BAB II DIALEKTIKA HIDUP
Bagian Kelima: Dihadapkan Dua Pilihan, antara Ikatan atau Kebebasan?
Kota Kediri, Mei 2009
Enam bulan berlalu tanpa ketemuan dengan Heni, akhirnya saya datang lagi ke toko milik ibunya Heni. Saya langsung menuju Heni ke bagian dekat kasir. Dia tersenyum melihat saya.
Dengan spontanitas, saya mengambil buku agenda sekaligus sebagai catatan dari pembelajaran mata kuliah di dalam tas saya, lalu menyobek sebagian kertas di dalamnya. Disusul, saya mengambil pena di salah satu sisi tas bagian terluar.
Kemudian, saya tuliskan di atasnya "Ini obat rindu."
Saya berikan secarik kertas yang sudah dibubuhi tulisan tangan saya yang terdiri dari tiga kata itu kepada Heni. Setelah itu saya pamit.
Melihat senyum dia yang tulus merekah, membikin suasana yang ada dalam diri saya tambah berkecamuk parah. Bagaimana tidak? Saya dihadapkan pada dua pilihan antara mengutamakan perasaan-hati atau logika-pikiran?
Mau membiarkan hubungan kami "begitu-begitu saja" atau memutuskan memacari lantas menikahinya?
Kota Kediri, Juli 2009
Beberapa pekan lalu, saya baru saja sukses menyelesaikan ujian proposal skripsi di hadapan majelis dosen yang bertindak sebagai penguji dan sebagian lagi sebagai calon pembimbing skripsi. Walau ada revisi judul, yang tentunya berakibat harus merevisi pokok-pokok di dalamnya, saya putuskan menerima tanpa sok pintar membantah dosen.
Lagian, lokasi penelitian kualitatif yang akan saya lakukan berada di SMA yang menjadi tempat saya PPL. Sebagai ketua kelompok mahasiswa PPL di sana, sudah wajar ketika saya cukup dekat dengan para petinggi lembaga sekolah tersebut. Intinya, kemungkinan besar proses penelitian yang saya lakukan akan lebih mudah ketimbang meneliti di sekolah lain.
Dalam alam pikir saya yang memilih tawaduk pada dosen berkata "Saya harus membuang idealisme dan tak usah memburu kesempurnaan skripsi. Terpenting skripsi jadi 100% utuh, tanpa ada pelanggaran maupun kesalahan fatal."
Kesadaran seperti di atas, saya peroleh setelah saya membaca-baca tentang cerita dan motivasi beberapa mahasiswa yang telah menyelesaikan skripsi di sebuah buku serta bacaan di internet. Baik kisah dari mahasiswa aktivis maupun mahasiswa yang berstatus sedang bekerja.
Pelajaran yang dapat saya petik dari pengalaman di atas secara garis besar sama yaitu harus patuh atau taat pada dosen pembimbing. Dosen yang didengarkan nasihatnya tanpa membantah sepatah kata pun disertai melaksanakan semua saran-saran terkait pembuatan skirpsi, kemungkinan besar akan semangat dan senang dalam menjalankan tugas pembimbingan.
Seusai sidang proposal skripsi, saya meluncur ke toko ibunya Heni. Berhubung kondisi hati saya gembira karena beberapa menit lalu melihat wajah para dosen yang penuh senyum ketika menguji saya, membuat saya spontan nyelonong masuk dengan langkah cekatan tanpa memelankan diri.
Melihat perilaku saya yang gegabah atau grasah-grusuh seperti itu, membuat Heni gatal untuk menasihati saya "Jadi orang itu yang tenang, kok buru-buru seperti itu mau ke mana sih?"
Saya merespon "Maaf, kondisi hatiku lagi gembira."
Heni menanggapi "Gembira ya gembira, tetapi harus bisa kontrol diri dan situasi."
Saya merasa bersalah, merasa malu bukan karena menganggap telah dipermalukan oleh Heni, malah saya bersyukur Heni perhatian dan peduli mengingatkan saya semacam itu.
Saya merasa malu karena di dalam diri saya belum banyak perubahan. Masih mengalami beberapa gangguan kepribadian akibat gagal dalam menanggulangi trauma masa lalu.
Kota Kediri, Oktober 2009
Sekian bulan enggak berkunjung ke toko ibunya Heni, sesudah urusan skripsi telah menuju arah titik terang, di akhir Oktober ini saya mulai berani mengajak diskusi mendalam lagi dengan Heni.
Sebuah dialog serius, tetapi diterapkan dengan langkah santai layaknya teman yang sedang mencari titik temu dalam kaitan bercara pandang terhadap sesuatu. Hal itu, demi mempertahankan kenyamanan di masa mendatang.
Dengan maksud yang lebih spesifik, hendak memastikan atau memantapkan hati Heni, apakah ia mau ketika diajak merantau? Ternyata, dia menunjukkan keengganan merantau sambil mengiming-iming berbagai hal menyenangkan ketika saya pilih di Kediri saja.
Saya katakan pada Heni "Kan, aku sudah pernah bilang, kalau mau menikah denganku syaratnya kita harus merantau bareng. Jauh dari orang tua dan mertua... Aku enggak ingin rumah tangga kita penuh konflik gara-gara mereka terlibat atau ikut campur dalam urusan rumah tangga kita."
Heni merespon, "Emangnya kamu sudah siap nikah?"
Saya jawab "Belum."
Heni keheranan sembari tersenyum lebar "Kirain.. ha ha ha"
Sebenarnya dalam hati ingin saya tanya balik "Memangnya kamu mau menikah denganku tahun depan?," tetapi saya urungkan. Takutnya, dia terlanjur berharap saya akan menikahi, yang di sisi lain ternyata tahun depan saya belum memungkinkan menikahinya.
Kota Kediri, November 2009
Akhirnya saya ujian skripsi. Disebabkan sibuk kerja, membuat penyelesaian skripsi saya terbilang molor dibanding teman seangkatan lain. Di mana, saya seharusnya sudah lulus kuliah di semester 8 pada Juni, tepatnya lima bulan yang lalu.
Pada faktanya, saya harus menambah di semester 9, semata-mata khusus untuk menuntaskan skripsi tanpa ada kelas kuliah tambahan.
Setelah melakukan revisi skripsi, pihak kampus memutuskan saya berhak mengikuti wisuda yang diadakan berbarengan dengan teman-teman seangkatan, yang pertama kali bersama-sama kita masuk kampus tahun 2005. Jadi, meski penyelesaian skripsi terlambat, tetapi pelaksanaan wisuda bisa bersamaan teman seangkatan.
Sesudah dinyatakan memenuhi syarat untuk wisuda, saya bersemangat mengambil undangan wisuda di bagian administrasi kampus. Serta-merta tanpa ada perencanaan, seolah dapat ilham, saya berusul pada bagian administrasi "Apakah boleh menebus atau mengganti biaya supaya memperoleh undangan lebih dari satu?"
Dijawab "Bisa."
Rencananya, undangan wisuda tambahan itu saya berikan pada Heni. Sebagai syaratnya, saat duduk di acara wisuda nanti dia harus berdekatan dengan keluarga saya. Tanpa perlu saya tuntut untuk mengenalkan diri pada mereka. Cukup berada di dekatnya.
Biar Heni terbiasa dulu berada di dekat kerabat saya, sebelum di kemudian hari harus berjumpa mereka lagi.
Selang beberapa hari selanjutnya, saya menuju toko milik ibunya Heni dengan penuh semangat dan percaya diri. Disertai meyakini Heni akan menyambut bahagia kedatangan saya.
Saya sudah terlanjur terkesan buru-buru menuju bagian kasir toko milik ibunya. Apa yang terjadi? Faktanya, di luar dugaan saya.
Heni menggerutu penuh kesal "Mau apa lagi ke sini?"
Saya terkaget langsung berkata "Kamu sudah enggak suka saya ke sini?"
Heni berkata, "Kenapa ke sini kalau hanya kayak tukang kirim surat kantor pos?"
Saya menjawab sambil bercanda "Maaf bu, saya ke sini bermaksud mau memberi surat yang berisi undangan wisuda yang dikirim oleh bapak Nathan."
Heni menimpali "Bercandamu garing." Kemudian tersenyum.
Saya tersemangati kembali, lantas bertanya "Mau hadir kan?"
Dia merespon "Aku pikir-pikir dulu"
Saya menunjukan wajah kaget "Kok begitu?"
Dia memberi alasan "Lah, saya kan bukan siapa-siapa anda, nanti kalau ada yang cemburu bagaimana? Saya takut dijambak orang yang cemburu itu. Apa anda mau bela saya?"
Saya bercanda kembali "Ya, setelah ini kamu bakal jadi siapa-siapa saya kok, jangan khawatir."
Heni menanggapi dengan tertawa.
Di sesi pertemuan kali ini, kami mengobrol cukup lama. Bukan hanya bercanda seperti di atas. Sekitar 15 menitan kami bicara secara mendalam. Hal itu, barangkali lantaran saya sudah berhak lulus kuliah, sehingga membuat saya begitu ringan untuk "buang-buang" waktu bersama Heni tanpa ada beban.
Sesudah menyerahkan undangan wisuda, saya seketika pamit pulang.
Kota Kediri, Desember 2009
Di tanggal 05 Desember ini saya beserta ratusan lulusan lainnya tengah diwisuda. Hari yang ditunggu-tunggu oleh mahasiswa akhir. Tentu, dinanti-nanti pula oleh para kerabat masing-masing yang begitu tampak bangga menemani.
Kalau saya bagaimana? Saya sebenarnya tak begitu bahagia diwisuda, lantaran setelah lulus masih memikirkan bagaimana cara hidup lepas dari orang tua dengan langkah merantau munuju daerah yang jauh di sana. Belum lagi, "mengurusi" perasaan Heni yang saya meyakini pasti tambah ngebet ingin dinikahi setelah mengetahui saya wisuda.
Selanjutnya, di bawah tenda megah pengganti gedung wisuda, sesuai permintaan saya, ternyata Heni mau duduk sangat berdekatan dengan keluarga saya yang mendatangi prosesi wisuda. Barangkali, dia tipe cewek yang punya prinsip "maju tak gentar" ketika itu sudah sesuai dengan suara hatinya.
Tanpa saya sangka, Heni malah begitu percaya diri mepet dengan mereka. Itu sungguh mengherankan sekali, saya saja masih ciut nyali bertemu ibunya Heni, kok Heni sebaliknya. Padahal, pada beberapa hari sebelumnya, Heni sudah saya kasih spoiler tentang bagaimana keluarga saya.
Saran di atas saya pesankan pada Heni demi mendekatkannya pada keluarga. Dengan catatan khusus berupa tanpa perlu saya tekankan untuk kenalan maupun berbasa-basi pada mereka. Cukup duduk di sekitaran mereka.
Alasan lain, agar suatu hari saat saya kenalkan pada mereka, Heni tak terlalu kaget karena sudah sedikit "mengerti" seperti apa karakter keluarga saya. Dengan kata lain, itu sebagai masa penjajakan bagi Heni sebelum ke jenjang lebih lanjut.
Usai prosesi wisuda tuntas, saya ambil langkah cekatan mengajak Heni foto bareng bersama saya. Berdua saja. Saya menggunakan jasa tukang foto yang berada di sekitaran acara wisuda. Sedangkan, keluarga saya masih sibuk dengan urusan mereka, entah ngapain dan di mana.
Dengan wajah sumringah, Heni bersemangat merapat mepet hampir bersentuhan dengan tangan saya. Bahkan, gerakan tangan serta tatapan matanya sangat tampak berharap ingin memeluk siku saya. Namun, sebelum itu terjadi, saya cegah dia terlalu menempel.
Saya menasihati "Agak menjauh, bukan mahram!"
Dia merespon dengan wajah sewot penuh kemanjaan. Sembari itu, ia langsung menjaga jarak terlampau jauh.
Saya menghiburnya dengan berkata "Kita kan belum nikah, apa nikahnya sekarang saja, sekalian ini mumpung ada juru fotonya."
Tak disangka, tiba-tiba ibu saya muncul di depan kami setelah proses pengambilan foto berhasil.
Ibu berkata "Ini siapa? Teman ya?"
Saya menjawab "Iya buk."
Ibu menimpali "Owh,... Eh bapak kamu tadi di mana? Kamu cari bapak dulu, aku tunggu di sini."
Saya mencari bapak saya. Sekilas, saya melihat ibu sangat terdorong ingin menghampiri Heni. Sesudah saya pastikan dari kejauhan, dengan penuh yakin saya melihat mereka berdua mulai mengobrol.
Beberapa hari kemudian, setelah bertemu Heni di toko ibunya bulan lalu ditambahi sesudah berhasil "mempertemukan" Heni dengan keluarga di acara wisuda, saya semakin mantap untuk merantau mencari bekal berumah tangga.
Sebab, saya memutuskan bersedia menikahi Heni secepatnya sesuai anjuran keluarganya. Dengan salah satu pertimbangan, sepertinya Heni memang sudah siap memiliki suami yang modelnya semacam saya ini diimbuhi keluarga saya yang seperti itu.
Sebagai info, keluarga Heni memiliki tradisi untuk menikahkan anak-anaknya secara cepat di usia 20 tahunan. Bagi keluarganya, Heni tidak kuliah pun bukan jadi masalah. Terpenting sudah pernah mondok. Serta, menekankan nanti sesudah nikah dituntut punya anak lebih dari dua.
Kala mengingat masa lalu di SMA, saya sempat meragukan bahwa Heni ada rasa suka pada saya. Kini berbalik, menjelang rencana ke jenjang hubungan serius, justru saya meragukan bahwa Heni tak mencintai saya.
Lebih dari itu, saya merasa cinta Heni lebih besar ketimbang cinta saya padanya. Setidaknya, pancaran cinta itu bisa dibuktikan oleh Heni dalam aksi nyata. Sedangkan saya, apa buktinya mencintai Heni?
Biar pun, terdapat teman atau siapapun menjatuhkan mental saya dengan berkata "Sebaiknya mundur, sebelum nanti menyesal gagal menikahinya," itu enggak bakal mempan.
Begitu pula kata-kata menakutkan dari orang yang semestinya mendukung atau menyemangati saya "Kalau kamu menikah sekarang, bagaimana cara menghidupinya, hidupmu saja masih tak karuan begitu." Sebab, saya lebih percaya pada Heni.
Saya enggak ingin menyia-nyiakan kesempatan terakhir untuk memperistri Heni. Saya tidak mau kehilangan Heni untuk kedua kalinya. Sebagaimana, yang dulu saya alami saat di ujung kelas 3 SMA.
Kalaupun, mungkin kehilangan dia, tentu saya harus berusaha keras dulu guna mendapatkan cintanya. Bukan seperti dahulu, yang saya biarkan saja "hilang" tanpa perjuangan dan pengorbanan.
Kesimpulannya, saya ingin di sisa hidup tak mengalami penyesalan lantaran enggak berjuang sepenuhnya demi bisa menikahi Heni. Lagi pula, sejauh ini Heni juga masih membuka peluang bagi saya untuk mengejar cintanya.
Tentu, bukan cuma menikahi. Lebih dari itu, saya harus mampu menafkahinya beserta anak-anak kandung kami. Oleh sebab itu, saya harus merantau. Mau mengandalkan siapa lagi kalau bukan pada bahu saya sendiri?
Di akhir bulan Desember sekarang, saya pamit pergi merantau pada Heni. Kali ini, saya memberikan nomor HP saya kepadanya. Saya tuliskan di secarik kertas yang telah saya persiapkan sebelum tiba di toko ibunya Heni.
Pasti ada yang bertanya "Kok bukan saya yang minta nomor Heni?" Jawabannya, sampai sini masak belum memahami tujuan saya berbuat begitu sih? Saya ingin menguji rasa cinta Heni pada saya berkali-kali. Sejauh mana dia mau mengalah demi saya.
Kalau urusan sederhana seperti di atas yang berupa "Siapa yang harus menyimpan nomor HP dan menghubungi duluan?" dia masih meributkan, bagaimana dengan urusan yang lebih penting?
Hal sejenis itu, bukan tentang memandang siapa yang membutuhkan dan siapa yang dibutuhkan. Tidak pula, terkait siapa yang harus menunggu maupun siapa yang ditunggu. Enggak juga, menyangkut siapa yang paling mencintai serta siapa yang paling dicintai. Tak lagi, mengenai siapa yang mau bertahan dan siapa yang pantas dipertahankan.
Apa yang kami terapkan di tengah hubungan dalam kondisi yang tiada kepastian seperti itu merupakan cara melatih kewarasan mental sedari dini. Supaya nanti, sesudah menikah mampu menjalani hidup yang penuh tantangan. Bukan cuma persoalan yang datang dari eksternal, tetapi juga permasalahan dari dalam diri kami sendiri.
Saya enggak ingin hubungan pernikahan kita penuh drama dan kekanak-kanakan. Hanya disibukkan meributkan hal-hal kecil demi tetap bisa mengobrol bersama atau sekadar cari perhatian. Contohnya, bertengkar karena disebabkan selisih paham terkait siapa yang mesti menyimpan nomor HP seperti kasus di atas.
Di pertemuan terakhir sebelum saya berangkat merantau, saya berusaha meyakinkan Heni untuk ke sekian kali, bahwa apa yang saya pilih merupakan keputusan terbaik. Tujuannya, agar Heni rela melepaskan saya. Tentu juga supaya saat di perantauan nanti Heni tidak "mengganggu" saya.
Tak lupa saya akhiri percakapan dengan Heni berupa memberi pesan "Hen, sebelum aku merantau, apakah kamu mau berjanji padaku?"
Heni balik bertanya "Janji apa?"
Saya memperjelas permintaan tersebut "Kamu janji tidak akan bocorkan semua privasi dan rahasia hidupku pada siapa pun, terutama masalah trauma masa lalu."
Heni menjawab dengan mantap "Iya, aku janji, kamu jangan khawatir."
Saya memberi alasan padanya "Maaf ya, bukan aku enggak percaya kamu atau curiga sama kamu, atau khawatir kamu menusuk aku dari belakang,... aku trauma saja, beberapa orang yang aku
percaya, termasuk orang terdekat yang aku yakini mau memegang informasi yang aku berikan, justru disebarkan pada beberapa orang."
Heni menunjukkan wajah teduh dan berkata dengan nada lembut "Iya, tenang saja, aku enggak ingin memperparah traumamu."
Secara reflek saya mencoba sentuhkan ujung jari ke bagian atas atau
punggung telapak tangan Heni karena hendak mendekap seluruh jemarinya.
Kemudian Heni berujar “Eits, jangan sentuh, bukan muhrim.”
Saya tanggapi “Mahram, muhrim itu orang yang lagi umroh.”
Heni membela diri “Iya, maksudku itu”
Saya menyela untuk bertanya sambil tersenyum “Kamu enggak
mau aku sentuh karena balas dendam ya? Atau karena lokasinya tak tepat?”
Heni menyanggah "Kan, kamu sendiri selama ini yang enggak mau sentuhan."
Kemudian, saya berpamitan padanya sembari memberinya sebuah buku berjudul "Pedoman Pra Nikah dengan Pendekatan Interdisipliner."
Mungkin saya raja tega, walau Heni enggak pernah berkuliah, tetapi saya putuskan memberikan dia buku anak kuliahan yang sebenarnya cukup berat untuk dibaca oleh praktisi bisnis atau pebisnis ulet seperti dia.
Kandungan buku tersebut memuat cara membangun hubungan nikah sakinah, mawadah, dan penuh rahmat melalui pendekatan berbagai disiplin ilmu. Mulai dari kajian psikologi yang titik tekannya pada parenting serta kasih sayang di dalam rumah tangga, kesehatan fisik terutama masalah organ reproduksi serta penyakit menular seksual, dan fikih pernikahan.
Di dalam buku yang bersampul indah itu, turut pula diimbuhi sejumlah pembahasan lain. Di antaranya meliputi kajian dalam bidang ekonomi yang utamanya membahas keuangan dalam pernikahan, sosiologi yang fokusnya pada penyelesaian konflik keluarga besar maupun konflik internal rumah tangga, hingga langkah-langkah praktis persiapan diri maupun bersama-sama sebelum pernikahan.
Di hari berbeda, sebelum berangkat merantau tahun depan, saya puas-puasin dulu menikmati tulisan tangan saya di buku diary. Saya membaca bagian-bagian tulisan tangan saya yang paling berkesan.
Saya masih sempat menulis sesuatu di buku harian pribadi tersebut yang isinya sebagai berikut:
"Semoga kamu menerima keadaanku ini, bukan karena kasihan padaku maupun faktor terpaksa oleh rasa kemanusiaan akibat sudah terlanjur melangkah sejauh ini, tetapi karena memang tulus mencintaiku."
Kota Singkawang, Januari 2010
Akhirnya saya tiba juga di tanah perantauan. Kota Singkawang saya pilih sebagai tujuan merantau karena daerahnya tergolong tidak terpencil, tetapi juga tak terlalu padat. Daerah yang berbatasan langsung dengan hamparan pantai yang panjang. Sangat cocok dengan saya yang sangat menggemari pemandangan alam.
Selain itu, alasan lainnya lantaran di sana banyak warga dan penduduk yang berlatar belakang dari kalangan etnis Tionghoa. Mata mereka sipit, tentulah mirip dengan Heni. Tipe mata yang saya kagumi. Dengan itu, saya berharap Heni mudah beradaptasi ketika kami jadi menikah lalu tinggal di sini bersama saya.
Bukan cuma itu, saya memilih Kalimantan Barat sebagai tujuan merantau disebabkan lokasi ini bukan tujuan favorit dari warga Kediri dan sekitarnya. Sebab, saya merantau salah satu tujuannya hendak menghindari orang yang dikenali yang mungkin kelak tanpa saya sadari juga merantau ke Kalimantan. Nah, tentu pilihan mereka untuk merantau bukan ke Singkawang.
Intinya, saya ingin benar-benar memulai hidup baru tanpa "dibayang-bayangi" kembali oleh orang-orang di masa lalu. Sebab, bertemu lagi dengan mereka di tanah rantau, bakal membuat ingatan luka batin saya bisa bangkit kembali. Oleh sebab itu, saya harus menghilang tanpa jejak, layaknya agen telik sandi level global yang sudah pensiun dari profesi resminya sebagai abdi negara.
Saya menunggu Heni SMS ke nomor HP saya atau seenggaknya missed call darinya. Di dalam hati sempat bertanya-tanya, dia bermaksud balas dendam atau bagaimana? Selama ini seolah saya yang membuat dia menunggu-nunggu.
Sekarang, giliran saya yang menanti-nanti kabar darinya. Jangan-jangan dia sudah terbiasa menerima durasi dengan waktu lama tanpa berkomunikasi dengan saya?
Bersyukurlah, tak lama sesudah itu, kisaran hitungan beberapa hari, Heni SMS yang hanya satu kata, cuma menyebut namanya "Heni." Saya jawab satu kata juga "Iya." tanpa melanjutkan SMS lain. Saya sengaja menunggu dia SMS duluan di kemudian hari.
Bukan saya sok menjadi si paling dibutuhkan, tetapi saya ingin menjaga perasaan Heni. Tentunya pula, merawat perasaan saya sendiri. Sebab, hubungan kami yang "tak jelas" seperti ini membuat saya terlarang untuk menaruh harapan besar pada Heni.
Kota Singkawang, Maret 2010
Di bulan Februari kemarin, Heni memulai SMS lagi. Itu SMS kedua yang sebelumnya pertama kali dia SMS pada bulan Januari. Isi SMS-nya standar berupa "Bagaimana kabarnya?"
Yang saya jawab "Alhamdulillah baik." Sudah itu saja. Tanpa ada kelanjutan lagi. Jangankan bertelepon, saling "lempar" missed call pun tidak kami terapkan.
Sedangkan, sampai ujung akhir Maret sekarang ini, kami tidak saling mengontak melalui HP. Salah satu alasannya, saya sekarang sedang giat-giatnya memulai pekerjaan baru yang di bulan Februari lalu saya sudah memulainya.
Hal berikutnya, di tanah perantauan ini sejatinya saya enggak punya siapa-siapa. Teman baru pun tak sempat lebih akrab. Teman hanya sekadar teman dalam urusan kerja. Selebihnya, hidup kita masing-masing fokus urusan pribadi.
Saya orangnya memang termasuk "produk gagal" dalam urusan kehidupan bersosial, atau setidaknya dalam kaitan pertemanan. Saya tidak begitu jago berteman. Apalagi, berteman di lingkungan dunia kerja. Lebih dari itu, saya ingin fokus segera bisa mengumpulkan duit sebanyak-banyaknya demi modal berumah tangga
Kota Singkawang, Mei 2010
Di awal-awal merantau, saya masih punya tekat dan semangat kuat. Saya mampu menikmati dan "terhanyut" bahagia dengan suasana pekerjaan yang saya geluti. Apalagi, di bulan Februari yang lalu, saya akhirnya menemukan pekerjaan yang gajinya lebih lumayan mantap.
Alih-alih, diterima oleh salah satu pihak yang telah jadi sasaran kiriman surat lamaran dari saya. Yang terjadi saya direkrut secara khusus. Bukan faktor orang dalam alias kolusi. Melainkan, memang saya sudah "diselidiki" sebelumnya.
Sesudah menekuni bidang pekerjaan baru di atas, keadaan finansial saya meningkat pesat. Salah satu buktinya yaitu antara biaya bertahan hidup di sini dengan penghasilan yang saya terima selisihanya amat besar. Alhasil, saya bisa menyisihkan uang lumayan banyak.
Diimbuhi, duit tabungan yang saya kumpulkan saat di Kediri ternyata masih utuh. Kalaupun berkurang untuk dipakai beradaptasi ketika pertama kali tinggal di sini, jumlahnya tak seberapa. Lekas gampang tertutup kembali "lubang" tabungan itu dengan bayaran bulanan di tempat kerja baru. Malah, sekarang bertambah pesat.
Sayangnya, kini tiba-tiba saya merasa mengalami titik puncak "kebuntuan" disebabkan oleh kombinasi dari berbagai hal. Sebut saja seperti konflik sesama pekerja, kejenuhan, mengalami stagnan yang berakibat dikomentari oleh pihak pemberi gaji, dan sejumlah masalah lain.
Belum lagi, ada rasa kangen dengan Kediri. Lebih tepatnya, rindu dengan suasana dan kenangan di sana. Terutama ingatan saat bersama Heni.
Untungnya, dalam kondisi seperti itu, Heni tidak mempengaruhi maupun meminta saya untuk balik pulang. Dengan begitu, saya masih tetap kuat bertahan di Singkawang tanpa keraguan.
Di tengah kegalauan tersebut, saya menuju warung internet atau warnet. Di salah satu biliknya, saya membaca sebuah tulisan motivasi tentang afirmasi diri. Isinya menerangkan bahwa boleh saja punya kelemahan dan trauma yang membebani pikiran. Akan tetapi, tak boleh kehilangan kegigihan dan impian.
Lebih lanjut, dalam bacaan di atas menerangkan bahwa impian tanpa kegigihan bakal sulit tergapai dan amat lama terwujud. Sebaliknya, kegigihan tanpa impian berakibat plinplan alias tanpa pendirian.
Singkat cerita, saya bertekad untuk tetap profesional dalam menuntaskan urusan pekerjaan. Menghindari terpancing menguras pikiran gara-gara takut gagal menikah, yang justru hal tersebut boleh jadi bakal merusak masa depan.
Misalnya, nikah gagal, tetapi prospek karir pun tak jelas gara-gara terjebak kebimbangan. Saya lebih pilih diolok-olok sebagai orang jomblo yang tak laku pacaran, ketimbang dikatain sebagai pemuda pengangguran yang terancam hidup suram.
Sebagai penutup cerita di bulan Mei ini, sepertinya mimpi saya menjadi penulis bakal sirna. Lagian, menjadi penulis tentu enggak mudah. Maksudnya, mungkin aktivitas menulis memang gampang dan menyenangkan.
Kendati seperti itu, apakah ada jaminan tulisan akan diserap oleh pasar? Dengan kata lain, tulisan yang dibuat belum tentu menghasilkan uang dalam tempo cepat. Lantas, di mana tanggung jawab saya sebagai suami kalau berduit pas-pasan?
Kota Singkawang, Juni 2010
Heni SMS ke nomor HP saya "Kamu enggak kangen Kediri?"
Saya jawab "Tentu, karena di Kediri ada kamu. Aku kangen kamu. Kalau di Kediri tak ada kamu, aku belum tentu kangen balik ke sana"
Heni langsung balik menjawab "Kalau kangen apa buktinya?"
Saya jawab sekenanya "Membalas cepat SMS kamu ini, bukti aku kangen kamu."
Heni protes "Bukan begitu, jadi cowok kok enggak peka, masak aku terus yang SMS kamu duluan."
Saya jawab "Kita kan belum nikah, tak perlu mengumbar kemesraan."
Heni belum menyerah "Nanti sesudah nikah, kalau sama saja seperti ini gimana?
Saya menjawab "Tinggal dikomunikasikan, asal rasa cinta di antara kita tidak pudar, semua masih mudah untuk diomongkan."
Heni barangkali sudah jenuh menahan perasaan "tak jelas" sekaligus memendam harapan secara sendirian tanpa saya beri kabar selama berbulan-bulan. Hal itu, bukan berarti saya mau bertindak egois. Sesungguhnya, sayalah pihak yang paling kangen Heni, rindu berat malah. Heni tidak tahu gejolak dan gemuruh di dada ini.
Malahan, kalau mau adu rindu, seharusnya saya yang jadi pemenang. Berhubung saya mampu menahan penderitaan akibat dirundung kangen, membuat diri saya seolah biasa saja. Sebaliknya, yang saya takutkan adalah Heni yang dalam kondisi ketidakpastian seperti ini menyebabkan dia menyerah.
Dia seharusnya sudah tahu. Semakin kita kerap berkomunikasi berakibat bertambah "buruk" pula model berinteraksi saya padanya. Sebut saja seperti gaya komunikasi saya yang membosankan, sulit dimengerti, dan kadang makan hati. Namun, entah kenapa dia seolah tak merasakan hal itu, atau mungkin memilih untuk memaklumi, ketika berinteraksi dengan saya.
Sebaliknya, semakin jarang interaksi dengan Heni membikin gaya berkomunikasi saya justru mungkin jadi berkesan. Tidak lama menghubungi, sekali menghubungi langsung menenangkan hati. Seolah, bagai musafir yang hilang haus dahaga setelah menemukan oasis.
Kota Singkawang, Juli 2010
Selang kisaran satu bulan setelah terakhir kali kita menjalin komunikasi melalui HP, ternyata Heni SMS kembali "Kapan pulang?"
Saya jawab "Lima bulan lagi, kan aku di sini masih 7 bulan. Itu pun belum genap."
Heni membalas "Lama banget."
Saya jawab "Sabar dulu, menunggu 5 bulan itu sangat sebentar dibandingkan seumur hidup waktu yang akan kita jalani setelah nikah nanti."
Gaya komunikasi kami lewat HP memang begitu. Tidak romantis. Tanpa wujud mengumbar panggilan mesra seperti sayang, bebeb, honey, atau semacamnya. Lebih dari itu, kita memang tak menjalin hubungan apa-apa, semisal berpacaran ataupun berlamaran.
Lagi pula, masing-masing dari kami tahu betul saling mencintai. Dengan cara atau bentuk ungkapan cinta yang hanya dipahami oleh kami berdua. Jadi, bisa dikatakan modalitas kita dalam merawat perasaan cinta cuma komitmen dan saling percaya. Bukan dengan langkah harus diungkapkan secara verbal melalui kata-kata romantis.
Lagi pula, menurut saya, membangun sebuah hubungan enggak mesti dengan cara berpacaran. Melainkan, dengan saling mempercayai satu sama lain. Di mana, masing-masing serius mempersiapkan diri lahir dan batin menuju jalinan rumah tangga, yang barangkali, dalam kasus yang akan kami jalani, enggak semudah seperti halnya yang dialami pengantin baru umumnya.
Beberapa jam kemudian saya mendapat tanggapan SMS dari nomor Heni "Kalau kamu enggak segera pulang saya laporkan polisi."
Saya agak kaget, lalu membalasnya "Kamu kenal polisi? Apa dia Wimas atau Tristian teman kita di SMA?"
Sekitar 30 menit kemudian dia balas "Maaf ya, yang bales tadi adikku yang lagi usil."
Adiknya Ulfia Rosyadi memang suka bercanda.
Kota Singkawang, September 2010
Sudah lebih dari 8 bulan di Kalimantan, patut disyukuri ada perkembangan signifikan. Kondisi mental saya di lingkungan kerja aman. Begitu pula, saya sudah mulai bisa beradaptasi dengan kebudayaan masyarakat di sini yang pada satu sudut tertentu berbeda dengan di Kediri. Kendati begitu, saya belum berani mengajak Heni menikah lalu diboyong ke Singkawang.
Beberapa bulan lalu, saya pernah menegaskan pada Heni berupa ungkapan di SMS "Aku mendekatimu untuk saling memahami, bukan ingin merusak masa mudamu, hanya coba-coba, habis manis sepah dibuang,... Justru aku ingin membangun masa depan bersama dengan pondasi yang kuat sejak awal."
SMS lainnya di beberapa waktu lalu yang cukup terlampau lama, saya juga memberi saran pada Heni "Sebelum menikah, prioritaskan dulu orang tuamu dan saudara kandungmu, sebab, belum tentu nanti sesudah menikah kamu punya waktu untuk mereka."
Sebagai penutup, di ujung akhir bulan September ini, berhubung kondisi finansial saya sudah lumayan "terisi" serta pekerjaan saya telah sesuai harapan, saya mulai berani lebih agresif pada Heni. Untuk pertama kali saya SMS dia terlebih dahulu, tanpa perlu diawali oleh Heni.
Saya membuka percakapan SMS "Lagi apa?"
Heni membalas "Tumben SMS tanya begitu?"
Saya jawab "Buat ngetes ngambek atau tidak."
Beberapa menit kemudian dia mengirim SMS "Lagi dengerin musik."
Saya penasaran dong, yang tentu saya ambil tindak lanjut dengan bertanya lewat SMS "Judul lagu dan penyanyinya siapa?"
Secepat kilat Heni membalas "Apa Artinya Cinta, Melly"
Saya menanggapi dengan ber-SMS "Isi lagunya mirip kisah cinta kita di SMA."
Heni merespon "Iya."
Kota Singkawang, Oktober 2010
Saya sengaja ingin menunjukkan semua hal penting menyangkut masa lalu saya, tanpa terkecuali, kepada Heni. Begitu pula sebaliknya, saya bertanya-tanya pada Heni tentang masa lalunya yang berpeluang mempengaruhi hubungan pernikahan di masa depan.
Dua di antaranya, tentu bertanya seputar trauma yang dimiliki Heni yang masih belum teratasi sampai sekarang serta mengulik terkait fobia pada hal apa saja. Dua hal itu, menurut saya sangat penting untuk diketahui oleh calon suami yang kelak bertindak sebagai pelindung istri.
Sebagai dua insan yang "mungkin" saling mencintai, malah boleh dibilang kandidat kuat calon pasangan suami-istri, tentulah kami mesti saling tahu masalah semacam di atas. Itu juga sebagai wujud keterbukaan demi mencegah rasa sesal setelah pernikahan terjadi. Semua itu, saling kita tunjukkan lewat SMS dengan jumlah ketikan kata panjang lebar, tanpa menyingkat huruf.
Selain itu, tujuan berikutnya ialah supaya Heni bisa memahami kondisi saya yang mungkin tidak ideal menurut wanita lain untuk dijadikan suami. Mana ada gadis yang mau diajak nikah oleh lelaki yang "belum selesai" dengan masa lalunya? Setidaknya, jika dia tetap menerima saya menjadi pasangan hidup maka sudah tahu seperti apa risikonya.
Guna menambah bahan pertimbangan bagi Heni, saya tak pernah bosan memberikan informasi-informasi yang mungkin bagi wanita lain bakal membuatnya berpikir dua kali untuk menikah, saya bercerita pada Heni melalui SMS yang isinya seperti ini:
"Sebelum aku melamarmu, aku beritahukan bahwa aku seorang introvert. Aku introvert begini bukan semata-mata karena bawaan dari lahir atau genetik. Melainkan menurut pemahamanku, aku ada gangguan kepribadian. Kalau tak ada trauma serta masalah kehidupan yang merundung aku bertubi-tubi di masa lalu, barangkali aku jadi ekstrover. Setidaknya, ambivert yang merupakan kombinasi keduanya. Apakah kamu siap punya pasangan introvert?"
Dengan cekatan Heni menjawab "Malah asyik kan? Peluang selingkuh tipis dan bisa sering berduaan di rumah terus?"
Saya menambahi "Sebaiknya, kamu baca-baca dulu artikel tentang kepribadian inrovert terutama menyangkut kelemahan atau kekurangannya. Biar kamu nanti mampu memahaminya secara utuh."
Bukan cuma di atas, Heni juga saya saya kasih tahu watak saya yang negatif serta bisa dibilang mustahil untuk dirubah. Yakni, sikap saya ketika sedang mengalami marah. Di mana, akibat trauma masa kecil serta salah pola asuh pada kala itu, membuat saya sulit mengendalikan diri ketika dalam keadaan marah.
Saya tegaskan pada Heni bahwa saat saya benar-benar marah, dia harus bersungguh-sungguh siap untuk menerimanya. Dia saya larang untuk merasa percaya diri bisa merubah watak saya itu. Sebaliknya, dia harus menerimanya dengan cara tanpa mengeluh ketika saya marah. Lebih baik lagi, dia mampu mencegah serta mengatur situasi agar saya tak mengalami marah besar.
Tentunya, di sisi berbeda, saya juga tak berharap banyak untuk merubah watak Heni ketika dalam kondisi marah. Oleh sebab itu, saya sempat berpikir bakal menguji kesabaran dia dan sejauh mana puncak kemarahannya. Supaya saya tahu bagaimana sifat atau karakter aslinya ketika marah.
Kota Singkawang, November 2010
Setelah mengetahui kondisi saya yang mulai ada titik terang dalam urusan pekerjaan serta mengalami kemajuan signifikan, Heni begitu semangat ingin segera bertemu lagi. Akan tetapi, saya pantang menyerah guna terus "menyadarkan" Heni kembali bahwa dia harus menunggu dulu hingga saya satu tahun penuh kerja di sini.
Satu tahun tanpa pulang kampung merupakan target pribadi, yang sejak awal merantau sudah bertekat saya penuhi. Setelah genap setahun, baru nanti balik ke Kediri.
Berhubung Heni pantang menyerah "meneror" saya, mengakibatkan saling timpal SMS antara kami berdua semakin gencar. Singkat kalimat, pada bulan ke-11 saya merantau ke Kalimantan, kali ini Heni semakin kerap SMS.
Dia tampak terbawa perasaan akibat ada temannya yang baru saja nikah. Alhasil, saya jadi korban. Memang selemah itu hati cewek. Sedikit-sedikit terbawa perasaan.
Berdasarkan salah satu artikel yang saya baca, menerangkan bahwa hormon memiliki peranan penting dalam interaksi sosial. Boleh jadi, hormon bahagia Heni lagi banjir-banjirnya mengalir ke seluruh tubuh sehingga dorongan untuk cepat-cepat menikah begitu besar.
Singkat cerita, saya yang harus mengalah guna mengalihkan fokus pikiran saya serta waktu untuk urusan pekerjaan, hanya demi meredam ambisi Heni yang menggebu.
Salah satu SMS Heni yaitu "Kalau tidak segera pulang melamar, jangan nyesel didahulu orang lain."
Kali ini, saya tidak langsung membalas segera SMS dari Heni. Saya membatin, mungkin Heni takut kehilangan saya yang kedua kalinya. Padahal, saya sebetulnya juga jauh lebih merana ketika ditinggal nikah dia. Kendati saya bukan cowok pemaksa dalam sebuah hubungan, tetap saja ada rasa kehilangan yang bakal menyiksa seumur hidup.
Dia takut kehilangan saya, boleh jadi lantaran menurutnya saya begitu kerasan alias betah dan bahagia di perantauan. Apalagi, dia juga sudah tahu jumlah nominal tabungan saya. Dia mungkin takut, dengan uang itu akan membuat saya mudah berbuat aneh-aneh.
Awalnya, tujuan saya menunjukkan angka tabungan di rekening bank supaya Heni bersemangat ketika saya ajak merantau. Dengan itu, dia tak jadi kepikirin untuk turut andil menopang perekonomian rumah tangga nanti. Biar dia cukup fokus menggeluti bidang kreativitas yang diimpikannya selama ini.
Lebih spesifiknya, waktu itu saya berbicara di telepon bertujuan mengajak dia membangun asa bersama di tanah rantau. Saya cuma minta dia untuk bekerja sama yang berwujud seperti satu dengan lain saling meleluasakan dalam berkreasi.
Salah satu wujudnya, saya memberi Heni kesempatan dan ruang gerak untuk beraktivitas di bidang yang diminatinya. Begitu pula sebaliknya. Intinya, kita tak saling menghambat maupun sekadar mengganggu.
Kala itu, saya juga beritahukan padanya terkait uang hasil usaha atau kerja Heni sepenuhnya menjadi miliknya. Sedangkan, sebagian besar duit hasil kerja saya setiap bulan menjadi miliknya. Dengan penekanan, setiap bulan Heni nanti saya kasih nafkah secara pantas dan mencukupi untuk kelayakan hidup bersama anak-anak kita.
Seluruh janji-janji di atas yang saya sampaikan beberapa waktu lampau lewat telepon, akhirnya saya tutup dengan ungkapan kepada Heni seperti di bawah:
"Aku percaya kamu, tolong jangan khianati ataupun menyia-nyiakan kepercayaanku itu, aku ingin anak kita kelak tidak malu atau minder karena punya orang tua seperti aku. Oleh sebab itu, aku butuh ruang untuk mengembangkan diri."
Kembali pada masa sekarang, setelah dirasa saya sudah siap memberi penjelasan, saya jawab SMS dari Heni "Bisa aku telepon tidak?"
Melalui sambungan telepon, kami mengobrol mendalam secara serius untuk kedua kalinya. Demi bisa meyakinkan Heni bahwa satu sama lain di antara kita semestinya saling membutuhkan dan ada komitmen untuk berumah tangga secara ideal.
Bukan sekadar nikah tanpa persiapan dan hanya dimaksudkan untuk "membuang" status jomblo. Melainkan, berumah tangga yang tak hanya bermodalkan cinta, tetapi juga sebuah perencanaan hingga jangka panjang secara matang.
Namun, sebanyak apapun dan selama apapun saya memberikan penjelasan padanya, ujung-ujungnya dia tetap kekeh untuk segera dinikahi. Sama-sama keras kepala. Yakni, keras kepala dalam urusan perbucinan. Saya bucin ingin membahagiakan dia dengan cara bekerja cari duit dan menjadi suami yang sempurna. Dia bucin berkehendak segera dinikahi oleh saya.
Beberapa dari isi pembicaraan telepon di atas, salah satu di antaranya berupa penjelasan bahwa saya ingin semua kebutuhan pokok seperti sandang-pangan-papan saat kita nanti merantau di Kalimantan semuanya saya yang menanggung. Termasuk urusan transportasi sehari-hari. Lebih dari itu, saya ingin memberinya mahar dia secara pantas.
Intinya, sebelum menikah kita sudah memperjelas batas-batas yang tak boleh dilanggar serta bagaimana tanggung jawab dan kewajiban masing-masing. Bagi saya, lebih baik rumit di awal ketimbang akhirnya menyesal dan kesulitan. Untungnya, Heni bisa memakluminya sehingga diskusi kami berlangsung sengit.
Berikutnya, saya meyakinkan dia bahwa saya ingin memastikan selama 3 sampai 5 bulan pertama di perantauan, meski tinggal di rumah kontrakan, saya ingin menjamin hidup kami layak dan mampu makan berkualitas tanpa perlu berhemat. Saya enggak ingin membuat Heni terkaget karena terjatuh ke dalam hidup penuh kesederhanaan.
Berhubung sudah membukanya semua kepada Heni, tak ayal niat saya untuk memberikan Heni "kejutan" berbuah gagal. Padahal, saya bermaksud agar Heni bisa merasakan langsung semua pemberian saya di atas, termasuk pemberian mahar nikah, tanpa perlu saya beri janji-janji dahulu sebelum akad nikah berlangsung.
Pasti dia kaget, mengetahui saya yang dahulu "terlihat" pelit, ternyata saat menikah berbanding terbalik. Namun, takdir Tuhan berkehendak lain. Semoga itu mendatangkan kebaikan bagi kita bersama.
Boleh jadi, tatkala saya tetap menyimpannya, justru terjadi salah paham yang berujung perpisahan di antara kita sebelum pernikahan diadakan. Alhasil, saya putuskan untuk membuka seluruhnya. Daripada saya menyesal, lebih baik terbuka dan jujur pada Heni. Dengan harapan dapat menjadi langkah bagus untuk memulai rumah tangga.
Mengetahui hal tersebut, Heni tambah gencar mengajak berbicara saya yang isi atau topiknya hanya seputar nikah. Kalau pun, berbasa-basi pada ujung-ujungnya kembali ke permasalahan pernikahan.
Beerapa hari selanjutnya, sesudah saya panjang lebar memberi pemahaman terhadap Heni, ternyata angin surga bertiup ke arah saya. Sebelum kami mengakhiri pembicaraan mendalam dan tuntas, Heni berani meyakinkan saya melalui obrolan telepon.
Dia berkata "Kamu juga harus tahu,... aku mau dinikahi kamu, bukan karena semata-mata aku tertarik sama kamu. Bukan karena uang tabunganmu, bukan disebabkan fisikmu yang kata cewek-cewek berwajah manis dan bertubuh gagah,...."
Saya langsung menyela karena tak tahan dipuji-puji dengan ucapan mengandung canda "Ha... Ha.. Ha, tumben kamu memuji-muji begitu Hen..."
Dia melanjutkan "Jangan canda gitu, aku serius. Aku melihat kamu punya tanggung jawab dan terlihat tulus serta berkomitmen ingin membahagiakanku. Hancurnya mentalmu di masa lalu, seharusnya tidak membuat kamu takut segera menikah dengan wanita yang kamu cintai."
Saya menimpali "Kamu tidak tahu seperti apa trauma masa laluku, kan? Mungkin, kalau aku enggak pernah ngobrol sama sekali dengan kamu seperti sekarang ini, atau tak pernah ketemu kamu lagi setelah lulus SMA, sudah pasti membuat trauma hidupku semakin parah. "
Heni "Setiap orang punya trauma, tinggal bagaimana saja menyikapinya..."
Aku "Tapi,...."
Heni "Masih pakai tapi-tapi, kamu harus tahu, aku dulu sebelum kamu temui di toko untuk pertama kali, sudah diajak bicara tentang lamaran secara resmi oleh cowok, dia berencana saling kunjung antar keluarga, tetapi aku tangguhkan tanpa aku beri jawaban dalam tempo dekat. Di tengah-tengah itu, kamu datang. Sejak dari itu, aku yakin kamulah orangnya."
Aku "Iyakah???... Memang Tuhan sangat memudahkan langkahku untuk mendapatkan cintamu. Sekarang ini, aku masih menunggu Tuhan memudahkan lagi."
Heni "Jangan banyak pertimbangan yang justru menyulitkan diri. Kamu itu cowok! Seharusnya berani mengambil keputusan dan tak ragu segera memilih di kondisi genting, bukan hanya menunggu! Sampai kapan kamu akan punya keberanian melindungi wanita yang kamu cintai dengan cara menikahinya?"
Saya masih tak terpancing dengan 'tantangan' Heni seperti itu dengan mengatakan padanya "Apakah kamu siap punya mertua seperti ibuku dan apa juga siap menghadapi sebagian keluargaku yang lainnya, yang kamu tahu sendiri bagaimana risikonya?"
Heni "Aku enggak kaget dengan sifat ibumu, saat ngobrol berdua sama ibumu di acara wisuda dulu, dengan cepat aku sudah menyadari seperti apa sifat ibumu. Aku tahu risiko punya calon mertua seperti ibumu."
Aku tanya "Jadi kesimpulannya apa?"
Heni "Kok masih tanya, saya siap dinikahi anda Bapak Nathan terhormat."
Saya jawab "Bulan depan aku usahakan kita nikah. Awal bulan Desember aku balik ke Kediri."
Heni merespon "Ya, semoga dimudahkan."
Sebelum saya akhiri pembicaraan kita berdua, saya tutup dengan dua kalimat kepada Heni sebagai berikut:
"Itulah salah satu alasan terkuatku mengajakmu merantau. Aku mungkin tak bisa membelamu di hadapan pihak yang bikin aku trauma, tetapi aku bisa menjauhkanmu dari mereka agar hatimu terselamatkan tanpa ikut masuk ke pusaran."
Perlu diketahui, dahulu saking mengalami depresi parah, sebelum menemui Heni untuk pertama kali di toko ibunya, saya sempat berpikir hendak mengakhiri hidup. Akan tetapi, akhirnya saya urungkan tatkala ingat bahwa Tuhan menghadirkan banyak keajaiban. Salah satunya berwujud diberi kesempatan bertemu Heni di masa SMA. Itulah rahmat Tuhan yang wajib disyukuri.
Bagi saya, Heni merupakan salah satu bukti nyata bahwa Tuhan memang benar-benar ada sebagai entitas Yang Maha Mengurus makhluk-Nya. Kalimat tersebut bukanlah hiperbola, tetapi sebuah ungkapan dari isi hati saya terdalam.
Menurut isi pikiran saya "Sampai sejauh ini, saya hidup lalu bertemu Heni serta mencintainya mati-matian, pasti itu sudah kehendak Tuhan. Segala upaya untuk melupakannya gagal total. Berarti, Tuhan memang menghendaki di sisa hidupku untuk mencintai Heni. Tidak ada wanita lain yang bisa mengganti. Saya harus memperjuangkannya."
Selain itu, berangsur-angsur saya mulai yakin bahwa Heni adalah cinta sejati saya. Tentu, bakal semakin menjadi pasti apakah Heni cinta sejati atau bukan, ketika saya sudah menikahinya. Oleh sebab itu, saya putuskan berjuang keras mendapatkan cintanya di tengah-tengah mempertahankan idealisme yang saya junjung tinggi sekarang ini.
Sebagai penutup cerita pada bagian kedua ini, akhirnya, tanpa diduga niat saya untuk merantau selama 1 tahun utuh mengalami kegagalan. Belum genap 12 bulan, saya mesti putar balik ke kampung halaman demi menikahi Heni.
Guna membaca kisah selanjutnya silakan baca di sini dengan cara menekan tautan berikut: https://www.banjirembun.com/2025/02/isi-novel-di-tanah-perantauan-bagian-ke.html. Bisa pula, copy-paste alamat link tersebut ke dalam kotak browser atau peramban anda.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Isi Novel "Di Tanah Perantauan" Bagian ke-5 Dihadapkan Dua Pilihan antara Ikatan atau Kebebasan?"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*