya lebih pilih simpan sendirian.
Alasan saya memilih "menepikan" penatnya pikiran di Masjid yang letaknya persis di barat Alun-alun Kota Kediri tersebut ialah angin di sana mengalir deras. Walau tak begitu sejuk, setidaknya mampu menghilangkan hawa panas di siang hari yang sungguh terik.
Selain itu, area pandang hampir pada semua sisi Masjid sangatlah luas. Sungguh memanjakan mata saya yang menyukai hamparan pemandangan alami maupun buatan manusia.
Lokasi favorit saya ketika di Masjid tersebut yaitu pada serambi Masjid bagian timur, tepatnya sisi agak selatan. Yakni, bagian yang menghadap jalan raya serta dekat dengan menara. Terkadang, di sebelah sana saya bisa melihat lalu lalang kendaraan yang melaju di atas jalan menuju jembatan Bandar Ngalim, baratnya alun-alun Kota Kediri.
Wajar saja bikin saya kerasan, posisi teras Masjid sangat tinggi dan jauh dari paparan asap kendaraan secara langsung. Walhasil, sangat ramah bagi diri saya yang sedang butuh banyak tarikan nafas agar dada ini jadi lega.
Kelak, Masjid alun-alun Kota Kediri merupakan salah satu tempat yang bakal saya rindukan tatkala sudah di tanah perantauan. Di masa depan, saya akan mengajak anak-anak kandung untuk sholat di Masjid ini.
Disertai sedikit bercerita pada mereka terkait hal-hal apa saja yang saya lakukan saat di sini. Salah satunya, tentang kegiatan organisasi yang saya ikuti juga pernah mengukir memori di tempat ibadah ini.
Selain di Masjid megah itu, kadang-kadang saya juga menyepi dan menepikan diri menuju area persawahan dan ladang milik orang tua. Hal itu, saya terapkan sembari melaksanakan perintah ibu untuk meninjau demi tahu sejauh mana perkembangan hasil tanaman yang digarap. Sungguh, hamparan tanah yang luas dan hijau bikin adem pikiran.
Kabupaten Kediri, November 2008
Sesudah melakukan aktivitas padat, sebelum pulang ke rumah orang tua di Kecamatan Wates, saya mampir di area wisata Simpang Lima Gumul Kabupaten Kediri yang baru saja diresmikan. Seperti pada beberapa hari lalu ketika ke sini, saya memilih duduk tepat di bawah sekitaran monumen yang berukuran sangat besar.
Sebagai info, bangunan setinggi 25 meter dan luas 804 meter persegi itu posisinya di tengah bundaran simpang lima. Bentuknya mirip dengan monumen The Arc de Triomphe di Paris, Perancis. Konon, bapak Bupati yang menjadi inisator pembangun tersebut memang terinspirasi darinya sesudah berkunjung ke negeri eropa itu.
Sekarang ini, kondisi sinar matahari sudah mulai meredup sayu, tanda menjelang petang hari telah tiba. Sembari menunggu waktu Maghrib tiba, saya menepi menuju salah satu sudut yang kondusif.
Tanpa ada rencana, tangan ini mulai tergerak untuk merangkai kata-kata. Kemudian, saya putuskan menulis surat kepada Heni yang isinya seperti berikut:
"Dear bidadari, bernama Heni."
"Kamu mesti tahu, kenapa aku memendam rasa bertahun-tahun, semenjak di awal-awal atau pertama kali masuk SMA dahulu sampai setahun lalu di bulan Oktober 2007, tanpa aku ungkapkan padamu?
Karena aku takut perasaanku padamu hanya sebuah penasaran saja,..."
"Karena aku khawatir sekadar ingin terlihat keren di mata banyak teman ketika aku putuskan berani nembak kamu,..."
"Karena aku tak mau menjadikan kamu sebagai penyembuh luka batinku, lalu setelah itu mungkin malah meninggalkanmu,..."
"Kenapa aku tak mengajak jadian? Aku ragu. Aku takut setelah menjalin ikatan ada hal buruk terjadi. Bukan karena khawatir kamu tolak. Namun, aku takut kamu terlalu berharap padaku. Padahal, ada bagian kehidupanku yang lain yang belum kamu tahu."
"Aku masih punya sisi lain dari kehidupanku yang mungkin membuatmu terganggu. Bukan cuma terkait pribadiku, tetapi menyangkut ulah orang-orang di sekitarku. Lebih jelasnya, nanti aku bicarakan saat kita bertemu."
"Aku ingin memastikan dulu bahwa aku benar-benar cinta kamu. Dengan begitu, aku bakal semangat untuk berusaha membuat hidupmu bahagia, karena aku memang sungguh mencintaimu dari lubuk jiwa."
"Sebaliknya, aku ingin memastikan bahwa kamu benar-benar mampu menjadi sumber kebahagiaan di sisa hidupku."
"Aku berharap, kamu juga bisa hidup bahagia bersamaku di masa depan, semoga nanti terwujud, selamanya hingga ke surga"
"Dari Jonathan, yang bukan lagi sebagai pemuja rahasiamu."
Sepucuk surat di atas sebagai cara saya untuk meluapkan rindu. Seuasi saya buat, belum ada niat untuk saya berikan pada Heni. Biasanya sih, sebagian dari surat tulis tangan sejenis itu saya simpan rapat tanpa dikirimkan. Cukup dengan menulis saja, sudah bikin hati terasa lega, meski tak ada yang membaca, kecuali diri saya sendiri.
Entah, lihat saja besok, apakah saya ada hasrat untuk memberi surat itu kepada Heni atau lebih memilih menyimpan saja. Lagi pula, mau balik lagi ke Kota Kediri menuju sekitaran stasiun, ternyata matahari sudah tenggelam.
Esok hari, dengan penuh kemantapan, saya putuskan untuk memberikan surat tanda rindu tersebut kepada Heni, yang juga dapat dijadikan sebagai upaya menjalin komunikasi. Siapa tahu, dia juga rindu pada saya. Surat itu saya berikan kepada Heni secara langsung di dalam toko ibunya.
Entah akibat ditiup angin apa, kali ini respon Heni berbeda. Mungkin masa PMS-nya sudah usai sehingga hormonnya kembali terkendali ke setelan awal seperti bidadari surga.
Dengan wajah tersenyum, dia menerima surat saya sembari, berkata "Sudah ini saja?"
Lantaran saya tak ada persiapan dan pesimis duluan dengan berprasangka Heni bakal sembunyi lagi, akhirnya saya jawab "Iya, itu saja. Saya balik dulu."
Di titik ini, malah saya menjadi bingung, mau melakukan apa lagi? Bersikap seperti apa, agar hubungan kami dengan Heni bisa berkelanjutan? Apakah mesti pacaran tanpa tahu kapan sampai bertahan?
Kabupaten Kediri, Desember 2008
Setelah dipikirkan masak-masak yang penuh pertimbangan guna mengetahui maslahat dan mudaratnya, muncullah sebuah ide berbentuk saya harus menghilang tiba-tiba. Di mana, saya mengambil sikap berupa menghentikan komunikasi secara tiba-tiba dengan Heni tanpa memberi pemahaman atau penjelasan berupa apa pun. Lenyap cling tanpa jejak bagai ninja.
Logika di benak saya beralasan bahwa dengan menjaga jarak dan menghentikan komunikasi dengan Heni akan menyebabkan sebuah kesimpulan. Apakah Heni mau menerima saya apa adanya yang bersikap "enggak jelas" seperti itu ataukah sebaliknya dia akhirnya lebih pilih untuk menutup peluang hubungan kita menuju jenjang serius? Misalnya, tanpa kabar dia menerima lamaran pria lain.
Lagian, di rumah orang tua saya ini, sekarang saya sedang merana penuh derita. Takutnya, saat saya menemui Heni bukan malah menciptakan harmoniasasi hati di antara kami, yang ada muncul keretakan-keretakan akibat saya salah niat mendekati Heni. Contohnya, saya bertemu Heni dengan maksud tak lebih dari melampiaskan derita di dada akibat tekanan penuh beban.
Pihak yang semestinya mengarahkan, membimbing, mendukung, mengokohkan hati, menasihati dengan bijak, sampai mendengar isi suara hati saya justru berbuat sebaliknya. Lalu, ke mana lagi saya harus menghilangkan kebimbangan dan kebingungan dalam diri yang terus dihadapkan pada ketakutan-ketakutan maupun berbagai ancaman.
Bayangkan saja, alih-alih membuat hati bahagia, ternyata sangat senang ketika melihat saya mengalami penderitaan. Diri ini masih ingat betul ketika diperlakukan tidak adil alias pilih kasih, difitnah, diabaikan, dijerumuskan supaya "terpeleset" berbuat salah,
Tentulah, hanya orang yang manipulatif dan jago play victim yang sanggup berbuat seperti itu secara sempurna sehingga banyak yang membelanya. Diimbuhi juga lincah bersilat lidah.
Sebagai wawasan, ciri-ciri sifat manipulasi sangat banyak. Di antaranya meliputi gemar mengalihkan atau menampik topik pembicaraan yang tak menguntungkan dirinya, anti kejujuran dalam beberapa kasus yang mana kalau pun jujur bertujuan hanya sebagai "tutup" atas ketidakjujuran yang disembunyikan, mahir berpura-pura, membesar-besarkan masalah, serta mengadu domba.
Selain yang disebutkan di atas, tanda-tanda seseorang yang manipulatif berikutnya ialah tak memiliki empati salah satu bentuknya mengabaikan perasaan serta emosi orang lain. Kemudian, menyembunyikan hal-hal penting dari individu yang berhak mengetahuinya.
Lalu, apa yang dikatakan berubah-ubah, malah tak segan menyangkal pernah mengatakan sesuatu yang telah ia ucapkan. Lantas, gemar memuji dengan maksud mengiming-imingi. Tentunya, masih banyak lagi.
Beberapa dampak bagi individu yang terus-terusan jadi korban manipulator adalah tertekan atau terintimidasi, menjadi individu yang peragu atau bimbing dengan ciri utama selalu mempertanyakan realitas dengan disertai kalimat utama "Jangan-jangan apa yang saya perkirakan selama ini tak sesuai dengan kebenaran?"
Bisa juga bertanya "Kalau saya tidak melakukan saran dia, nanti saya sial atau kualat bagaimana?"
Bukan cuma di atas, efek negatif seseorang yang menjadi sasaran manipulator selanjutnya ialah menganggap dirinya sebagai pihak yang salah atau tak becus sehingga mesti terus diluruskan serta disetujui dulu oleh pihak yang memanipulasi.
Kemudian, merasa dirinya sebagai manusia yang gagal sehingga salah satunya berakibat minder atau rendah diri. Tentulah, masih banyak akibat buruk lainnya
Sayangnya, berdasarkan tulisan yang saya baca, individu yang cerdik dalam memanipulasi sangatlah sulit untuk diubah. Butuh upaya ekstra dan durasi yang lama agar hatinya sadar. Bahkan, faktor terbesar penentu dalam berubahnya sifat manipulasi itu berasal dari dirinya sendiri.
Dengan demikian, kalau yang bersangkutan tidak mendapat momen tepat yang mampu menyadarkan hatinya, bisa berakibat tetap saja manipulatif. Oleh sebab itu, solusi paling ampuh yaitu menjaga jarak dengannya dan korban manipulasi harus mampu bertanggung jawab terhadap diri sendiri atau hidup mandiri tanpa ikut campur darinya.
Kota Kediri, Januari 2009
Liburan kuliah saya mampir ke sekretariat organisasi. Sengaja saya pilih mampir di kala libur panjang karena suasana di sana agak lebih sepi. Palingan, yang ada para senior yang sudah teramat kerasan meninggali sekretariat.
Tak dinyana, saya ketemu Amron. Adik tingkat yang juga tergolong aktif mengikuti agenda organisasi. Di mana, orangnya gemar membanyol disertai menggojloki dengan maksud bercanda.
Saya bertanya padanya "Mron, kalau menemui cewek itu selain memberi surat cinta, paling cocok bawa apa?"
Dia balik tanya "Biasanya bawa apa to Pak Nathan, kok kelihatannya masih ragu begitu."
Saya jawab "Cuma bawa kertas yang berisi tulisan tanganku saja."
Dia masih bertanya "Sudah berapa kali seperti itu Pak Nath?
Saya pertegas "Berkali-kali, sudah lupa saking banyaknya."
Dia masih butuh kejelasan "Bentar-bentar, ceweknya yang seperti apa dulu. Dilihat dulu dong latar belakangnya seperti apa."
Saya perjelas "Ituloh, Heni anaknya pemilik toko di dekat stasiun Kediri."
Dia terkaget "Edan kamu Pak Nath! Mbak Heni cuma dikasih kertas. Kok mau-maunya dia hanya dikasih surat cinta. Enggak bikin kenyang, ha ha ha..."
Saya bertanya balik "Emang apa salahnya?"
Dia masih tampak ingin terus tertawa "Oalaah...., Pak, Pak,... Kebangetan pol... Hal seperti itu masih ditanyakan,... Kok mau Mbak Heni sama kamu Pak."
Kabupaten Kediri, Februari 2009
Saya PPL (Praktik Pengalaman Lapangan) di lembaga pendidikan jenjang SMA berstatus negeri, yang lokasinya di dekat rumah orang tua. Di sana, saya melihat siswi mirip Heni yang kerap berlama-lama di perpustakaan. Hampir setiap hari. Sepekan bisa tiga atau empat kali, malahan mungkin lebih.
Buku yang dibaca pun, kelihatannya sama. Enggak terlalu ada variasi.
Sebagai informasi, basecamp kami sebagai peserta PPL berada di perpustakaan. Tahu tidak? Lagi-lagi, saya didekati oleh 3 orang teman cowok sesama anggota PPL. Mereka sedang menyukai sebagian siswi yang merupakan tetangga saya dan satunya lagi menyukai siswi lain yang kelihatannya tertarik pada saya.
Sangat tampak, mereka mendekat demi bisa menjadikan saya sebagai tameng atau bumper maupun senjata untuk PDKT pada para siswi.
Bukan cuma itu, ada beberapa siswa laki-laki yang berani mendekati saya lantaran terdapat cewek lain yang terlihat aktif ke perpustakaan. Dia berusaha sok kenal dan sok dekat dengan saya. Intinya, dia sedang caper di hadapan cewek yang rajin masuk ke perpustakaan.
Kabupaten Kediri, Maret 2009
Apakah saya ganteng? Itulah salah satu pertanyaan dalam diri saya yang sampai saat ini belum berani tegas menjawab. Bukan maksud sombong, sedari kuliah di awal hingga masa PPL di SMA negeri satu-satunya pada Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri sangat banyak cewek-cewek yang tertarik pada saya.
Hal tersebut, semakin saya rasakan, terutama setelah mereka tahu latar belakang ekonomi keluarga saya yang berprofesi PNS yang bertugas sebagai pengawas atau penilik lembaga Pendidikan. Di mana, gadis-gadis yang menunjukkan rasa tertari itu mulai dari yang usianya SMA kelas satu hingga kakak tingkat di perkuliahan.
Mungkin, gadis mapan berprofesi propsektif yang usianya terpaut di atas saya sekitar 6 tahun juga ada yang tertarik pada saya. Namun, saya tidak ke-GR-an dan ke-PD-an. Saya anggap hal tersebut sebagai bentuk rasa tertarik biasa saja. Layaknya, sejumlah cowok lain yang pasti juga ada beberapa lawan jenis yang tertarik padanya.
Selain itu, saya juga sadar. Beberapa di antara mereka barangkali tahu bahwa aset harta orang tua saya sangat banyak. Memiliki tanah berhektar-hektar yang lokasinya mayoritas di pinggir jalan. Yang ngumpet masuk ke dalam, tak lebih dari 3 tempat di antara puluhan titik lahan.
Jadi, hal itulah yang membuat saya ragu. Di antara satu pertanyaan dari sejumlah lainnya yang saya ajukan ialah apakah mereka melihat rupa fisik saya, menilai akhlak saya, atau hanya tertarik pada kekayaan orang tua saya?
Kabupaten Kediri, April 2009
Pekerjaan sebagai freelancer yang saya geluti, tak lepas dari komentar salah satu pihak di masa lalu yang telah membikin saya trauma berkepanjangan. Entah tahu dari mana saya sedang menggeluti pekerjaan itu.
Padahal, saya sudah coba sembunyikan. Alih-alih memberi solusi sebagai ganti maupun berkontribusi nyata berupa uang sebagai ganti penghasilan kerja, ternyata malah menekan mental saya habis-habisan.
Apa yang terjadi? Semangat saya digembosi, dikompor-kompori dengan maksud mengacaukan pikiran, hingga diganggu serta dihalang-halangi dengan berbagai cara. Sangat tampak enggak senang tatkala melihat saya mulai berani alias tidak takut lagi untuk hidup mandiri.
Diimbuhi lagi, selain punya kakak perempuan yang suka mengadukan sesuatu hal tentang saya pada ibu, hal yang menyakitkan juga sama dilakukan oleh adik saya. Selain jadi tukang adu pada ibu, adik saya itu juga orangnya play vitcim.
Bagi kalangan yang hidup di lingkungan yang normal, barangkali akan mengatakan bahwa apa yang saya katakan di atas enggak masuk akal. Saya bakal disebut terlalu berlebihan dengan menuduh bahwa mental saya saja yang lemah. Mungkin pula menyebut saya kurang sabar dan tidak bersyukur.
Kalau ada orang yang gegabah beranggapan seperti di atas, saya justru khawatir. Ketika dia berada di sisi saya, dengan kondisi jiwanya yang begitu, tak menutup kemungkinan bakal hilang waras atau gila dalam arti sebenarnya. Bahkan, menghilangkan nyawa sendiri demi mengakhiri penderitaan lantaran merasa diri tak dibutuhkan atas kelahirannya.
Dalam urusan di atas, Heni tidak saya libatkan. Jangankan mengajak ikut campur urusan pribadi saya, memberitahunya saja enggak sama sekali. Lagi pula, saya sadar bahwa hubungan kita hanyalah teman.
Beda cerita ketika dia merupakan calon istri apalagi telah menjadi istri saya, tentulah menjadi hak dia untuk tahu segala hal yang menyangkut terwujudnya kebahagiaan hidup kita. Biar dia tidak kaget atau lebih parahnya menyesal sudah menikah dengan saya.
Guna membaca kisah selanjutnya silakan baca di sini dengan cara menekan tautan berikut: https://www.banjirembun.com/2025/02/isi-novel-di-tanah-perantauan-bagian-ke_1.html. Bisa pula, copy-paste alamat link tersebut ke dalam kotak browser atau peramban anda.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Isi Novel "Di Tanah Perantauan" Bagian ke-4 Tibalah Time Skip"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*