Bagian Keenam: Menguji Janji, Menjaga Komitmen atau Pilih Menyerah?
Kabupaten Kediri, Desember 2010
Sekarang saya sudah di Kediri. Di rumah orang tua yang berukuran besar sekali. Bahkan, untuk standar hunian di daerah pedesaan, masih termasuk golongan rumah gede. Halaman depan luas. Sisa tanah bagian samping dan belakang masih sangat lapang. Selain itu, di sisi ujung tanah belakang juga menghadap jalan beraspal penghubung antar dusun.
Lebih rinci, salah satu ciri utama lokasi rumah orang tua saya yaitu berbentuk leter L. Di belakangnya ada pohon mahoni raksasa yang menjulang amat tinggi puluhan meter. Lebih tinggi dari pohon kelapa yang sudah berumur tua yang berposisi di sampingnya. Adapun di depan rumah, terdapat aliran sungai yang deras dan cukup lebar.
Info berikutnya, saya memulai mudik naik pesawat dari Bandara Supadio, Pontianak lalu menuju Bandar Udara Internasional Juanda, Surabaya. Sebab, kalau memakai moda kapal laut selain butuh durasi perjalanan lama, juga bikin tubuh kecapekan.
Apa boleh buat, saya mesti lepas landas di Pontianak lalu melakukan pendaratan di Surabaya terlebih dahulu. Penyebabnya ialah saat ini di Singkawang maupun Kediri belum dibangun bandara. Semoga dua kota penuh kenangan tersebut, di masa depan dibangun bandara.
Demi bisa tiba di Pontianak, beberapa hari lalu saya putuskan naik bus umum. Tentu, sebelum dan sesudahnya mesti disambung dengan jenis transportasi lain agar tiba di terminal dan bisa menuju bandara.
Adapun, dari Surabaya menuju Kediri saya pakai moda travel. Dengan alasan biar cepat. Tanpa perlu menghubungi siapa pun, secara mandiri ingin tiba di depan pintu rumah orang tua dengan mendadak.
Saya sengaja enggak bawa barang maupun pakaian yang banyak. Sebab, sedari awal ada niat mengkosongkan tas untuk dipakai membeli-beli sesuatu di Jawa guna saya angkut ke Kalimantan.
Sedangkan, dari Singkawang, saya hanya bawa oleh-oleh makanan khas. Lagi pula, tujuan saya pulang kampung yaitu menikahi Heni lantas dalam tempo singkat membersamainya balik lagi ke Singkawang.
Saya berpegang teguh hendak fokus pada tujuan. Semua dilakukan apa adanya. Tanpa dibuat-buat, misal dengan cara mempersulit diri. Saya tidak suka membuang waktu, boros duit, menuruti tren kekinian, maupun memforsir pikiran untuk hal-hal yang sebenarnya semua itu bisa dihindari.
Termasuk pula urusan pernikahan, yang harapan saya hanya seumur hidup sekali, tak bikin saya terperdaya untuk ikut-ikutan euforia dengan berpesta pora yang berdalih demi unjuk diri serta pembuktian atas pencapaian. Saya harus memilih jalan hidup yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang saya alami.
Acara lamaran, yang dalam adat masyarakat Kediri disebut sisetan, juga dilakukan sederhana, hanya berupa kunjungan keluarga calon pengantin pria kepada keluarga calon istri.
Itu diterapkan tanpa mengikutsertakan saya, disebabkan saya lebih pilih menuntaskan tugas pekerjaan sebelum mengambil cuti panjang di ujung akhir tahun. Untungnya, semua pihak bisa memahami.
Lebih lanjut, lumrahnya dalam penjajakan sebelum melamar wanita, salah satu keluarga dari calon pengantin pria pasti melakukan penyelidikan dahulu terhadap latar belakang calon pengantin wanita.
Baru sesudah itu, pihak perwakilan keluarga pria bertamu kepada keluarga wanita. Di mana, bapak kandung saya mewakilkan kepada kakak kandung saya yang pertama untuk kunjungan "pembukaan" tersebut.
Hal di atas diterapkan demi meyakinkan keluarga saya bahwa Heni dan keluarganya benar-benar mau untuk mengadakan agenda lamaran. Sebab, orang tua saya tidak begitu percaya, atau lebih tepatnya ragu, keluarga Heni mau menerima saya sebagai menantunya.
Nah, untuk memastikannya, kakak kandung nomor satu ditugaskan mencari tahu dengan cara bertamu ke rumah ibunya Heni.
Setelah semua jelas tanpa ada kabar bias, acara lamaran disepakati diadakan secepatnya pada tanggal merah di hari Selasa 07 Desember. Adapun, saya melakukan perjalanan menuju Kediri pada hari Kamis 16 Desember.
Barulah, di hari Sabtu tanggal 18 Desember dilangsungkan ijab kabul di rumah ibunya Heni dengan wali nikah mas Santo, kakaknya Heni. Sangat kilat.
Kami sepakat tidak melakukan acara resepsi nikah. Sebagai ganti, cukup mengundang tetangga dan kerabat terdekat dalam tajuk menyaksikan ijab kabul lalu disusul acara syukuran berupa jamuan makan. Itulah yang disebut walimah urusy yang benar.
Tanpa perlu memberlakukan pengantin layaknya raja dan ratu sehari di pelaminan penuh gemerlap. Cukup bercengkerama bersama sembari menikmati hidangan.
Alhamdulillah, usul saya untuk tidak mempersulit diri dalam urusan nikah diterima oleh keluarga Heni. Entah apa perimbangan mereka. Saya enggak mau ikut campur. Dalam pikir saya, fokus pada tujuan dan pengembangan diri jauh lebih penting ketimbang mengurusi hal-hal yang boleh diabaikan semacam itu.
Awalnya, Heni tidak setuju dengan ide saya tersebut. Namun, setelah saya yakinkan berkali-kali, membuat ia luluh juga. Sebagai gantinya, biaya keperluan mengadakan syukuran dari A sampai Z di rumah ibunya Heni, semuanya saya yang menanggung. Hal itu, sebagai simbol bahwa sayalah pihak yang wajib bertanggungjawab atas risikonya.
Dengan kata lain, juga dapat menjadi bukti bahwa saya merupakan yang punya ide "gaya" pernikahan tersebut. Walhasil, keluarga Heni tidak merasa terbebani lantaran dianggap "gagal" membuat meriah pernikahan anaknya. Sebab, semua "beban sosial" itu ditujukan pada saya. Dengan itu, tentu merupakan win-win solution.
Menurut saya, pesta pernikahan yang berlebihan justru merusak kesakralan. Lebih baik sederhana, tetapi tak menghilangkan kesan mendalam bagi kami sebagai pengantin beserta keluarga maupun tetangga.
Tentunya, makna sederhana tersebut bukan berarti murah ataupun tak berkualitas. Melainkan, berhubung tamu yang datang tak banyak sehingga anggaran bisa difokuskan untuk kalangan tertentu saja.
Adapun, pihak orang tua saya juga sama. Acara tradisi tinjo dalam masyarakat jawa juga dilangsungkan sederhana di hari Sabtu tanggal 25 Desember. Yakni, prosesi kunjungan balasan keluarga wanita bersama mempelai pria sesudah akad nikah.
Hanya melibatkan sebagian tetangga dan sekadar mengundang keluarga terdekat. Tujuannya ialah mengumumkan kepada mereka bahwa saya sudah berstatus menikah.
Akhirnya, Heni juga menerima dengan penuh kerelaan dengan hal itu semua.
Ketika dijabarkan, alur jadwal yang sudah kami siapkan yaitu dari tanggal 18 sampai 25 bermalam di rumah ibunya Heni. Sedangkan, dari tanggal 25 hingga 27 menginap di rumah orang tua saya. Sesudah itu, pada Selasa tanggal 28 saya beserta Heni naik pesawat menuju Kota Pontianak. Rencana menginap semalam di sana, sekalian bulan madu.
Lalu, dituntaskan dengan naik taksi ke tujuan akhir yaitu Kota Singkawang. Sebab, tanggal 03 Januari 2011 saya harus beraktivitas seperti sedia kala.
Semoga perencanaan itu terwujud dengan sempurna. Kalau pun ada rintangan, mudah untuk diatasi.
Selama di rumah orang tua saya, Heni bersama saya melewati waktu dengan langkah jalan-jalan di area sekitaran kampung halaman saya. Tentunya, dia saya ajak ke sumber mata air alami milik umum yang bernama Sumber Manten.
Saya ceritakan mitos tentang tempat tersebut pada Heni kenapa dinamai Sumber Manten. Yakni, ada manten lanang (laki-laki) dan manten wedok (wanita) yang melarikan diri ke daerah terpencil. Singkat cerita, masing-masing pasangan pengantin itu menjelma jadi sumber mata air lanang dan sumber mata air wedok.
Lebih spesifiknya, di tengah-tengah antara dua sumber tersebut terdapat pohon rengas. Sebuah pohon berukuran besar dan rimbun, tetapi terkenal bikin gatal-gatal yang parah. Tak jarang, individu yang kena getahnya menimbulkan iritasi hebat pada kulit.
Teman sekelas saya di kala SD, bernama Lilik, pernah menjadi korban keganasan pohon itu. Terbukti, saya melihat sendiri sebagian kulitnya mengalami perubahan warna dan bentuk. Berbintik-bintik disertai warnanya menjadi ada bercak keputih-putihan.
Selain itu, saya juga beritahu Heni bahwa di sanalah saya mulai belajar renang serta tentu memiliki banyak kenangan di waktu kecil. Heni cukup terkesima dan terdiam tatkala saya bercerita panjang lebar.
Dia memilih lebih banyak memegang erat siku saya daripada bertanya-tanya maupun mengajak untuk bermain air. Barangkali, lantaran suasana pepohonan rimbun mirip di hutan yang membuat ia merasa asing.
Saya pegang erat telapak tangan Heni, guna membantunya turun menuju mata air maupun naik keluar kolam yang berukuran lumayan besar. Saya tatap wajahnya, tampak begitu kemerah-merahan seperti gadis yang lagi jatuh cinta untuk pertama kali.
Mungkin, momen yang semacam sekarang inilah yang Heni tunggu-tunggu. Yakni, mendapat perhatian serta perlindungan dari seseorang yang mencintainya. Oleh sebab itu, saya harus paham dan sadar tentang suasana batin tersebut.
Satu hari sesudahnya, di ujung akhir bulan Desember, sebelum berangkat merantau bersama Heni, saya mengajak ia berkunjung ke rumah nenek sekaligus bertamu di rumah kerabat yang lokasinya bersebelahan satu sama lain.
Lebih tepatnya, rumah mereka sangat mepet dengan Masjid kuno. Letaknya di Dusun Tumbuk, Desa Ngino, Kecamatan Plemahan, Kabupaten Kediri. Lokasinya berada di timurnya sungai besar dengan ketinggian air yang dalam.
Di waktu zuhur, saya sholat di Masjid kuno peninggalan leluhur. Menurut cerita nenek, Masjid teduh yang sedang saya nikmati dengan memandanginya di segeala penjuru ini, sudah terbangun sedari babat alas massal pada era Pangeran Diponegoro.
Bahkan, barangkali niatnya untuk memotivasi atau agar saya tidak jadi individu minder, nenek pernah bilang bahwa kami bagian dari keturunan Pangeran Diponegoro.
Salah satu bukti peninggalan yang menjadi tanda terdapatnya pembukaan peradaban baru di zaman dahulu adalah pada sisi sebelah timur Masjid ditanam pohon sawo kecik. Di mana, di bawah tumbuhan besar itu saya dulu pernah bermain aneka macam permainan bersama teman-teman yang tempat tinggalnya di sekitar Masjid.
Pohon tersebut sudah umum diketahui sebagai simbol terdapatnya hubungan jaringan atau ikatan dengan Pangeran Diponegoro. Setiap ada perpindahan penduduk dari satu wilayah ke wilayah lain, yang terkait Pangeran Diponegoro, hampir dipastikan lahan yang jadi tujuan menetap ditanami sawo kecik.
Kembali pada bahasan tentang tujuan saya datang ke desa yang lingkungannya teduh dipenuhi pohon-pohon bambu ini, saya bersama istri sowan rumah nenek bukan bermaksud berpamitan.
Sebab, kalau dimaksudkan untuk pamitan nanti malah terkesan minta uang saku untuk biaya perjalanan. Malahan, saya hendak menunjukkan rasa senang pada nenek lantaran sudah berhasil menikahi gadis pujaan hati.
Bukan cuma itu, sebagai suami, saya enggak mau membiarkan Heni permisif ketika saya mencari muka atau menjilat pada seseorang demi duit atau untuk mendapatkan hal apa pun. Saya enggak mengizinkan Heni mendukung suaminya menghalalkan segala cara maupun "sekadar" menjatuhkan diri demi meraih sesuatu.
Heni harus tahu sejak awal bahwa apa yang pernah saya omongkan sebelum nikah terkait prinsip hidup saya terkait itu, sekarang ini bisa dia lihat langsung. Agar lebih gereget, malah sebaliknya, saya membawakan nenek oleh-oleh yang amat pantas baik dari segi kuantitas ataupun kualitas.
Heni sudah saya beri tahu itu. Saya cuma ingin mengenalkan Heni kepada nenek dan keluarga yang domisilinya di sekitaran Masjid kuno yang merupakan bagian dari masa lalu saya. Salah satu tujuannya biar sebagian besar kenangan saya bisa diresapi lalu masuk ke sanubari Heni sehingga feel kita bisa menyatu.
Begitu juga sebaliknya, saya mengajak Heni ke sini supaya kerabat saya tahu seperti apa Heni. Enggak ada maksud lainnya yang tersembunyi. Intinya, saya ingin Heni turut merasakan secara langsung berbagai kenangan saya di waktu masa kecil dahulu di rumah nenek.
Sembari pamit, tepat di depan pintu utama rumah nenek yang bermotif klasik, saya membungkuk untuk mencium tangan nenek. Lalu, saya memberi nenek uang yang beberapa jam lalu telah saya masukkan ke amplop.
Nominalnya, sudah Heni ketahui, lantaran saat saya mengisi amplopnya sebelum tiba di rumah nenek, dia juga melihatnya sendiri sembari duduk nyaman di jok mobil sebelah kiri saya. Melihat itu, Heni diam saja tak berkomentar.
Sesudah perjalanan balik dari rumah nenek, Heni bertanya "Kenapa nenek diberi uang tadi?"
Saya langsung memberi pemaparan "Kamu percaya sama aku, jika kamu mempercayai bahwa aku cinta kamu, tentu kamu bakal percaya bahwa aku enggak akan berbuat zalim padamu, terutama menyangkut keuangan."
Wajar ketika Heni mempertanyakan apa yang telah saya lakukan. Sebab, budaya masyarakat kita memang lebih lumrahnya untuk memberikan bekal bagi calon perantau. Bukan sebaliknya, calon perantau yang memberi uang kepada orang yang akan ditinggal merantau.
Heni menggugat tak puas atas apa yang telah saya katakan "Kamu itu loh kebiasaan kalo diajak ngomong suka enggak nyambung. Ditanya apa, jawabannya apa."
Saya langsung menanggapi "Selama aku masih bersamamu dan selama kamu mau diajak bicara sama aku, selama itu semuanya masih aman, aku tak perlu risau."
Heni menyanggah "Ya, jangan menyerah begitu, perbaiki dong!"
Saya mulai melantur "Nanti kalau diperbaiki, terus aku nanti disukai banyak cewek lain gimana? Aku yang begini saja sudah..." Belum saya lanjutkan bicara, tiba-tiba Heni bereaksi.
Heni langsung cubit perut saya sambil berkata "Maksud aku itu, apa yang spesial dari nenek sehingga membuatmu memberikan uang segitu banyaknya?"
Saya langsung tertawa sembari merespon "Aduh sakit, cubitanmu itu kok sakit bener."
Saya memberikan penjelasan kepada Heni yang intinya adalah saya ingin "semacam" mewakili anak perempuannya nenek yaitu ibu saya. Di mana, saya ingin nenek senang diberi uang oleh cucunya yang berasal dari anak perempuan beliau. Sebab, hubungan nenek dengan ibu saya tidak begitu akur.
Sebagai penutup atas alasan yang saya utarakan kepada Heni di atas, saya berkata "Aku dulu juga punya banyak kenangan bersama nenek. Apa salahnya ketika aku ingin menghargai kenanganku sendiri dengan bentuk nyata seperti itu?"
Heni menanggapi "Kamu itu orangnya kok gampang banget punya kenangan, jangan-jangan di Singkawang ada kenangan juga?"
Saya langsung bingung "Kok jadi ke mana-mana gitu?"
Heni menutup pembicaraan "Ya, siapa tahu."
Selain berkunjung ke rumah Nenek, selama beberapa hari sebelum terbang ke Singkawang, Heni juga saya ajak jalan-jalan di beberapa penjuru Kediri Raya untuk puas-puasin dalam upaya menyerap segala kenangan bersama saya, berdua saja, tanpa gangguan.
Daerah yang kami tuju meliputi Simpang Lima Gumul, kawasan Kampung Inggris di Pare sekaligus kita cari makan di warung prasmanan di sana, Masjid di SMA tempat kita sekolah dulu, dan masih banyak lagi.
Kita menikmati pacaran setelah pernikahan dengan langkah naik sepeda motor berboncengan, mengendarai mobil, naik bus umum, hingga naik becak.
Saya ingin membayar kontan semua hal yang mungkin diangan-angankan oleh Heni, sebagaimana sebagian cewek muda lain, tentang apa saja yang akan dilakukan tatkala berpacaran.
Lagian, sudah terlalu lama kami menahan diri. Lebih tepatnya, saya yang "menahan" Heni. Oleh sebab itu, tekat saya, Heni harus bahagia setelah saya nikahi.
Salah satu wujud nyata dari praktik "berpacaran sesudah menikah," saya mengajak Heni untuk menikmati malam pertama di tanah perantauan, sekaligus salah satu malam di bulan madu, Heni saya inapkan pada salah satu Hotel yang terletak di Kota Singkawang.
Pagi harinya saya ajak jalan kaki di Car Free Day di sekitaran Jln. Firdaus Kelurahan Pasiran, Kecamatan Singkawang Barat, Kota Singkawang.
Di tengah aktivitas jalan kaki yang situasinya tak seramai biasanya, saya mengajak mengobrol Heni "Nanti makan siang menu apa?"
Heni menjawab "Terserah."
Saya merespon sekenanya "Ya sudah, nanti kita beli nasi pecel khas Kediri."
Heni terheran "Enggak di Kediri, enggak di sini, kamu suka makan pecel."
Saya menimpali "Katanya tadi terserah? Lagian, di sini enggak ada nasi pecel khas Kediri... Ya sudah, nanti saya carikan rumah makan khas Singkawang, dijamin enak."
Tak berselang lama, tiba-tiba Heni pegang tangan.
Saya langsung berujar "Jangan pegang tangan."
Heni membela diri "Kenapa? kita sudah nikah loh!"
Saya memberi alasan "Iya, tapi malu nanti dikira kita tidak tahu tempat, lihat apa ada yang pegang tangan di sini."
Heni masih tidak terima "Biar saja, biar mereka tahu kalau kita sudah berpasangan."
Heni sudah tahu bahwa saya punya kebiasaan jalan kaki di sini satu pekan sekali di hari Ahad pagi. Barangkali, dia melakukan itu demi mengumumkan pada orang-orang di sepanjang jalan bahwa saya telah ada yang punya.
Singkat cerita, sesudah puas menikmati masa-masa awal pernikahan, sebagai pengantin baru, kami berdua enggak mau berlama-lama menikmati periode bulan madu. Kami kompak untuk gerak cepat bersiap merakit bahtera rumah tangga yang modelnya sudah kami rancang sebelumnya.
Heni pun, sepertinya sudah merasa bersalah banget lantaran telah berhasil membuat saya kecapekan akibat memperlakukannya sebagai ratu selama "berpacaran" sesudah nikah. Selain itu, di hari Senin tanggal 03 Januari esok hari saya sudah langsung mulai bekerja.
Sedangkan, Heni punya rencana untuk mengatur kembali tata letak ruangan di setiap sudut hunian yang sudah saya sewa untuk 6 bulan ke depan. Satu unit rumah yang ukurannya sedang dan enggak terlalu strategis, tetapi juga tak berada di gang sempit. Kelebihannya, halaman depan terbilang luas dan sisa tanah di belakang masih leluasa.
Dia sudah usul pada saya "Nanti ruangan di sana saya yang tata dan atur, biar lebih mendukung untuk aktivitas berumah tangga."
Oh iya lupa, terkait hal lain yang kami lakukan tatkala masih di Kediri, yang "mungkin" perlu saya sampaikan. Saat kami pacaran ada hal yang membuat saya terpaksa harus berbohong pada Heni. Momen itu terjadi ketika kami sedang makan eskrim bersama.
Di kala Heni lengah, saya mengusap bibir Heni dengan jari saya, yang saya susul dengan berkata "Maaf ya."
Heni terbengong. Beberapa saat kemudian tersenyum lantas mengucapkan "Mana? Enggak ada apa-apa."
Seketika saya emut jemari saya, sembari bilang "Sudah saya telan."
Heni menyangkal manja "Kamu bohong ah."
Saya tersenyum padanya.
Untungnya, Heni enggak memakai lipstik dan bedak, jadi saya tak perlu menelan serbuk atau partikel kecil yang menjadi bahan make up.
Lagi pula, sedari awal dulu sebelum menikah, Heni telah saya beritahu bahwa saya lebih menyukai cewek yang tampil alami tanpa neko neko.
Selain mencoba beromantis seperti di atas, saya juga pakaikan helm ke kepala Heni yang baru saja saya belikan untuknya saat belanja di toko helm Jl. Pattimura Kota Kediri. Lokasinya dekat rumah Ibunya. Helm itu bisa ia gunakan sehari-hari saat di Singkawang.
Di samping sepeda motor, Heni terdiam dan terperangah seolah kaget, melihat saya yang bersikap ingin menunjukkan keromantisan seperti itu.
Yups, saya berhasil membuat pipi Heni memerah berkali-kali.
Kota Singkawang, Januari 2011
Kini, sudah tiba untuk menebus masa-masa yang hilang. Waktu "jeda" panjang saat sebelum menikah dulu mesti saya ganti dengan berlipat-lipat. Sebab, selama ini saya tak memperlakukan Heni layaknya sejumlah cewek lain yang mendapatkan kepedulian serta perhatian esktra dari cowok yang mencintainya.
Singkat kalimat, pacaran sesudah nikah. Itulah yang kami terapkan dalam usaha membangun pemahaman lebih intens antara satu sama lain. Walau sebenarnya saya dahulu meyakini dari gelagat Heni bahwa ia sangat terlihat menginginkan pacaran dulu sebelum menikah, bersyukurnya itu mampu saya cegah.
Heni terus-menerus saya "tahan" dalam sebuah hubungan erat atau interaksi lekat, tetapi tanpa perlu jadian. Bersyukurnya, dia mau memaklumi. Tak manja maupun egois memaksakan kehendak.
Heni mampu bersabar menghadapi saya yang senantiasa mengulur-ulur waktu guna memberi kepastian hubungan kita berdua sampai kapan terdapat ikatan lebih kuat. Intinya, satu sama lain di antara kami menghadapi ujian masing-masing sebelum pernikahan terwujud.
Yah, menurut saya, bagaimana mampu mengatasi cobaan dalam berumah tangga, kalau tantangan seperti di atas saja gagal dilalui?
Sesudah nikah inilah, kami berdua bisa taaruf terkait hal-hal yang lebih mendalam ketimbang sebelumnya. Boleh dibilang, pendekatan serta pemahaman yang kita bangun bukan lagi tentang "Apa yang akan kita lakukan setelah menikah?"
Sebab, perencanaan teknis seperti itu sudah kami tuntaskan dengan diskusi mendalam di kala sebelum menikah.
Lebih dari itu, kami sekarang menekankan untuk berdialog yang topiknya seputar "Bagaimana cara kita mempertahankan hubungan secara bahagia tanpa mudah dirusak oleh gangguan-gangguan?" Tentunya, hal tersebut disertai praktik nyata sambil belajar bersama.
Terbukti, belum genap satu pekan di tahun 2011 sekarang ini, telah ada sedikit perbedaan pendapat yang untungnya tak berujung debat. Untunglah, kami segera menyadari bahwa kami hanyalah manusia biasa.
Berikutnya, meski kita berdua saling mencintai sejak SMA, serta sejauh ini saya meyakini bahwa saya merupakan cinta pertamanya Heni yang sebaliknya tentulah tanpa perlu ditanyakan lagi bahwa Heni menjadi cinta pertama saya, nyatanya itu tidak membuat kami merasa aman atau menyepelekan peluang terjadi keretakan di dalam hubungan pernikahan.
Saya juga tekankan pada Heni "Cinta pertama belum tentu berakhir menjadi cinta sejati."
Intinya, walau barangkali sama-sama berstatus sebagai cinta pertama, bukan jaminan perasaan bahagia di dalam hubungan nikah bakal tahan lama. Heni pun, sudah pernah saya singgung di sela obrolan terkait adanya risiko tersebut.
Selanjutnya, pada bulan pertama di tanah perantauan, saya mengajak Heni untuk mengunjungi tempat-tempat penting di Singkawang. Hal itu, bertujuan supaya Heni mampu gampang berbaur di lingkungan baru.
Salah satunya menuju titik-titik berbagai jenis pedagang yang biasanya menjual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tentunya, dia juga saya tunjukkan secara langsung lokasi-lokasi yang mencerminkan multikultural dan budaya toleran.
Lebih lanjut, Heni saya ajak sholat jamaah ke Masjid dekat kontrakan. Selain itu, salah satunya dalam kaitan bertetangga, biarlah dia sendiri yang mengimprovisasikan secara mandiri. Sebagai orang yang terbiasa beraktivitas di toko orang tuanya, tentu dia sudah terbiasa menghadapi berbagai macam karakter pembeli.
Lebih dari fakta di atas, selama menempuh pendidikan pada Pondok Pesantren setelah lulus SMA, Heni juga pasti sudah digembleng terkait cara bermasyarakat secara baik. Sangat jarang ditemukan santri pondok pesantren yang gagal menjadi insan produktif atau berperan aktif di tengah-tengah pemukiman penduduk.
Saya sendiri telah mengakui memiliki kelemahan terkait melakukan interaksi sosial secara egaliter dan tanpa sekat-batas. Hal itu, salah satunya karena dampak dari trauma masa lalu, membuat saya "terpaksa" berubah menjadi individu yang introvert. Sebab, saya menduga bahwa saya sebenarnya ekstrovert yang "gagal."
Intinya, saya enggak mau mencampuri urusan orang lain, begitu juga sebaiknya orang lain dilarang mengganggu privasi saya. Lagi pula, sepertinya ada pihak yang sengaja "mengatur" guna menjauhkan saya dari para kerabat maupun para tetangga saat di Kediri.
Jangankan bersosialisasi secara terbuka, sekadar berdialog dengan diri saya sendiri saja masih kerap berbuah gagal. Di mana, dalam suatu perenungan, saya terkadang menyalahkan diri saya sendiri. Setidaknya, beberapa "jiwa" atau lebih tepatnya tipe kepribadian yang ada di dalam diri saya saling bertengkar hebat.
Belum lagi didapati bahwa kondisi latar belakang masyarakat di sini aneka ragam. Mulai dari agama, suku, bahasa, ekonomi, profesi, adat, hingga pola didik orang tua masing-masing.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa Kota Singkawang terdiri dari berbagai etnis Tionghoa, Melayu, Dayak, Jawa, Madura, dan lain-lain. Di mana, kota tersebut memperoleh status sebagai kota dengan jumlah kelenteng terbanyak di Indonesia. Sebuah kota yang heterogen dan multikultural.
Kota Singkawang, Februari 2011
Di awal Februari 2011 saya memulai percakapan dengan keluar sepenuhnya tanpa disaring dan ditahan sedikit pun.
Saya seolah keceploasan berucap "Masakanmu enggak enak."
Heni agak kaget serta bermuka bingung menanggapi "Kok kamu tega bilang gitu."
Saya memberi alasan "Justru, aku jauh lebih tega ketika membiarkan kamu tidak berkembang atau bertambah lebih baik lagi dari sekarang."
Heni tetap tak terima "Paling tidak, pakai bahasa yang halus, basa-basi enggak to the point."
Saya membandel "Emang enggak enak, masa aku bilang enak, makanya kadang aku temanin kamu masak biar aku tahu bagaimana cara kamu masak."
Begitulah realita rumah tangga. Soal masakan saja, kalau tidak dibicarakan secara tepat bakal menimbulkan gejolak. Namun, saya yakin betul hal itu tak terjadi. Bagi Heni, kata-kata dari saya bukanlah sebuah bentuk merendahkan Heni sebagai cewek. Sebaliknya, itu wujud saya peduli dan berkasih sayang padanya.
Menikah kelihatannya enak, ternyata cukup bikin tertekan juga. Bukan karena kecewa atau menyesal telah berumah tangga dengan Heni. Melainkan, disebabkan perubahan ekstrem dalam hidup. Baik itu berubahnya dalam berpola pikir maupun terforsirnya tenaga untuk bertanggung jawab pada istri.
Dalam lubuk hati terdalam, saya punya beban dan "semangat" memperbaiki untuk menghapus rasa bersalah saya telah mengajak Heni merantau. Lebih detailnya, kalau ada apa-apa di perantauan, tentulah saya yang sewajaranya jadi sasaran untuk disalahkan.
Meski begitu, bersyukurnya, Heni tergolong cewek yang gampang beradaptasi di daerah baru yang jauh dari Kediri. Bahkan, lintas pulau dari Jawa ke Kalimantan. Wajar saja, dulu pada saat SMP dia bersekolah di Kabupaten Jombang yang sekaligus mondok.
Sekolahan yang jauh dari tempat tinggal orang tuanya di Kediri, yang berjarak kurang lebih 47 kilometer. Dengan demikian, seperti halnya saya, dia juga terbiasa berjauhan dari orang tua.
Semoga, Heni enggak terlalu kaget ketika dia sekarang ini tengah mengalami hidup di dunia berbeda dari sebelumnya. Baik dari segi cuaca, tradisi, adat, ataupun gaya hidup kekinian masyarakat di sini amat berbeda dibanding kota asal kami.
Sebagai pendukung, Heni saya belikan buku bacaan yang terkait dengan Kota Singkawang supaya bisa menunjang dalam beradaptasinya.
Sebenarnya, saya ingin bertanya langsung pada dia berupa "Bagaimana, apa kamu betah di sini?"
Berhubung, saya lebih cenderung ingin memahaminya dari gerak gerik serta mimik mukanya sebagai bentuk bahasa non verbal darinya, saya putuskan untuk menunda dulu bertanya semacam itu kepada Heni. Toh, kalau dia merasa tak nyaman di sini pasti bakal bicara.
Sejauh ini, Heni hanya bilang kangen dengan Kediri. Enggak sampai bertanya maupun menyinggung kapan mudik ke Kediri atau semacamnya.
Padahal, saya tahu betul ucapan "kangen Kediri" dari beberapa lamunannya sejatinya hendak menggambarkan suasana hatinya yang kangen dengan kenangan masa lalu di sana. Artinya, mau bilang kangen keluarga dan teman di Kediri masih terasa gengsi baginya.
Sebagai gantinya, saya sekadar mengajak bicara Heni di saat ia lagi termenung dengan berkata "Jangan melamun begitu, senyumlah, senyummu itu dulu yang membuat aku cinta kamu, sekarang senyumlah lagi biar aku semangat."
Seketika Heni langsung menunjukkan senyuman indah. Gigi gingsulnya itu yang menjadi salah satu saya terpikat padanya.
Saya menyambutnya dengan bahagia "Nah, begitu dong, sini aku peluk."
Sejujurnya, saya melihat sepintas, melalui pendekatan non verbal, Heni tampak kehilangan aktivitas rutin di masa lalunya yang telah lama mengisi kehidupannya. Bukan cuma itu, Heni mungkin menganggap dirinya menjadi manusia yang tak berguna.
Hanya di rumah saja, tanpa ada hal produktif dan kreasi yang bisa diaktualisasikan. Lebih buruknya lagi, saya khawatir Heni mengalami beban batin berkepanjangan dengan keadaan hidup barunya sekarang ini.
Namun, secara komunikasi lisan, dia masih menunjukkan ketegaran menghadapi segala perubahan dalam hidupnya, yang berbanding terbalik dari kisah hidup Heni sebelumnya.
Sebagai penghibur serta pengisi waktu luang, saya putuskan untuk membelikan Heni berbagai macam buku bacaan, yang topiknya bukan hanya bertujuan untuk beradaptasi.
Di antaranya meliputi buku bertema pengembangan diri yang terdiri dari tulisan dalam bidang motivasi, bisnis, kesehatan, resep masak, psikologi umum, keagamaan, novel, hingga aneka ragam tema buku bacaan lain. Saya belikan secara bertahap, minimal sepekan sekali, setiap pulang kerja dengan maksud supaya jadi kejutan kecil.
Saya sempat kepikiran, kenapa dia berucap "Kangen Kediri" secara spontan seolah tanpa disadari dan sulit untuk dikontrolnya?
Apakah dia tak bahagia hidup bersama saya? Ataukah itu merupakan kejadian normal yang mesti saya jadikan tantangan agar Heni enggak lagi berpikiran ingin segera mudik ke Kediri?
Atau disebabkan dia enggak mau menganggurkan otak, tenaga, dan buang waktu tanpa guna? Saya masih butuh waktu untuk memahaminya. Saya enggak boleh terburu-buru menyimpulkan.
Di sisi yang berbeda, saya tetap harus melakukan sesuatu sebelum semuanya terlambat yang berujung pada sesal. Salah satunya, Heni mesti segera saya buat hamil.
Sebab, dengan punya anak, itu bakal bisa jadi pengikat kuat ikatan kami. Peluang keretakan menjadi semakin kecil. Sedangkan, faktanya sekarang ini Heni belum hamil. Untuk itu, kami sekarang masih fokus bagaimana menyukseskan program kehamilan.
Lebih dari sekadar itu, saya tidak tega melihat Heni yang kadang termenung sendirian saat saya setiba pulang kerja. Oleh sebab itu, saya punya inisiatif untuk memberi Heni kegiatan, selain dari membaca-baca buku yang telah saya hadiangkan padanya, agar fikiran dan tenaga bisa tersalurkan.
Namun, sebelumnya saya sudah sarankan padanya bahwa saya punya niat bahwa dia baru boleh melakukan kegiatan produktif ketika sudah bersalin anak pertama.
Sebagai bukti nyata upaya di atas, saya ajak Heni berkunjung pada dokter spesialis kandungan dan kebidanan untuk berkonsultasi bersama. Bukan cuma itu, sebagai penggembira dan penyemangat kehamilan, saya mengajak Heni berkunjung ke bengkel kaca yang ahli membuat etalase toko.
Selain itu, saya juga menawarkan Heni untuk menemaninya survei terkait persiapan yang harus kami perlukan sebelum membuka toko di depan kontrakan pada beberapa bulan ke depan sesudah anak pertama kami lahir.
Kelak sesudah turun dari ranjang persalinan, Heni akan saya beri keleluasaan untuk mengembangkan potensi dan memberdayakan kreativitas yang ada di dalam dirinya. Tatkala memungkinkan tentulah juga saya dukung secara finansial, waktu, dukungan mental, dan tenaga.
Intinya, saya harus membuat Heni betah di sini. Saya mau berkorban lebih untuknya, sebagaimana Heni juga mau berkorban pada saya telah rela diajak merantau dengan kondisi sekarang yang serba terbatas serta butuh banyak penyesuaian.
Saya enggak mau lagi mengambil "jeda" layaknya sebelum nikah. Kini, Heni sudah menjadi istri saya. Hubungan atau ikatan kami sudah begitu kuat karena diresmikan negara. Oleh sebab itu, bukan lagi waktunya untuk bermain-main semisal melakukan uji coba, mengetes, atau menarik ulur perasaan Heni.
Setelah nikah, semua hal yang saya putuskan dan saya pilih harus saya pegang untuk dipertanggungjawabkan secara sungguh-sungguh.
Sebaliknya, saya yakin Heni juga pasti sudah siap menghadapi setiap tantangan dalam hubungan pernikahan. Apalagi, pernikahan ini atas daras kesadaran kami sendiri. Bukan dipaksa siapa pun.
Dengan begitu, segala apa yang kita pilih dan putuskan harus bersedia menanggung konsekuensinya. Hal tabu bagi kami untuk ragu-ragu, mengulur-ulur, apalagi mundur. Sekali layar berkembang, pantang surut ke belakang.
Kota Singkawang, Maret 2011
Ternyata, pengeluaran antara saat saya masih jomblo dengan sesudah menikah ketimpangannya amat ketara jomplang. Segala hitung-hitungan keuangan yang sudah saya kalkulasikan sebelum nikah mengalami selisih yang nominalnya cukup bikin kaget.
Intinya, antara anggaran pengeluaran yang dialokasikan dengan kenyataan terkait "larinya" duit untuk dipakai kebutuhan kami, ternyata tak sesuai rencana. Sembari saya tepuk jidat, baru sadar, lantas saya berbicara sendiri "Saya kan, menikahi seorang ratu yang biasa hidup di istana."
Saya insaf, mengakui bahwa diri ini secara membabi buta melanggar apa-apa yang telah saya tetapkan di kala sebelumnya. Saking kalapnya, atau mungkin karena begitu bahagianya sudah menikahi Heni, saya tidak mengontrol pengeluaran saya.
Uang sudah lari ke mana nihil dari pantauan saya. Padahal, saya sudah berupaya menekan untuk pengeluaran diri saya pribadi. Ternyata, sebagian besar untuk nafkah bulanan dan sejumlah hadiah ataupun oleh-oleh untuk Heni.
Saya merasa gundah, sebaiknya jujur pada Heni tentang kondisi keuangan saya yang terkuras banyak atau lebih baik diam saja dipendam sendiri?
Meski tabungan di rekening masih tergolong lumayan, nyatanya kalau tiba-tiba Heni hamil, sejumlah duit yang saya simpan di bank tersebut enggak akan sanggup memenuhi gizi dan nutrisi yang sempurna. Termasuk biaya konsultasi ke dokter. tentulah semua itu butuh anggaran ekstra.
Saya ingin anak kami nanti memiliki otak yang cerdas, kondisi tubuh sehat tak sakit-sakitan, dan punya ikatan batin yang kuat dengan orang tuanya sedari awal di kandungan. Selain itu, turut pula demi mempermudah proses persalinan secara alami serta menghindari lahir prematur.
Oleh sebab itu, berdasarkan artikel yang sudah saya baca, guna mendapatkan itu semua, saya harus memulai perlakuan istimewa secara lahir dan batin sejak pertama kali rahim sudah positif terisi.
Kalau mengandalkan gaji bulanan, tentu bagi saya itu sesuatu yang tabu. Amit-amit kalau tanpa diduga terjadi PHK ataupun layoff massal. Ya, kalau bisa gaji bulanan yang diterima tetap terus bisa ditabung.
Adapun, uang untuk keperluan harian pakai tabungan lain yang ada di rekening berbeda. Nyatanya, rekening untuk kebutuhan sehari-hari tersebut saldonya sudah terkuras habis. Sekarang ini, saya sudah menggerogoti rekening tabungan utama.
Singkat kata, saya ingin mengajak Heni ke setelan awal sebagaimana kebiasaan saya sebelum menikah yaitu hidup sederhana. Meski tampil bersahaja, ternyata isi tabungan melimpah.
Di antara langkah yang ditempuh berupa tiga bulan lagi kita harus pindah kontrakan, penghentian membeli barang-barang yang tak penting, menghemat pengeluaran konsumsi makanan serta minuman terutama meniadakan yang tak bergizi maupun minim nutrisi, serta menyudahi jalan-jalan mengelilingi Kota Singkawang dan sekitarnya.
Saya tetap pada keteguhan hati untuk tidak mengandalkan bantuan finansial siapa saja terkait urusan nafkah berbentuk sandang, pangan, dan papan. Baik itu dari orang tua maupun mertua.
Semua kebutuhan mendasar itu, wajib saya penuhi dari keringat sendiri. Itulah konsekuensi yang harus saya tempuh, akibat saya yang ingin hidup berumah tangga secara mandiri sepenuhnya tanpa mau diikutcampuri oleh siapa pun.
Sedangkan, andai Heni ingin membeli sesuatu yang lebih dari batasan nafkah wajib dari suami yang sudah menjadi patokan agama, silakan pakai uangnya sendiri, anggarannya jangan dicampuradukkan dengan apa yang telah saya berikan.
Daripada saya memaksakan diri mengumbar royal yang berujung penyesalan hati, lebih baik terbuka dan jujur terhadap Heni. Sebelum semua benar-benar terlambat, yang justru dampaknya semakin buruk, saya mesti mengambil sikap.
Sebagai contoh dari kasus di atas yaitu jika Heni hendak membeli makanan terlalu mewah dengan harga "tak wajar" sehingga sudah di luar batasan minimal kewajiban nafkah normal maka list pengeluaran keuangannya jangan dijadikan satu dengan hasil pemberian dari saya.
Bagi saya, terpenting saya sudah memberi uang yang perhitungannya bisa untuk memenuhi keperluan sehari-hari secara berkualitas. Intinya, kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, dan papan harus saya tunaikan sesuai aturan agama.
Dengan demikian, isi dalam kontrakan harus saya semua yang melengkapi. Dari hal kecil, remeh temeh, murah, hingga yang lebih dari itu. Heni boleh menata, memperbaiki, merombak, ataupun mengatur pola penempatannya sesuai selera.
Akan tetapi, saya cegah untuk membeli barang baru tanpa memakai uang dari pemberian saya. Pendek kalimat, uang Heni harus dipakai untuknya sendiri, bukan diterapkan untuk keperluan bersama dengan saya.
Dalam usaha menerapkan kaidah di atas, saya memutuskan bahwa Heni harus makan sendiri kuliner "mewah" yang siap makan maupun dimasak dahulu saat saya berangkat kerja agar saya tak ikut menikmatinya.
Di tengah-tengah itu, tentunya sebagai suami, saya menasihati Heni agar menyesuaikan diri dengan kebiasaan suami. Sebaliknya juga, saya mesti berusaha mengimbangi kebiasaan sehari-hari hidup Heni sehingga ada titik temu yang menyenangkan.
Pada ujungnya, yang terjadi sungguh di luar bayangan saya. Konflik saya dengan Heni pecah. Heni menganggap saya egois.
Saya dibilang sebagai individu yang ingin tampil sebagai sosok suami sempurna, yang idealis dan mempertahankan prinsip hidup, tetapi mengorbankan kebersamaan dan kekompakan untuk saling mengisi dan melengkapi.
Baginya, ketika istri turut berkontribusi keuangan dalam rumah tangga bukanlah hal yang harus dilarang oleh suami. Katanya, itu justru mempersulit diri.
Dari sini, saya menyadari bahwa pemahaman tentang konsep nafkah telah saya lewatkan untuk didiskusikan bersama Heni pada masa taaruf sebelum akad nikah. Waktu itu, saya kira urusan uang sangatlah mudah dibicarakan di dalam lingkup rumah tangga.
Menurut saya, terpenting bagaimana saya sebagai suami wajib jago memperoleh penghasilan yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan berkeluarga. Ternyata, mau sebesar apa pun pendapatan ketika salah kelola dan terjebak pada "perasaan" ingin berbuat lebih akan berakibat mudah lenyap.
Kendati seperti di atas, saya tetap bertekad bulat mempertahankan ide-ide saya yang sudah saya pegang lama. Kemudian, Heni saya beri penjelasan panjang lebar yang intinya kurang lebih berupa di bawah:
"Aku sudah muak direndahkan, disepelekan, dibuang, dikucilkan, dirundung,... Difitnah, jadi korban hasutan, selalu yang jadi tertuduh,... Diabaikan, dikelabui, dipojokkan,... Dipermainkan, ditinggalkan, dijadikan sasaran sebagai pihak yang mudah diinjak-injak atau dikorbankan... Itu juga dilakukan oleh orang terdekatku yang seharusnya merangkulku secara tulus. Nyatanya, justru manipulatif. Aku tidak mau lagi dibegitukan.... Aku juga mencegah kamu berbuat yang seperti itu, makanya aku membatasi kamu dalam masalah keuangan."
Heni menyanggah "Apakah aku selama ini berbuat seperti itu padamu?"
Saya menjawab "Aku enggak mau lagi didominasi oleh siapapun."
Heni akhirnya menurunkan nada bicara "Kalau masalahnya cuma itu, baiklah, aku akan mengalah, akan aku tahan dulu uang tabunganku sampai kita punya anak, baru nanti dipakai membuka toko."
Tanpa banyak kata, aku peluk erat Heni sambil cium pipi dan keningnya. Kemudian aku katakan padanya "Terima kasih bidadari. Aku cinta kamu."
Heni meledek "Kenapa itu enggak kamu ucapkan saat SMA dulu?"
Saya tersenyum yang diselingi tertawa ringan "Ha ha ha..."
Kota Singkawang, April 2011
Saya kembali ingatkan pada Heni bahwa saya menggemari makanan sayuran hijau, ikan-ikanan, buah-buahan, kacang-kacangan, ubi-ubian, hingga singkong. Itu semua, selain harganya terbilang terjangkau, juga sangat mudah ditemukan di sekitaran Singkawang.
Mulai dari jeruk, semangka, mangga, nanas, alpukat, manggis, jambu biji, jambu air, buah naga, pelaya, melon, kacang hijau, lidah buaya, umbi-umbian, maupun aneka sayuran.
Di malam Ahad, tengah malam yang mulai hening, berada di ruangan kosong bagian depan, yang hanya ada dua kursi, saya dengan Heni mengobrol.
Dengan suara lirih saya mengatakan padanya "Tahu enggak? Aku punya feeling bahwa aku hidup bersamamu maupun berpisah denganmu keduanya tetap menjadi ujian kehidupan."
Heni menanggapi "Mulai lagi, bikin penasaran, membuatku jadi ingin bertanya-tanya."
Saya jawab dengan enteng "Ya tanya saja, kan aku enggak ngelarang."
Heni bertanya "Berarti kehadiranku di dunia ini adalah ujian bagimu?"
Saya jawab "Boleh dibilang seperti itu, tetapi di balik ujian juga ada kebahagiaan. Aku berada di dekatmu begini saja sudah bahagia."
Heni tertawa lirih "Hihihi, jadi ingat masa SMA dulu, aku saat itu melihatmu sangat gugup."
Saya menambahi "Saat aku berpisah, tak menikahimu seperti sekarang, tentu akan jadi cobaan bagiku untuk menahan diri agar tak menemui maupun melihat wajahmu. Apalagi, kalau kamu menikah duluan sebelum aku sempat menemuimu untuk aku ajak ngobrol, itu membuatku semakin parah dalam menyesali diri."
Heni semakin tertawa menang "Ha ha ha, aku enggak kuat membayangkan kamu bagaimana jadinya, ketika seumur hidup kita tidak pernah berbicara."
Saya membenarkan apa yang dikatakan Heni "Pasti, aku akan dilanda penyesalan seumur hidupku."
Heni melengkapi "Alhamdulillah, sekarang kita dipersatukan."
Saya mengimbuhi "Sekarang saja aku masih sulit melupakan dirimu yang SMA dahulu. Bukan berarti aku lebih mencintai dirimu yang di masa lalu dibanding dirimu yang sekarang, bukan seperti itu."
Heni bertanya "Terus bagaimana?"
Saya jawab sekenanya "Aku sulit menjelaskannya."
Heni penasaran "Apa sih yang menarik dari masa laluku?"
Saya menjawab "Aku masih ada rasa bersalah pada dirimu yang SMA dulu,... Seharusnya aku dulu bersikap dewasa, kesatria, dan tak menjadi cowok peragu."
Heni menyangkal "Kan sekarang aku sudah di sisimu, kenapa masih menyesal?"
Saya kembali menjelaskan alasan pada Heni "Yang lebih tepat, sebetulnya bukan penyesalan ataupun ada rasa bersalah, tetapi lebih kepada sifat aku yang seharusnya berubah, enggak lagi membuat keputusan yang terlalu idealis dan berkepribadian menutup diri."
Heni membetulkan "Iya ya, kalau dipikir kamu dulu seharusnya terus terang saja, tak perlu bersikap seperti itu."
Saya menutup topik pembicaraan itu dengan ucapan "Setuju, tetapi setidaknya saya dulu bukan cowok pemaksa maupun over potective, atau parahnya lagi menghalalkan segala cara demi mendapatkanmu... Meski aku cinta kamu, aku masih lebih memilih melihat kamu bahagia bersama orang lain ketimbang merana bersamaku."
Lebih jelasnya, kendati sangat mencintai Heni, saya memilih untuk tak egois yang berbentuk wajib menikahi Heni. Terpenting, target saya sudah tercapai yaitu mengobrol bersama Heni serta mengungkapkan perasaan padanya secara tersirat maupun tersurat tanpa maksud mengajak pacaran.
Semestinya kata-kata ungkapan perasaan atau suaar hati itu sudah saya ungkapkan pada Heni ketika di bawah pohon kelengkeng, beberapa bulan sebelum kelulusan sekolah.
Itulah alasannya kenapa saya tidak memacari Heni ataupun cepat-cepat malamarnya. Saya bermaksud memberi Heni waktu untuk memastikan diri bahwa dia benar-benar mau menerima kekurangan atau kelemahan saya yang lambat laun pasti terbongkar dengan sendirinya sebelum menikah.
Bukan cuma itu, dia juga harus tahu berbagai hal yang mungkin dapat jadi rintangan berat ketika menikah bersama saya.
Sebagai info tambahan, selain faktor di atas, saya dulu tak berani mengungkapkan perasaan kepada Heni karena takut dimarahi ibu kalau ketahuan pacaran. Ada "mata-mata" yang kerap melaporkan segala hal tentang saya kepada ibu, siapa lagi kalau bukan kakak kandung perempuan yang usianya 1 tahun di atas saya.
Kakak saya sedari kecil memang si tukang lapor. Bahkan, begitu senang tatkala melihat saya dimarahi maupun dicambuki pakai kemoceng rotan oleh ibu.
Sebagai salah satu bukti yang paling teringat, saya pernah bekerja jadi tukang pel kantin sekolah SMA di malam hari sesudah sholat Isya, tetapi akhirnya tak berlanjut lama. Saya dimarahi orang tua gara-gara mendapat laporan dari kakak.
Lebih jelasnya, kakak merasa malu punya adik yang jadi buruh bersih-bersih lantai. Padahal, penghasilannya lumayan dan mendapat bonus sarapan di saban pagi hari. Semua itu, saya pendam sendirian, enggak saya ceritakan pada siapa pun.
Bukan cuma itu, saya pernah disangka memakai obat-obatan terlarang gara-gara cukup diketahui sebagai anak orang kaya, tetapi kok enggak punya uang saku. Lebih parah lagi, saya perna dituduh maling. Padahal, saya juga merasakan sendiri bahwa duit saya di lemari asrama yang jumlahnya tak seberapa turut hilang kecurian.
Sebenarnya, masih banyak kasus lainnya yang sungguh tak etis ketika saya uraikan seluruhnya. Intinya, perlakuan yang seperti itulah yang membuat saya merasa dikekang, diawasi, ditekan, hingga diteror. Singkat kalimat, salah satu bentuk trauma yang semacam itu telah membuat saya "mengecilkan diri."
Saya merasa tak begitu punya banyak kesempatan, keleluasaan, dan sumber daya untuk mampu mengekspresikan diri.
Tuhan, maafkan hamba telah membuka hal-hal tak mengenakkan tersebut selain pada-Mu.
Sebagai penutup, sudah sekian lama saya tidak menulis di buku diary. Akhirnya, dalam kondisi suasana batin yang sedikit kacau, saya putuskan untuk mencurahkan gelisah di atas kertas yang isinya seperti berikut:
"Tuhan, maafkan hamba yang kurang bersyukur. Heni sudah menjadi istri hamba, tetapi ingatan trauma masa lalu belum juga sirna. Hamba dahulu sebenarnya ingin membuat Heni ilfeel atau lebih parah lagi menjadikan dia benci pada saya. Hal itu, supaya hamba bisa menyelamatkan Heni dari gangguan kepribadian yang hamba alami sekaligus menghindarkan dia dari perilaku orang-orang terdekat yang malah begitu jahat pada hamba."
"Tuhan, sekarang ini, saat saya sedang mengawali hidup baru bersama Heni, mereka terus-menerus meneror menghubungi hamba. Sangat nampak mereka ingin ikut campur terkait urusan rumah tangga hamba."
"Tuhan, bukankah Engkau Maha Tahu, sekarang hamba menulis sambil menetaskan air mata. Mohon bebaskan hamba dari bayang-bayang masa lalu yang kelam."
Kota Singkawang, Mei 2011
Setelah beberapa bulan menikah, Heni semakin tampak menunjukkan perubahan drastis. Kini, dia enggak pernah mengambek lagi. Dia tampak lebih pengertian dengan kondisi saya yang butuh dukungan dan ketenangan.
Terutama ketika setiba di kontrakan, dia langsung cium tangan saya sembari meminta dicium keningnya. Pada intinya, dia bisa memanfaatkan, atau lebih tepatnya mengkreasikan, terkait masalah hidup yang saya alami dipakai olehnya untuk semakin mempererat hubungan. Sungguh beruntung saya menikahi Heni.
Sebagai pengalih atas rasa bersalah dalam diri saya lantaran sudah mengubah kehidupan Heni, di sela-sela momen berduaan saya bertanya padanya "Istriku, menurutmu aku sudah banyak perubahan belum?"
Dia keheranan ketika saya tanya seperti itu, lalu bertanya balik "Perubahan apa?"
Saya memperjelas maksud pertanyaan tersebut pada Heni "Ya, perubahan kepribadian, kebahagiaan, kejiwaan, atau semua hal tentangku."
Entah maksudnya bercanda atau bagaimana, Heni menjawab "Enggak, kamu tetap kayak dulu, kamu masih sering grogi saat sama aku, masih kesulitan ngomong secara tenang,... Padahal kita kan sudah hidup bersama berbulan-bulan."
Saya menyanggah perkataan Heni dengan menunjukkan wajah tak percaya "Masak sedikit pun enggak ada perubahan? Perasaan, aku sudah enggak segrogi dulu."
Heni menjawab diplomatis sambil tersenyum "Ada sih, tetapi bagiku sama saja, kamu kurang santai."
Saya menanggapi dengan bercanda "Mungkin kurang personil tambahan, kalau sudah ada anak nanti akan ada yang menjadi penengah kita, setelah itu semoga aku bisa berubah."
Menjelang ujung bulan Mei, secara tak sengaja Heni melihat struk ATM yang aku letakkan di atas meja ruang tengah. Sambil memegang kertas ukuran kecil memanjang itu, Heni bertanya "Kamu kirim uang ke siapa ini?"
Saya jawab "Adik kelas kita di SMA dulu, namanya Hamam."
Heni masih ingin bertanya "Ada urusan apa?"
Saya menjawabnya "Aku titip uang ke dia, supaya mengasih uang dan beberapa bingkisan ke ibukku."
Heni terheran "Aneh kamu, kok ngirim uang ke ibu yang notabene punya duit banyak."
Saya menjelaskan "Aku baru saja menuntaskan tugas besar, otomatis dapat bonusan kakap dari atasan."
Heni akhirnya menerimanya sembari berkata "Pantesan kemarin kamu beri aku hadiah melebihi biasanya."
Saya menambahi penjelasan agar Heni semakin lega serta melepaskan prasangka yang mungkin ada di hatinya "Aku kemarin habis dengerin khutbah Jumat, kata khotib berbaktilah pada orang tua, sejahat apapun orang tua tidak menggugurkan bagi anak untuk berbuat baik pada mereka,... Bahkan orang tua yang kafir pun tetap wajib untuk berbakti padanya asal aqidah anak harus tetap dijaga."
Heni menimpali "Semenjak kamu ganti Masjid, ada perubahan dalam dirimu."
Saya meyakinkan Heni "Terpenting kewajiban dan tanggung jawabku padamu tidak hilang. mau berubah seperti apapun aku, aku masih ingin terus membahagiakanmu."
Kota Singkawang, Juni 2011
Seperti biasa, saya lebih sering mengajak bicara Heni duluan, selain agar menghilangkan lamunan Heni, alasan berikutnya yaitu sebab tatkala saya diajak bicara oleh Heni terlebih dulu atau ditanya olehnya, lebih banyak saya kesulitan menjawab. Diperparah, saya menunjukkan ketidaknyamanan seakan terganggu telah ditanya.
Heni juga sudah memahami dan memaklumi kelemahan saya itu. Jadi, demi dapat memulai interaksi duluan, biasanya Heni akan mendekati saya dulu. Kalau saya tampak responsif dan menunjukkan ketenangan, barula dia memulai pembicaraan.
Intinya, saya memiliki keterbatasan atau gangguan komunikasi berupa kesulitan menjawab pertanyaan yang mendadak. Apalagi, saat saya lagi konsentrasi dalam urusan tertentu. Termasuk, salah satunya sedang membaca artikel di layar HP. Di mana, hanya dalam momen tertentu, saya baru mampu diajak diskusi secara nyambung. Itu pun jarang.
Lebih lanjut, sesudah mandi sepulang dari kerja, saya membuka obrolan dengan mengajukan pertanyaan kepada Heni "Kamu pernah nonton video dewasa?"
Heni terkaget "Kamu itu kebiasaan, enggak jago membuat topik pembicaraan yang bener,... Kalau tanya ceplas-ceplos enggak ditata dulu."
Saya membela diri "Aku kira, dengan bertanya to the point bisa membuat kita semakin dekat, terbuka, ternyata kamu enggak suka."
Heni menjelaskan "Dawuh Kiai, tidak boleh mengungkit-ungkit aib pasangan yang sudah berlalu, nonton seperti itu kan sebuah aib."
Saya memberi alasan "Tujuanku bertanya itu agar kamu cepat hamil."
Heni menampik "Kita sudah ikhtiar konsultasi ke ahli kesehatan untuk promil, ngapain nyangkut-nyangkut begituan."
Kurang lebih 3 pekan kemudian, dengan wajah sumringah Heni menyambut kedatangan saya.
Dia buru-buru mencium dan meminta saya mengecup keningnya, lantas memberi kejutan pada saya "Ini, lihat hasilnya."
Saya melihat test pack yang bergaris dua. Saya teramat bahagia luar biasa. Langsung saya peluk bagian atas tubuh Heni demi menghindari menekan perutnya.
Saya bersemangat "Alhamdulillah, ini aku kasih uang lebih, untuk menjaga calon bayi kita agar terjamin kebutuhannya. Kamu harus jaga pola makan, pola tidur,... Pokoknya kesehatan mental dan fisikmu harus terjaga."
Heni dengan wajah bangga menimpali "Iya, aku tahu kok, aku sudah baca dari buku darimu tentang pentingnya masa-masa kehamilan bagi masa depan calon bayi.... Aku juga ingin anak kita menjadi anak yang hebat, makanya harus banyak berkorban dan berjuang sedari hamil."
Dengan wajah riang saya mengimbuhi "Sempat aku kira kamu ogah cepat-cepat hamil, pilih menunda dulu."
Heni mengingatkan "Kamu juga harus pengertian, jangan tanya-tanya aneh lagi, jangan bikin aku menahan diri agar tak marah-marah, kasihan anak kita kalau ibunya banyak pikiran dan tertekan."
Dengan mengakui rasa salah dan penuh sesal diri, saya berucap "Iya, maaf, nanti kalau aku membuatmu kesal langsung saja diingatkan. Aku enggak ingin bayi kita ikut menanggung beban hidup gara-gara perbuatan orang tuanya sedari di kandungan."
Kota Singkawang, Juli 2011
Heni saya dorong untuk olahraga ringan, minimal berjalan kaki. Sebelum perutnya mulai tambah membesar, sedari awal telah saya ajak untuk rutin berjalan kaki di pagi hari. Saya dampingi. Tidak hanya di lokasi monoton. Melainkan ganti-ganti tempat.
Tentunya, juga ikut meramaikan agenda Car Free Day di sekitaran Jln. Firdaus Kelurahan Pasiran, Kecamatan Singkawang Barat, Kota Singkawang.
Meski, Heni sebenarnya enggan olahraga, tetap saya paksa dengan disertai iming-iming sebagai pengganti bahwa nanti saya yang memasak, saya yang bersih-bersih kontrakan, saat jalan berdua saya gandeng tangannya, dan berbagai bujuk rayu lainnya.
Lebih jelas, setiap hari ditargetkan jalan kaki 30 menit tanpa henti. Kalau memang lagi capek, malas, atau alasan lain minimal jalan kaki dekat kontrakan selama 10 atau 15 menit. Terpenting, tidak meninggalkan aktivitas rutin berolahraga saban hari.
Berikutnya, demi mensyukuri nikmat atas kehamilan istri, yang membikin hati saya bahagia tak terperikan, saya lebih pilih banyak diam tanpa kata. Memutuskan langsung bertindak nyata ketika ingin membahagiakan Heni maupun memecah lamunannya.
Misalnya dengan memberi istri uang untuk belanja terutama susu ibu hamil, saya mengambil sapu untuk bersih-bersih, mengelap debu dengan kemoceng, dan masih banyak lagi.
Saya bertekat, itu enggak cuma saya terapkan di masa awal kehamilan. Harus saya lakukan selama berbulan-bulan sampai Heni benar-benar tuntas masa nifasnya.
Saya ini, orangnya sangat suka sekali dengan anak kecil. Terutama yang baru lahir hingga berusia 5 tahunan. Terbukti, saya sangat perhatian dengan ponakan saya yang tak lain anak dari kakak perempuan.
Meski hubungan saya dengan kakak tidak begitu wajar, ternyata hal itu enggak membuat saya membenci anaknya. Sebaliknya, justru saya amat sangat peduli dan perhatian penuh kasih sayang terhadap keponakan.
Entah kenapa Tuhan memberi saya sifat berupa menyukai sekali makhluk hidup yang masih berumur bayi. Mulai dari anak ayam, anak kucing, anak kambing, dan masih banyak lagi.
Bahkan, di waktu kecil dahulu saya pernah turut menunggu proses keluarnya cempe alias anak kambing dari perut induknya yang merupakan milik tetangga. Beberapa hari berikutnya, tanpa bosan saya beberapa kali selama berhari-hari melihat anakan kambing yang mungil itu.
Tahu tidak, bau tubuh anak kecil itu sangat sedap. Begitu pula sensasi ketika memeluknya. Ada perasaan tenang, puas, dan nyaman. Bukan sekadar itu, anak kecil merupakan manusia yang polos. Belum punya dosa. Belum mengerti uang. Belum paham tentang persaingan penuh intrik.
Alhasil, ketika berinteraksi dengan anak kecil, tak ada rasa khawatir akan dizalimi olehnya. Terpenting, berhasil membangun kepercayaan dengannya, sudah pasti siapa saja disukai oleh anak kecil.
Patut disyukuri, saya tidak membenci anak kecil akibat trauma di masa lalu. Sebab, ada individu yang ketika masa kecilnya enggak bahagia, salah satunya disebabkan kelahirannya tak diinginkan oleh ibunya, akhirnya memutuskan untuk enggak punya anak. Baik ditempuh dengan langkah ogah menikah maupun menikah tanpa mau punya anak.
Lebih parah lagi, meski sudah punya anak malah menjadikan anak sebagai alat untuk balas dendam atau melampiaskan diri akibat pernah mengalami masa suram di waktu usia dini. Dengan kata lain, dendam pada orang tuanya, tetapi anak kandungnya sendiri yang jadi sasaran pelampiasan.
Kota Singkawang, Oktober 2011
Meski ibunya Heni semenjak satu bulanan setelah akad hingga awal bulan Juni lalu kerap bertanya yang intinya "Sudah hamil belum?," setelah dipertimbangkan matang, saya berencana hendak menunda untuk memberitahu kabar kehamilan kepada keluarga di Kediri. Baik itu kepada orang tua maupun mertua.
Takutnya, nanti kalau diberitahu malah semakin membuat kita kelabakan disebabkan banyak masukan dan saran-saran dari mereka yang berbeda satu sama lain.
Barulah, memasuki masa menjelang kelahiran akan saya beritahukan.
Lagi pula, saya khawatir ketika tanpa diduga keluarga di sana meminta untuk pulang kampung dengan alasan demi perawatan masa-masa kehamilan serta kelahiran. Sebaliknya, saya juga enggak mau merepotkan mereka dengan cara mengunjungi kami ke Singkawang.
Tentu, keluarga Heni bakal merasa bersalah ketika datang ke sini "cuma" saat persalinan saja. Lebih dari itu, saat memasuki hamil bulan ke-7, dalam adat masyarakat kami umumnya kerabat akan menghadiahi baju bayi atau segala kebutuhan terkait dengannya.
Tak dinyana, firasat saya benar. Heni memberi kabar berupa "Ibu meminta kita pulang, balik ke Kediri."
"Aku enggak mau, kamu juga jangan pulang ke Kediri, bukankah aku sudah menjamin kebutuhan pokokmu termasuk kebutuhan janin yang di perut?"
Heni mulai mencoba melawak untuk meredakan emosi saya "Tenang, tenangkan dirimu dulu Mas Nathan ganteng, jangan langsung naik darah gitu. Aku cuma kasih tahu saja, bukan berarti aku langsung bersedia pulang kampung"
Bukan malah menenangkan keadaan agar tak ada omongan lagi bersangkut paut seputar pulang kampung, dengan sembrono saya menantang Heni dengan menghujamkan pertanyaan "Bagaimana rasanya hidup mandiri di rantau, jauh dari keluarga?"
Dengan nada parau Heni berterus terang "Aku kangen mereka."
Alih-alih menghibur atau melakukan kontak fisik dengan Heni demi meredam suara hatinya, saya memilih untuk berkata-kata lugas "Kan, ada aku? Apa kehadiranku belum cukup?"
Heni membela diri "Aku manusia biasa, wajar kalau ingin sesuatu yang tak ada di depan mata."
Beruntungnya saya lekas menyadari bahwa kondisi Heni tengah Hamil. Hal tersebut telah membuat Heni sedikit tampak berbeda.
Saya harus memperlakukannya lebih istimewa dibanding sebelumnya. Idealnya, Heni mesti berada dalam posisi spesial di hati maupun tubuh saya.
Sambil memeluk dan mengusap rambut lurusnya yang panjang, saya berucap lembut "Maafin aku ya Hen, aku merantau memang benar-benar sepenuhnya kesadaran diri. Bukan sebagai bentuk mengancam orang tua maupun mertua dengan cara menjauhi mereka, dengan tujuan agar mendapat perhatian maupun bantuan finansial dari mereka."
Saya melanjutkan "Aku tidak mau tersandera oleh siapapun. Aku ingin merdeka menjadi diriku sendiri."
Selain ungkapan di atas, saya juga mengutarakan hal lain yang intinya berupa saya ingin menjadi sosok ayah yang bertanggung jawab, berwibawa, dibanggakan, dan menjadi teladan bagi anak-anak saya.
Sebaliknya, saya tak akan menghalang-halangi anak-anak kami nanti tatkala ternyata lebih memilih dekat pada ibunya. Alih-alih memaksa anak menyukai saya sebagai ayahnya, saya akan instropeksi diri kenapa mereka tak begitu mau dekat dengan saya?
Heni tersenyum kemudian berkata "Iya, jika kamu bahagia begitu, aku mau mendukungmu."
Saya menambahi "Terima kasih banyak, bidadariku. Aku tidak mau balik tinggal ke pulau jawa bukan juga karena gengsi atau malu dikatakan gagal di perantauan. Aku merantau karena ingin menyelamatkanmu dari trauma masa laluku. Kalau aku masih menetap di Kediri, kamu akan ikut tertimpa imbas traumaku itu."
Heni mencoba menenangkan saya yang mulai ada tanda-tanda terbawa perasaan "Iya Mas Nathan tampan, aku ngerti kok, tenang saja, rasa kangenku pada mereka tidak mendorongku untuk pulang ke sana. Nanti, ibu aku kasih tahu, pokoknya kamu tahu beres."
Di dalam obrolan di atas saya juga menekankan pada Heni bahwa saya mengeyel atau mengotot terus bekerja dan bertahan di Singkawang untuk mengetahui sejauh mana batas diri saya dalam memperjuangkan kehidupan baru.
Supaya di masa depan nanti saya tak menyesal. Di mana, terlanjur menuruti rayuan atau "hasutan" orang tua agar balik ke kampung, sebagaimana yang sudah-sudah, akhirnya berakibat merugikan saya. Setelah menuruti kemauan orang tua, saya tak diberi solusi nyata. Parahnya, ditelantarkan dan dijadikan bahan omongan.
Bukan hanya mertua, orang tua saya juga menunjukkan gelagat secara halus memaksa saya untuk pulang serta menetap di Kediri.
Kali ini, saya enggak mau lagi bimbang atau ragu. Saya harus mempertahankan prinsip dan pilihan hidup yang sudah saya ambil. Lagi pula, Heni juga mudah diajak tegak lurus.
Kota Singkawang, November 2011
Semakin ke sini bertambah meningkat gejala-gejala salah paham, yang ditunjukkan dengan terdapatnya konflik "sepele" antara saya dengan Heni. Misalnya, tiba-tiba selera makan Heni mengalami perubahan dan tampak aneh. Tentu, saya bingung melayani cita rasa Heni.
Diimbuhi, faktor keamanan dan lingkungan sekitar terkait adanya kasus pencurian pakaian dalam perempuan oleh seorang maniak. Sampai sekarang pelaku teror menjijikkan itu belum pernah tertangkap basah.
Diperparah, oleh ulah tetangga yang tampaknya tak begitu menyukai ketika melihat Heni "berhasil" hamil yang ditandai perutnya semakin membesar. Entah iri atau ada faktor lainnya.
Sungguh, saya dihadapkan pada dua hal yang bertentangan. Di satu sisi bahagia lantaran akan mempunyai anak. Namun, di bagian lain kondisi mental saya turut tertekan kuat. Jika saya tak kuat bertahan maka dapat memicu konflik yang lebih besar.
Kendati demikian, berkali-kali saya selalu berupaya mengalah dan merendah tatkala suasana tegang bersama Heni sudah mulai ada tanda-tanda sulit terkendali. Saya enggak ingin mengganggu suasana hati wanita hamil agar tak berpengaruh pada janin yang di dalamnya.
Perlakuan saya terhadap Heni bukan lagi menjadikan dia sebagai ratu sebagaimana di awal bulan pertama menikah kisaran 10 bulan lalu. Lebih dari itu, saya sudah dibuat kehilangan "harga diri" sebagai seorang lelaki yang mau-maunya memperbudak diri di hadapan istri.
Sebagai suami, saya sudah beralih ke banyak profesi. Mulai dari jadi bodyguard, asisten rumah tangga, tukang pijat, jasa titip makanan, menemani istri "ronda" malam saat ia tak bisa tidur nyenyak, psikiater saat istri mulai mengalami perubahan hormon, hingga pelawak agar suasana hati Heni senantiasa riang.
Tentulah, itu semua enggak bisa saya lakukan dengan sempurna, apalagi secara bersamaan. Ada hal-hal tertentu yang gagal, tetapi Heni sepertinya pilih memaklumi dan bersabar.
Kota Singkawang, Desember 2011
Masa kehamilan yang kami hadapi sekarang ini merupakan periode hubungan kita berdua yang penuh tantangan. Barangkali, inilah ujian pertama dalam rumah tangga saya dengan Heni.
Sekiranya permasalahan yang sedang saya hadapi di atas bikin saya memutuskan melarikan diri dengan cara cuek dan pilih fokus kerja layaknya hari-hari biasa, lantas bagaimana ketika ada hambatan yang jauh lebih merepotkan di kemudian hari?
Saya tak boleh menyerah. Saya mesti jadi suami yang siaga di kala istri sedang berjuang dan berkorban menjaga kehamilannya. Oleh sebab itu, selain rutin berolahrga jalan kaki, Heni terus saya dorong memperdalam wawasan dan ilmu pengetahuan yang bermanfaat.
Selain membaca buku-buku maupun artikel di internet yang saya cetakkan dari warnet tentang kehamilan dan perawatan bayi, Heni juga punya inisiatif sendiri untuk mencari wawasan serta pengalaman kepada ibu-ibu tetangga. Tentu, enggak semua masukan dan saran dari mereka bakal Heni terapkan.
Hasil dari aktivitas bertetangga itu, ada salah satu emak-emak dekat kontrakan yang juga jamaah sholat di Masjid yang bersedia menemani Heni saat saya tinggal pergi kerja. Suaminya pun mengizinkan istrinya beramal saleh terhadap tetangga.
Bukan cuma itu, di awal bulan Desember beberapa pekan lalu, ibunya Heni dan kakaknya juga datang ke Singkawang. Sudah barang tentu, kehadiran mereka membuat Heni teramat bahagia. Apalagi, oleh-oleh kuliner maupun barang khas Kediri yang mereka bawa juga cocok di hati Heni.
Kota Singkawang, Januari 2012
Heni mulai kehilangan percaya diri, selain bentuk tubuhnya yang berubah drastis, dia merasa saya sudah telah menjaga jarak dengannya. Padahal, maksud saya seperti itu demi kebaikan dia juga. Bagi saya, terpenting saya sudah meng-handle semua urusan di rumah.
Tanda-tanda perubahan mood atau suasana hati yang signifikan akibat lonjakan hormon, gejalanya telah Heni alami beberapa bulan lalu. Akan tetapi, baru kali ini saya merasakan sebuah perbedaan yang cukup mencolok. Apa boleh buat, saya haru semakin pengertian padanya.
Saya mau membuat dia nyaman tanpa perlu terbebani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban kepada suami, baik secara lahir maupun batin. Takutnya, kalau sering mendekati Heni malah membuat dia menjadi "makan hati" gara-gara saya salah bicara.
Sayangnya, tantangan di atas diimbuhi lagi dengan kondisi badan saya yang drop. Tiba-tiba saya jatuh sakit musiman menjelang pancaroba. Kepala pusing tak tertahan. Sungguh amat enggak nyaman.
Sebab, di bulan-bulan lalu saya terus berusaha keras mempertahankan kondisi tubuh agar tetap sehat dan bugar demi calon bayi. Kenyataannya, badan saya akhirnya menyerah. Jatuh sakit meriang yang bikin tak berkutik.
Lucunya, mengetahui saya mengalami gangguan kesehatan di atas, serta-merta sifat manja dan haus perhatian dari Heni justru hilang. Alhasil, giliran dia yang merawat saya disertai memberikan beberapa olahan herbal buatannya sendiri ditambahi suplemen vitamin C maupun vitamin D yang dia beli di apotek.
Memang rasa pusingnya tidak cepat hilang sebagaimana kalau minum obat pereda nyeri resep dari mantri ataupun dokter. Akan tetapi, sifat peduli dan kasih sayang Heni jauh lebih mampu membuat saya menahan pening kepala. Apalagi, disertai dengan dosis vitamin yang mumpuni turut memacu sistem kekebalan tubuh saya kembali bangkit.
Kota Singkawang, Februari 2012
Saya mulai belanja kebutuhan persalinan dan keperluan harian bayi yang baru saja lahir. Termasuk membeli pakaian yang modelnya sesuai dengan jenis kelamin dari hasil USG. Di mana, kami cukup sering melakukan USG dalam beberapa pemeriksaan demi mengetahui perkembangan dan kesehatan janin.
Menjelang kelahiran, Heni bertambah intens berlatih teknik pernapasan dan rileksasi. Sebab, dari awal Heni menginginkan proses persalinan alami. Dengan maksud agar vibes perjuangan sebagai seorang ibu lebih terasa.
Heni juga kerap berlatih memandikan bayi, menggantikan popok, sampai cara menenangkan bayi. Semua itu ia kombinasikan antara pengalaman dasar yang dibagikan oleh tetangga yang dibandingkan dengan hasil bacaan artikel maupun buku yang telah Heni baca.
Lebih lanjut, sebagai bentuk keterbukaan dan mematangkan anggaran keuangan tahun 2012 ini, saya memberitahu Heni dengan maksud urun ide dalam upaya merayakan kelahiran calon anak kami yang diprediksi tinggal hitungan hari.
"Nanti tujuh harian calon dedek bayi, kita lakukan akikah, pakai jasa katering saja biar simpel dan tak bikin repot."
Heni menanggapi "Kamu enggak malu? Rumah masih ngontrak kok berani akikah?"
Sembil tersenyum penuh optimis saya menjawab "Kewajiban suami itu bukan membelikan rumah hak milik, tapi sekadar memberikan tempat tinggal yang layak dan pantas sesuai ukuran masyarakat sekitar. Kalau dengan ngontrak atau kos sudah terpenuhi kebutuhan hunia yang nyaman dan aman, kenapa buru-buru beli rumah?"
Heni menyanggah "Iya, aku sependapat denganmu, tapi cara pandang masyarakat enggak semuanya seperti itu."
Saya memberi solusi "Ya sudah, agar tidak terkesan foya-foya, kita tetap berakikah, tetapi tanpa ada acara mengundang tamu ke kontrakan kita, cukup kita yang menghantarkan hidangan daging itu ke rumah-rumah tetangga dan untuk jamaah Masjid yang di pojokan sana."
Sebagai info, dalam membelikan sesuatu ataupun mengeluarkan uang untuk kegiatan tertentu saya enggak pernah menawarkan kepada Heni dengan diawali ucapan "Kamu mau enggak...?" Namun, saya langsung bersikap nyata membelikan dan mengajaknya jalan-jalan.
Bagi saya, seorang cewek akan lebih suka dibelikan dan diajak langsung tanpa bertanya atau menawarinya lebih dulu. Oleh sebab itu, saya jarang sekali mengulang-ulang membelikan barang sama dan menuju lokasi jalan-jalan yang itu-itu saja. Begitu pula, jenis atau tema buku yang saya belikan untuk Heni tentu berbeda-beda.
Satu hal lain yang saya belikan secara dadakan tanpa memberitahu ataupun bertanya dulu pada Heni ialah sebuah celengan atau tabungan menyimpan uang secara fisik yang berbahan plastik. Bentuknya seperti tong barrel atau bisa pula mirip alat musik beduk. Ukurannya jumbo sehingga lumayan cukup lama untuk bisa "dipanen."
Heni sudah paham, saya orangnya sangat gemar menabung. Entah masa muda Heni dulu bagaimana, suka menabung atau enggak. Faktanya, setelah saya belikan celengan plastik itu, dia cukup rajin mengisi tabungan "portebel" miliknya. Sedangkan tabungan plastik punya saya, isinya masih tertinggal jauh dibanding milik Heni.
BAB III BISIKAN ANGIN SURGA
Bagian Ketujuh: Anugerah Terindah, Awal Perjuangan Menuju Bahagia
Kota Singkawang, Maret 2012
Alhamdulillah, bayi yang kami harapkan akhirnya lahir. Tepatnya, pada sekitar dua pekan yang lalu, anak pertama kami jenis kelaminnya sesuai harapan ibu kandung saya, telah hadir di dunia yang penuh tantangan ini. Proses kelahiran dilakukan secara alami.
Awalnya sih, bidan yang menjadi tujuan rutin kami dalam konsultasi serta periksa kehamilan telah merekomendasikan untuk melakukan operasi caesar di pusat kesehatan yang sudah ditentukan olehnya. Dengan diimingi mendapat fasilitas ambulan yang ada di tempat praktik miliknya untuk menghantarkan Heni ke sana.
Pada waktu itu Heni sempat saya tanya "Kamu mau caesar atau tidak?"
Heni menjawab "Aku terserah kamu."
Lantas, saya memilih second opion. Dengan segera mengajak Heni ke dokter spesialis kebidanan dan kandungan untuk pemeriksaan lanjutan demi mengetahui apakah proses kelahiran harus caesar atau bisa diterapkan secara alami.
Bersyukurnya, dokter yang memiliki banyak pasien yang antre di tempat praktiknya tersebut memberi kepastian secara tegas bahwa tidak perlu caesar. Dengan kenyataan itu, Heni semakin yakin bersalin secara alami. Kelahiran seperti itu, sudah sesuai fitrah nenek moyang kita dahulu kala.
Menjelang proses persalinan beberapa hari lalu, saya memutuskan mengambil banyak cuti. Tentu, kadang juga izin untuk datang terlambat ke tempat kerja. Hal itu berani saya tempuh demi membuat Heni merasa aman dan nyaman.
Mau bagaimana lagi? Di tanah perantauan ini kami tak mempunyai kerabat. Apalagi, kehamilan tersebut merupakan pengalaman pertama kami. Sungguh tidak bermoral ketika saya tak mau mengambil risiko mendapat "gangguan" pekerjaan, agar Heni bisa terus berlama-lama saya dampingi.
Untungnya, Ibu dan kakaknya Heni beberapa kali berkunjung ke sini sesudah 7 bulan masa kehamilan. Di ujung masa kehamilan mereka juga datang lagi. Dengan itu, saya sangat terbantu sekali membuat Heni tak gelisah dan tertekan.
Sayangnya, di tengah kondisi yang penuh kebahagiaan pada akhir bulan Maret sekarang ini, Heni sempat memulai pembicaraan pemicu Perang Dunia III dengan bertanya "Kamu kok bahagia banget, rasa bahagiamu itu, melebihi kebahagiaan saat jatuh cinta sama aku di masa SMA dulu. Kamu lagi jatuh cinta?"
Saya jawab tegas "Iya, aku jatuh cinta pada bayi kita. Lagian, bayi kita saat di kandungan juga enggak pernah ngidam. Enggak merepotkan orang tuanya."
Heni ngambek lagi "Nah, benar kan, aku cuma kamu jadikan tempat nanam benih untuk anakmu."
Saya menjelaskan "Kamu kok merasa tersaingi oleh anak kita yang masih bayi?."
Heni membeli diri "Gimana enggak cemas, aku curiga rasa cintamu bakal berkurang setelah ini."
Saya meyakinkan Heni "Kamu harus tahu. Mungkin jika kamu dan aku tak pernah bertemu lagi setelah lulus sekolah, senyumku yang merekah lepas saat SMA dahulu bakal sirna selamanya. Setelah aku ketemu lagi dengan kamu di toko ibumu saat pertama kali dulu, semangat hidupku kembali bangkit."
Heni menyanggah "Kamu ngegombal?... Merayu?"
Saya terheran "Apa kamu meragukan cintaku padamu? Sampai saat ini pun aku masih belum tahu alasan dan penjelasan logis kenapa aku kok sampai segitunya mencintaimu."
Heni membantu meringankan beban otak saya, yang sudah mulai penasaran hendak mencari tahu penyebab pasti kenapa saya mencintainya, dengan berkata "Semua hal tidak harus selalu dipahami pakai logika, pakai filsafat... Enggak semua hal itu bisa dinalar. Kadang perlu pendekatan berbeda untuk memahami sesuatu."
Kota Singkawang, April 2012
Belum juga genap satu bulan sesudah kelahiran gadis kecil kita tercinta, Heni sudah menanyakan "Kapan mulai buka tokonya?"
Sepertinya Heni sudah lama memendam keinginan untuk segera berwirausaha.
Saya merespon "...
Mohon maaf. Disebabkan ada uzur, berakibat BAB dan bagian selanjutnya belum bisa kami posting. Kami sedang mengusahakan dengan keras agar kelanjutan bagian novel ini bisa segera dipublikasikan. Oleh sebab itu, tinjau secara berkala website *Banjir Embun* ini.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Isi Novel "Di Tanah Perantauan" Bagian ke-6 Menguji Janji, antara Komitmen atau Menyerah?"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*