Novel "Di Tanah Perantauan"
Karya novel dari penulis profesional yang buku-bukunya populer di kalangan akademisi, telah berada di rak-rak perpustakaan kampus penjuru Indonesia, dan sudah terkenal di berbagai mesin pencari termasuk seperti Google.
Sebuah kisah tentang seorang pria yang sedang berjuang mencari jati diri, berusaha menemukan cinta sejati, dan berupaya mengembangkan potensi pribadi di saat dirinya mengalami luka batin akibat trauma masa kecil.
Jonathan tak seperti yang dikira oleh orang-orang telah menilainya. Ada sisi "lain" yang disembunyikan olehnya.
Mantan-mantannya Jonathan harus membaca ini...
Teman SMP Jonathan wajib membacanya juga...
Begitu pula, teman SMA Jonathan mesti baca!!!
Tak ketinggalan, teman kuliah Jonathan turut dianjurkan membaca...
Serta, siapapun yang kenal Jonathan tak boleh ketinggalan...
Untuk yang belum kenal Jonathan, silakan menikmati bacaan ini agar bisa memahami karakternya secara mendalam dan utuh...
Spoiler alert! Dilarang baca rangkuman di bawah ini tatkala tak mau mendapat bocoran! Sebaiknya langsung gulirkan layar ke bawah untuk segera membaca isinya!
Isi cerita terkait dengan pengalaman asmara remaja yang kompleks alias
rumit karena terganjal oleh prinsip hidup serta idealisme, interaksi secara sederhana dengan orang spesial yang justru berkesan mendalam, perjuangan hidup dari sebelum sampai sesudah menikah, kemandirian bersama pasangan di tanah rantau, cobaan hidup sesudah lahirnya anak, kesetiaan yang diuji dengan banyak godaan,
dan kehidupan bersama pasangan serta anak-anak kandung.
Oleh: A.
Rifqi Amin
BAB I PENCARIAN JATI DIRI
Bagian
Pertama: Kekasih yang Tak Dianggap
Kota
Kediri, September 2002
Nama
saya adalah Jonathan. Seorang cowok jomblo yang saat ini masih tidak punya
keinginan berpacaran pada kurun 3 tahun ke depan.
Kini, saya
berstatus sebagai pelajar di Sekolah Menengah Atas (SMA) yang berusia
kisaran 15 tahun. Umur yang seperti halnya remaja lain, tentu saya juga sedang
mengalami masalah pubertas.
Bedanya,
di kelas satu SMA sekarang ini, tubuh saya tergolong berukuran mini sehingga tak
setinggi kebanyakan teman cowok sepantaran.
Namun, terkait semangat dan rasa
percaya diri, boleh dibilang mengalami perubahan amat drastis dibanding masa
SMP tahun lalu. Saya menjadi punya motivasi tinggi dan hidup penuh optimis.
Alhasil,
saya tak terpilih guna dimasukkan dalam jajaran pasukan baris-berbaris mewakili
sekolah pada kegiatan peringatan 17 Agustus di bulan lalu.
Sedangkan Adli,
teman saya di SMP yang juga teman kos tiga tahun lalu, yang kini ketika di SMA
satu sekolah lagi, dengan penuh bangga memberi kabar pada saya.
Dia
berujar "Kamu enggak dipilih jadi peserta baris Agustusan Jon? Aku kemarin
terpilih loh!"
Untungnya
saya tidak kaget, lantaran tiba-tiba "disapa" seperti itu tanpa
berbasa-basi dulu. Sebab, sebelumnya saya melihat dengan mata kepala saya
sendiri tatkala Adli beserta siswa lain, yang memiliki tinggi badan di atas
rata-rata, dipilih oleh senior OSIS untuk menuju barisan tersendiri.
Seleksi tersebut dilakukan di lapangan sekolah yang posisinya pada ujung timur sekolahan.
Bukti
lainnya, baru-baru saja Guru Biologi bernama Bu Mardiyah menyebut saya
"berbadan pendek" dengan bahasa sindiran halus, tanpa maksud
merendahkan. Maksud beliau sekadar bercanda.
Lagi pula, beliau sepertinya
sangat memahami keadaan saya yang mengalami fase tumbuh kembang dengan ditandai
kepribadian penuh semangat dan percaya diri.
Terbukti,
tatapan mata beliau saat mengajar di kelas tidak terlihat membenci maupun
memusuhi saya. Enggak pernah membuang muka penuh muak tatkala tiba-tiba melihat
wajah saya.
Justru, memberi ruang saya untuk bicara leluasa guna
mempresentasikan hasil tugas kelompok, yang lantas beliau tanggapi antusias
layaknya kakak pada adiknya.
Entah
kenapa pertumbuhan fisik ini lebih lambat ketimbang perkembangan mental yang
ada dalam diri saya. Mungkin saja karena masa-masa SMP kemarin saya mengalami
kekurangan gizi. Di mana, kala itu kerap dalam kondisi kelaparan dan kehausan.
Selain itu, sebenarnya saat di SMP saya cukup sering berjalan kaki jarak jauh
yang seharusnya bikin tubuh gampang meninggi.
Tatkala
minum pun, sering di air keran Masjid yang langsung saya kokop ke mulut, tetapi
tanpa melengketkan bibir ke ujung keran. Adapun, untuk porsi maupun frekuensi makan
juga terbilang terbatas.
Sehari maksimal makan dua kali, tetapi lebih seringnya
hanya satu kali. Kerap pula, di hari Jumat tidak makan sama sekali. Sedang, di
hari Sabtu pagi tak sarapan maupun minum.
Intinya,
walau postur saya waktu itu terlihat berisi, tetapi hakikatnya mengalami kurang
asupan gizi ataupun nutrisi. Diimbuhi, setiap sepekan sekali pada hari Sabtu,
saya mendapat asupan masakan cukup melimpah bikinan ibu kandung.
Di hari itulah
kadang saya memungkinkan makan besar sepuasnya. Hal tersebut, barangkali yang
bikin badan saya tampak berdaging.
Oh ya,
perlu saya beri tahukan bahwa walau masih SMP, saya sudah indekos alias
menginap berbayar di kamar yang disewakan penduduk setempat.
Alasan orang tua
mengekoskan karena jarak antara rumah dengan sekolahan cukup jauh. Ditambahi
lagi, kakak laki-laki kandung yang juga alumni SMP di sana dahulu ngekos.
Rumah
orang tua di Kabupaten Kediri, sedang saya bersekolah SMP di Kota Kediri.
Lokasinya bersebelahan dengan lapangan kelurahan Ngronggo.
Pulang satu
pekan sekali di hari Sabtu. Senin pagi-pagi buta balik lagi ke Kota. Dibonceng
sepeda motor oleh bapak kandung bersamaan dengan kakak perempuan saya. Saya
dijepit di tengah.
Hampir
selalu dipastikan pada setiap menjelang akhir pekan tiba, tubuh saya sering
gemetaran disebabkan lapar dan haus. Itu terutama terjadi waktu hari Kamis.
Tepatnya, di ujung akhir waktu jam pelajaran terpenting bagi saya yang
ditutup dengan bel pulang sekolah. Itulah mungkin salah satu rasa lapar yang
enggak bakal saya lupakan hingga menua kelak.
Saya
ingat betul, perut sering terjadi rasa lapar disertai tubuh penuh gemetaran
pada pelajaran Bahasa Indonesia yang diajar oleh Bu Sukarti.
Padahal, saya
menyukai sekali pelajaran tersebut serta tentu suka dengan Bu Gurunya, yang
usianya sudah hampir purna tugas sehingga semakin menambah kesan bijaksana dan
ramah. Namun, nyatanya justru itulah momen bagi saya sulit konsentrasi.
Untungnya,
dalam satu pekan sekali mata pelajaran Bahasa Indonesia enggak cuma sekali.
Masih ada hari lain di waktu berbeda, yang jadwalnya sangat mendukung bagi saya
untuk penuh antusias menyerap ilmu-ilmu dari Bu Guru Sukarti. Setiap tugas
menulis atau bentuk unjuk kerja tertentu, saya tunaikan penuh semangat.
Dari
pelajaran Bahasa Indonesia tersebutlah yang telah membuat saya menjadi gemar
menulis puisi, merangkai cerita pendek, terbiasa dalam memahami paragraf dengan
efektif maupun efisien, sampai mengetahui sebagian kaidah baku tata Bahasa
Indonesia.
Salah satunya, berupa perbedaan kata depan "di" dengan
imbuhan "di-" yang turut pula telah saya kuasai. Bu
Sukarti sungguh mind blowing dalam mengajar!
Lantas,
bagaimana solusi atas penderitaan lapar yang saya lalui seperti itu? Tentu
sebagaimana yang saya katakan di atas, setiba bel pulang berbunyi saya langsung
menuju Masjid dekat sekolah guna minum air di pancuran keran. Sebab, mau minum
air keran toilet di sekolah, selain karena cemas tercemar kotor, tentu pula
malu dilihat teman dan guru.
Mau
berhutang pada teman pun, saat itu saya merasa takut dan tak enak hati. Turut
khawatir, bakal dipermasalahkan oleh orang tua di kala mereka tahu saya punya hutang.
Tahu hal begitu, kok tidak minta uang pada kakak perempuan? Jawabannya yaitu
pernah minta, lama kelamaan diadukan kepada ibu. Seketika itu, saya kapok meminta lagi!
Lebih
dari itu, rata-rata kondisi latar belakang ekonomi keluarga dari sejumlah teman
saya berada di bawah orang tua saya. Sungguh aneh kan ketika saya yang
“mungkin” dikenal anak orang kaya, tetapi justru berhutang pada teman?
Bukan sekadar itu, ketika ditanya teman, terutama teman kos, terkait berapa uang saku perpekan yang saya
terima, saya pilih simpan rapat. Enggak saya bocorkan pada siapa saja.
Sebenarnya,
jarak antara rumah dengan sekolahan tak jauh-jauh amat yang panjangnya di
kisaran 17 kilometer. Entah kenapa orang tua memutuskan untuk mengekoskan saya.
Walau dulu saya punya keinginan untuk bersekolah dekat rumah, dengan salah satu alasan
agar meminimalisir keluar biaya yang banyak, ternyata enggak diizinkan orang tua.
Sekarang
ini pun, di SMA yang kawasan lingkungannya hijau serta bersih, yang sedang saya
nikmati sembari menulis catatan kecil, saya juga hidup pisah dengan orang tua.
Dengan langkah berupa menetap tinggal di asrama sekolah.
Sebuah penginapan
siswa yang sangat beragam corak latar belakang penghuninya. Mulai dari mazhab
agama, ekonomi, asal daerah, sampai minat khusus dalam bidang tertentu.
Letak
gedung asrama sekolah posisinya mepet di utaranya Masjid sekolah. Berada di
lantai dua. Tepatnya di atas tempat wudu. Adapun, khusus ruang yang saya
tinggali, posisinya persis di atasnya kantor takmir Masjid. Bentuk ruangnya
memanjang layaknya gotakan atau kamar tidur massal di Pondok
Pesantren.
Jumlah
ruangan asrama terdiri dari tiga buah, yang luasnya hampir sama. Masing-masing
kamar besar tersebut diisi oleh sepuluh siswa yang selalu terisi penuh.
Masing-masing diberikan fasilitas lemari kecil. Tatkala ada penghuni yang
memutuskan tak meneruskan meninggali asrama, bakal mudah cari pengganti.
Sebagai
informasi, untuk menjadi anggota asrama enggak ada syarat khusus. Bahkan, biaya
asrama perbulannya lebih rendah, dengan selisih sepertiganya, ketimbang tarif
kos saya di SMP lalu. Pendek kata, berdasarkan kabar yang saya terima,
terpenting ada kemauan dan tak bikin masalah pasti bakal selamat sehingga tak
bakal dikeluarkan dari asrama.
Oh
iya, rumah orang tua saya berada di Kabupaten Kediri. Lebih detailnya di
Kabupaten Kediri bagian selatan. Cukup dekat dengan Kabupaten Blitar, yang mana
makam bapak proklamator Bung Karno berada.
Sedangkan, sekolah SMP dan SMA saya, berada di Kota Kediri. SMP letaknya di wilayah Kecamatan Kota serta SMA di area
Kecamatan Pesantren.
Saya
bersyukur banget, enggak melanjutkan sekolah di SMA yang lokasinya
berdekatan dengan SMP yang tahun lalu baru saja saya lulus dari sana. Bakal
terjadi kejumudan kala saya terus-menerus selama bertahun-tahun berada di
kawasan atau kelurahan yang sama. Sebab, saya itu tipe orang yang mudah bosan.
Saya tipe manusia yang amat menyukai tempat-tempat baru yang menawarkan peluang dan tantangan.
Sebagai
penutup cerita saya di bulan September yang sedang dalam suasana bersemangat
hidup, saya beri tahukan bahwa di penghujung hari sekarang ini saya ditemani
siraman cahaya matahari yang mulai berwarna kemerahan yang bikin syahdu. Sayangnya, sebagian besar semburan darinya tertutup pepohonan besar dan gedung
Bea Cukai Kediri Kota di depan sekolah.
Saya
sekarang sedang duduk di lantai dua Masjid sekolah bagian selatan, yang
letaknya di ujung depan dekat pintu gerbang. Ditemani selembar buku tulis pada
mata pelajaran yang sangat jarang memaksa saya untuk mencatat. Tentunya,
disertai pena yang siap mengajak saya berkelana ke alam imajinasi-fiksi maupun
non fiksi yang tersimpan di memori otak.
Di
sisi bagian akhir buku itu, saya menulis tentang ucapan syukur pada Tuhan yang
telah memberi kesempatan untuk menikmati rasanya jatuh cinta yang teramat
dalam.
Mungkinkah ini cinta pertama? Sebab, di masa SMP kemarin, sebenarnya
saya juga pernah jatuh cinta. Barangkali cuma cinta monyet. Nama cewek yang pernah bikin saya tersipu itu ialah Fitri.
Ia
gadis cantik yang selama 3 tahun selalu satu kelas dengan saya. Ajaibnya, kini
kami di kelas satu SMA ini kembali sekelas. Padahal peluang beda kelas sebenarnya
cukup besar. Sebab, jumlah siswa dalam satu angkatan kisaran 400 jiwa.
Sedangkan, saat di SMP kemarin jumlah siswanya sekitar 360 anak.
Di
buku tulis itu saya menyusun kalimat:
"Tuhan,
terima kasih atas rahmat-Mu. Di sekolah ini hamba menemukan bidadari dunia.
Tentu, hamba menyadari tak sebanding dengan bidadari surga. Namun, dia sungguh
luar biasa. Kesan pertama ketika melihatnya membuat hamba terpana tanpa
kata."
"Tuhan,
bukankan Engkau yang lebih tahu gejolak perasaan hamba ini, tentunya Engkau
Maha Tahu sehingga melebihi pengetahuan serta pemahaman yang hamba
miliki?"
"Mohon
maaf Tuhan, bukan maksud merendahkan Engkau Yang Maha Kuasa. Akan tetapi, hamba
sadar diri sepertinya hamba kesulitan bakal bisa merayu hatinya. Gadis yang
Engkau hadirkan itu sungguh mempesona."
Tak
lupa saya goreskan tulisan motivasi diri:
"Aku
harus jadi orang sukses!!!"
"Aku
berharap setelah lulus sekolah punya ekonomi mapan..."
"Aku
ingin secepatnya hidup mandiri dan pergi jauh dari Kediri. Tidak harus kaya
raya berlebihan. Sebagai awalan untuk memulai, punya pekerjaan yang bisa
menghilangkan rasa lapar dan haus, sudah lebih dari cukup! Asal tidak di sini
lagi.”
“Kamu
harus bisa Jon!"
Kota
Kediri, Desember 2002
Kembali
fokus pada cerita saya di masa SMA yang tengah saya lalui ini. Langsung saja
saya beri tahu, bahwa di acara MOS (Masa Orientasi Siswa) yang diselenggarakan
oleh OSIS beserta pihak kesiswaan sekolah di bulan Juni yang lalu, telah
membuat saya jatuh cinta kepada cewek.
Tepatnya, seorang gadis berkulit putih
dan bermata sipit. Saya baru tahu akhir-akhir ini ternyata namanya Heni.
Saya
mendapatkan cinta pandangan pertama seperti di atas ketika mata saya mulai
berani mengeksplorasi seluruh siswa di penjuru gedung aula sekolah, yang mana
tempat MOS diadakan.
Malahan, setiap kali ada acara di sana, saya seringnya
mencari-cari Heni lagi. Bukan untuk saya temui. Cukup saya lihat saja sudah
bikin jantung dag dig dug berbahagia.
Ironi,
hingga kini saya belum berani untuk PDKT dengannya. Bahkan, menetap wajahnya
saja langsung bikin saya hilang fokus atau sulit konsentrasi. Pendek kalimat,
saya gampang grogi tak berkutik di dekat wanita.
Apalagi, pada Heni yang saya
cintai. Buktinya, pada Fitri pun, ketika pertama kali bertemu di awal SMP 3,5
tahun lalu, sungguh teramat gugup.
Entah
kepribadian saya yang semacam itu sebuah musibah atau anugerah?
Lebih dari itu,
saya sangat rela saat didahului cowok lain yang agresif merapat padanya. Ibarat
kata, saya sudah siap ditinggal oleh kereta api yang tanpa jadwal pasti,
sehingga kapan saja bisa mendadak berangkat.
Mau bagaimana lagi, bersikap aktif
maupun pasif, keduanya pasti terdapat risikonya.
Kendati
seperti itu, saya tetap punya harapan padanya. Sebab, rasa cinta ini terlalu
besar untuk ditekan kuat ataupun sekadar dibiarkan begitu saja yang seolah tak
terjadi apa-apa. Heni terlalu sempurna bagi saya.
Apalagi saya mulai yakin,
dialah cinta pertama yang bersemi hadir di hati ini. Saya berharap pula, diri
ini juga jadi cinta pertamanya Heni.
Sementara
ini, saya memilih tetap jaim alias jaga image.
Enggak ingin mengumbar perasaan di dalam diri saya yang begitu membara padanya.
Tidak saya ceritakan sama sekali pada insan lain.
Hal itu saya terapkan sembari ingin memastikan
diri, apakah saya memang betul-betul mencintainya atau hanya perasaan sesaat,
yang hadir bagai tiupan angin malam di musim hujan yang bakal hilang saat
kemarau datang?
Jangankan
menyimpan urusan percintaan, musibah hidup yang lebih berat yang pernah menerpa
saya sedari masa sekitaran bocil SD sampai SMP mampu saya
simpan rapat sendirian.
Entah saya menikmati penderitaan semua itu, atau memang
saya tergolong manusia yang sanggup memaksa diri guna menerima kenyataan pahit
tanpa membukanya pada siapa pun. Tuhan, hanya Engkau yang tahu.
Untuk
penutup cerita di bulan Desember ini, sekali lagi sebagai sebuah kebiasaan, di
akhir tahun 2002 ini saya menuju lantai dua Masjid. Berada di bagian selatan
Masjid, saya terbiasa merenung sendirian.
Kali ini saya lakukan di malam hari
seusai sholat Isya berjamaah bersama masyarakat sekitar Masjid serta tentunya
dengan para penghuni astri (asrama putri).
Lokasi
ruangan asrama putri berada lumayan jauh di bagian belakang, agak menjorok
masuk ke dalam sekolah. Dekat dengan salah satu kantin sekolah serta rumah
dinas bagi Guru yang memutuskan tinggal menetap di kawasan sekolah.
Guru yang mendiami hunian tersebut juga bertindak sebagai pembina asrama putri.
Adapun, pendamping asrama putra Gurunya berbeda.
Hasil
kontemplasi di atas tersebut, saya tulis di buku catatan mata pelajaran dalam
wujud puisi sederhana berjudul "Rantauan." Selebihnya itu, saya cuma
ingin mensyukuri nikmat hidup ini dengan cara berbaring di lantai. Diselingi
sesekali duduk-duduk sambil melihat lampu taman sekolah yang indah beserta lalu
lalang kendaraan di depan sekolah.
Terima
kasih Tuhan, Engkau menghendaki hamba mampu berbahagia secara sederhana.
Saya
menulis puisi seperti di bawah:
Rantauan
Sepi
tak bertepi
Lenyap
tak terlelap
Rantuan
pemula ternekat
Meski
ancaman sekarat
Rendah
sudah nadiku
Terasa
berat langkahku
Memang
sampai inikah aku?
Semua
masih terasa kaku
Terasa
nikmat batin ini
Coba
mencoba bertahan
Memperkosa
kepenatan hati
Memperdaya
perubahan
Tak
Ingin sekedar tertahan
Namun
ada peningkatan
Dari
yang dulu terperdaya
Menjadi
sekarang yang adidaya
Kawan,
merantu itu indah
Terlebih
bagi pemuda rumah
Jadilah
kamu dirimu yang bebas
Pergi
ke mana hingga puas
Turuti
hati kecilmu
Bukan
nafsumu, dendam, atau amarahmu
Rantaun
tak butuh semua itu
Rantuan
adalah ilmu dan seni menyatu
Di tempat magang bagi calon perantau, pada 08 Desember 2002
Kota
Kediri, Februari 2003
Cerita
ini dimulai dengan langkah saya yang telah mulai berani cari perhatian di
sekitar Heni. Tentunya, saya tak sevulgar yang mungkin ada di pikiran sebagian
orang di waktu caper pada lawan jenis yang tengah disukai.
Merpati saja, kalau terlalu dipaksa didekati justru berakibat terbang menjauh.
Singkat kalimat, soal perasaan, saya bukan tipe pemaksa.
Cara
mencuri perhatian ke Heni saya lakukan secara elegan. Saya baru berani
"bersemangat" hanya ketika nasib mujur tiba. Yakni, tatkala Heni
sekilas sedang menatap saya. Tentunya, saya juga tak ada kesengajaan ingin
berada di dekatnya. Saya berpikir, biarkan Tuhan yang berkehendak memudahkan
saya.
Kalau
ternyata tak sengaja jumpa dia, baru saya tampil atau bertingkah beda agar dia
tahu bahwa saya berbahagia tatkala ada di sampingnya. Intinya, saya ingin memberi
tanda-tanda perasaan tertarik padanya dengan cara pelan-pelan. Menghindari
terburu-buru yang disebabkan lantaran takut didahului cowok lain.
Kalau dia
memilih laki-laki lain, ya berarti dia bukan jodoh saya. Sesimpel itu!
Bukan
maksud ke-GR-an atau ke-PD-an, sepertinya Heni
juga merespon kode-kode yang saya lontarkan padanya. Namun, saya belum berani
untuk berasumsi semakin liar. Sebab, "sinyal" tanggapan yang saya
terima darinya amat lemah.
Lagi pula, saya orangnya cuek atau tidak begitu peka
terhadap pancaran rasa tertarik yang disembunyikan di balik perilaku tertentu
maupun kata-kata "halus" dari wanita.
Yups, barangkali saya memang lelaki berdarah
dingin. Dalam artian, bersikap masa bodoh ketika ada beberapa cewek yang
mendekat dengan maksud ingin punya harapan lebih kepada saya. Baik itu, mereka
sampaikan secara samar-samar maupun yang lebih “genit” dengan maksud supaya
saya tertarik padanya.
Sikap
dingin di atas, selain disebabkan saya punya prinsip hidup tertentu, nyatanya
saya punya trauma masa lalu yang membikin saya mengalami gangguan kepribadian.
Walhasil, terdapat teman cowok di kelas lain yang sembrono menuduh saya penyuka
sesama jenis.
Contohnya,
saat di kelas 3 SMP kemarin, ada salah satu cewek terpopuler di sekolah, yang
juga merupakan bagian dari siswa di kelas unggulan atau favorit hasil seleksi
setiap tahun dari sekolah, datang mendekati saya.
Dengan wajah penuh murah
senyum, yang tanpa berbasa-basi, seketika berkata "Oh, sampean ya
yang namanya Jonathan?" Nama gadis tersebut adalah Intan.
Mungkinkah
saya terlalu berlebihan dalam memaknai perilaku Intan di atas? Ataukah memang
hal itu bisa disebut tanda sebuah ketertarikan dari wanita terhadap laki-laki?
Saya belum berani mengambil kesimpulan.
Lagian, terburu-buru dalam menyimpulkan
suatu hal bukanlah tabiat saya. Terlebih lagi, saya pernah sok tahu tergesa
mengambil kesimpulan, ternyata hasil akhirnya salah!
Adapun,
akibat kabar palsu tentang saya yang dituduh suka sesama laki-laki, membuat
salah satu cowok yang "belok" berkelok serta "berwarna-warni" berani mendekati saya. Dia bernama Vian.
Dia itu
tampilannya seperti remaja lelaki umumnya. Enggak tampak melambai-lambai.
Malah, terlihat lugu alias polos layaknya pria yang enggak ada tanda-tanda
orientasi seks yang berbeda.
Cuma
saja, dari segi isi bicaranya serta tingkahnya yang "genit" pada
cowok ketika berduaan saja, itulah yang bikin beda. Di mana, cara
"merayu" cowok ia sampaikan sembari bercanda, lalu tatkala ada
kesempatan barulah lancang mengajak untuk bersentuhan mesra layaknya lawan
jenis.
Itu diterapkan, sembari tersenyum-senyum penuh harap ingin melakukan
sentuhan fisik secara intens.
Lalu
mengetahui diterpa fitnah di atas, tanggapan saya bagaimana? Tentu saya cuek.
Merasa enggak perlu memberi penjelasan kepada siapapun. Dengan rahmat Tuhan,
biarlah suatu kebenaran menemukan jalannya sendiri. Kelak mereka akan tahu
bahwa saya sangat mencintai salah satu wanita teman satu sekolah. Tidak lain
bernama Heni.
Sebagai penutup, pada hari Kamis tanggal 27 Februari 2003 ada tragedi olahraga sepak bola di stadion Brawijaya. Terdapat kerusuhan suporter di sana. Nahasnya, gejolak tersebut merembet hingga di sekitaran area Masjid sekolah. Kondisi tergolong mencekam.
Akhirnya, Hasan selaku muazin punya inisiatif untuk mendinginkan suasana melalui mikrofon Masjid. Dia memberi kata-kata penyejuk sebagai pengingat semuanya yang mendengar suara tersebut.
Kota
Kediri, April 2003
Menjelang naik kelas 2 SMA sekarang ini, saya merasa Heni bertambah semakin kuat memberikan
kode-kode rasa suka pada diri saya. Mulai dari beberapa kali dia sering menatap
saya serta kadang pula tanpa ucapan, seolah dia meminta saya untuk mengikuti
jejak langkah kakinya. Dengan kata lain, Heni seakan menginginkan saya
mendekatinya.
Terbukti,
kemarin saya "tak sengaja" seolah terhipnotis mengikutinya menuju
kantin sekolah, yang waktu itu lagi sepi karena jam pelajaran aktif sudah
dimulai. Di mana, kami bebas aktivitas di luar jam pelajaran lantaran usai saja
ada kegiatan ekstrakurikuler yang diselenggarakan di luar sekolah. Itulah salah
satu privilege mengikuti ekstrakurikuler.
Tahu
apa yang terjadi? Saya sangat kaget, ternyata dia tak menuju ke kantin. Dia
memasuki ruang ganti yang biasanya dipakai kaum hawa untuk ganti baju seragam
dengan kaos olahraga. Alih-alih Heni menutup gorden jendela ruang ganti itu,
ternyata dia membiarkan terbuka.
Walhasil,
secara tak sengaja saya melihat rambut lurusnya yang selama ini selalu ditutupi
oleh jilbab. Ya, Heni adalah cewek berhijab!
Meski begitu, lumrahnya remaja SMA
lainnya, tentulah dia dan saya berstatus sama-sama insan yang masih labil.
Bahkan, masih kesulitan dalam menemukan jati diri. Jadi, situasi seperti inilah yang mungkin
disebut "kecelakaan" dalam lingkaran pertemanan remaja.
Rambut
panjangnya melambai-lambai, yang seketika kala saya memandangnya, tentu sebagai
remaja "bermoral," saya cepat-cepat alihkan sorotan mata menuju arah
kantin yang lokasinya berdekatan dengan ruang ganti itu. =
Coba kalau saya pandangi terus?
Barangkali dia akhirnya menjadi takut pada saya. Menilai saya sebagai cowok
nakal.
Kala
itu, saya seakan mengikuti Heni dari belakang lantaran memang hendak sowan ke
kantin sekaligus menjadi rumah dinas milik Pak Zaenuri. Di mana, beliau turut
pula kerap menjadi imam Masjid sholat 5 waktu. Saya ada janji dengan beliau.
Entah
iblis sekuat apa yang membuat saya tetap mencintai Heni. Dengan sengaja atau
tidak, ketika ada cewek yang terlihat rambutnya, biasanya bakal membuat saya
langsung hilang rasa alias ilfeel padanya. Akan tetapi, pada
kejadian ini, rasa cinta pada Heni justru malah semakin kuat.
Beberapa hari
sudah saya coba redam, nyatanya berujung gagal. Akhirnya saya biarkan mengalir
begitu saja. Entah, sejauh mana nanti hulu alirannya berada untuk saya akhiri petualang mengarungi arus airnya.
Selain
itu, kala ini saya lagi aktif-aktifnya memperdalam ilmu agama Islam di organisasi keislaman sekolah. Ditambahi,
komunitas pertemanan saya tersebut termasuk kalangan siswa yang sangat mencegah
hal-hal semacam melihat aurat wanita.
Jangankan berpacaran, sekadar
berdua-duaan dengan lawan jenis saja sangat mereka hindari. Bagi mereka, lawan
jenis merupakan kalangan yang harus dijaga dan dibatasi jaraknya.
Lebih
detail, sesungguhnya masih teramat banyak kode-kode yang diberikan Heni terhadap
saya. Berhubung keterbatasan jumlah kata di cerita yang saya sampaikan ini,
saya putuskan untuk tak menjabarkannya.
Tatkala semua itu saya tuliskan di
sini, bakal memperbanyak jumlah kata pada tulisan terpanjang yang pernah saya
buat dalam hidup saya, yang sedang saya rangkai ini.
Takutnya
pula, bakal memunculkan persepsi bahwa Heni cewek murahan.
Hei, dia
tak seperti itu! Kalau dia murahan, dia enggak bakal memberi
"perhatian" dengan sabar dan telaten kepada saya. Dia menerima
kondisi kepribadian saya yang terbilang berbeda ini. Apalagi, kehidupan saya
kerap dirundung permasalahan. Intinya, Heni didatangkan oleh Tuhan untuk
menghibur atas penderitaan yang saya alami.
Perlu
diketahui juga, yang masih terkait dengan pernyataan saya di atas, sudah berbulan-bulan
mencintai Heni, faktanya sejauh ini saya belum pernah sama sekali mengajak
berbicara dia. Berbasa-basi pun sama sekali tak saya terapkan.
Memang
sekompleks alias serumit itu interaksi saya pada cewek. Terlebih lagi, pada
gadis yang saya cintai. Fitri, di masa SMP dulu sudah menjadi korbannya.
Walau
saya satu ekstrakurikuler dengannya, tetap saja enggak bikin saya mampu
menuntun lidah menyapa Heni. Di sisi lain, saya tak punya inisiatif mencari mak
comblang atau teman yang bisa dijadikan penghubung. Saya tidak ada minat
bermain politik dalam sebuah hubungan pertemanan, dengan tujuan demi memuluskan misi
percintaan.
Inilah
barangkali yang disebut dengan penderitaan membawa nikmat. Menderita karena
"membiarkan" begitu saja cewek yang disukai, tetapi di lain sisi menikmati
perasaan jatuh cinta yang bertubi-tubi tiada henti. Heni, sadarkah kamu telah
membuat saya semenderita begini?
Di ujung tengah malam, saya terdorong menulis puisi. Sendirian. Hanya ditemani remang-remang bintang yang saya lihat dari lantai dua Masjid. Kemudian, saya goreskan pena di atas kertas yang sudah mulai tampak layu yang masih melekat pada buku.
Menikmati Penderitaan
Derita karena rindu tanpa pernah terhubung
Menderita lantaran sendu nan memilu di masa lalu
Terderita akibat terjebak di kubangan luka sembilu
Penderitaan disebabkan terpasung idealisme dan prinsip hidup
Tetes demi tetes air mata, tak boleh terbuang percuma
Aku harus segera bangkit dari trauma
Luka yang menganga, tidak boleh sia-sia
Aku mesti lekas menuju kepulihan
Berbagai tempaan derita, telah bikin aku tambah dewasa
Segala pukulan menyakitkan, sanggup membuatku kuat
Deritaan demi derita, menjadi bahan pelajaran terharga
Akhirnya, diri ini bertanya "Aku menderita atau bahagia?"
Sungguh, penderitaan ini akhirnya mendatangkan nikmat
Penderitaan ini justru menjadi candu
Memang, kenikmatan menderita ini sangat sayang untuk dilepaskan
Penderitaan ini malah berujung kepuasan yang menusuk
Di Candradimuka, 11 April 2003
Kota
Kediri, Mei 2003
Tubuh
saya seakan serta-merta tumbuh tinggi sangat signifikan lajunya. Mungkin ini juga
disebabkan lantaran hormon kebahagian yang membuncah akibat jatuh cinta,
olahraga pull-up yang sering saya terapkan, kerap lari-lari
kecil setiap pagi mengitari taman depan sekolah, hingga faktor lainnya yang tak
bisa disisihkan.
Kombinasi semua itu membuat pertumbuhan fisik melaju pesat.
Terbukti,
ketika saya bertemu lagi dengan Bu Mardiyah bersama suami beliau, yang sedang
mengerjakan proyek sekolah berupa pemasangan huruf timbul acrylic pada
papan nama di tembok sekolah di samping gerbang, setelah berbasa-basi disusul beliau
menyampaikan pesan penuh antusias "Dulu pendek loh, sekarang
kok cepat tambah tinggi. Lah yo kok cepet tinggi sekali."
Saya hanya tersenyum ramah sebagai wujud menghormati beliau.
Sebenarnya,
di awal tahun 2003 ini pertumbuhan fisik saya sudah mulai tampak meningkat.
Akan tetapi, baru sekarang kelihatan bertambah drastis. Mungkin inilah naluri
di lubuk hati terdalam yang tersembunyi yaitu berupa semangat memperjuangkan
diri agar tampilan badan saya sepadan dengan tingginya tubuh Heni.
Masih
teringat jelas di benak ini ketika MOS tahun lalu, tinggi badan saya terasa
tampak kalah dengan Heni. Waktu itu saya melihat Heni sebagai cewek yang
berfisik tinggi, berkulit putih, bermata sipit, berwajah manis, beraura cantik,
dan punya senyuman luar biasa.
Maklum
saja, disebabkan tengah jatuh cinta pastilah orang yang disukai dipuji-puji
setinggi langit. Namun, jangan salah sangka dahulu. Saya ini remaja yang
berpola pikir objektif serta tanpa ada maksud tendensius. Bagi saya, Heni
adalah manusia ciptaan Tuhan yang dihadirkan untuk saya cintai. Entah, Heni
cinta saya atau enggak?
Satu lagi cewek yang di awal MOS dulu termasuk jadi “incaran” saya yaitu bernama Rina. Dia berpostur tinggi dan berwajah kearaban. Ternyata, dia satu ekstrakurikuler bersama saya yaitu di Pramuka. Sebagai info tambahan, saya mengikuti ekstrakurikuler lebih dari satu. Namanya juga sedang mencari jati diri, semua pilihan ekstra saya coba ikuti.
Kota
Kediri, November 2003
Berdasarkan "nasihat" dari pemateri pada salah satu kegiatan pelatihan bertema tentang kesehatan reproduksi yang saya ikut di aula sekolah, dapat saya simpulkan seperti di bawah:
"Kisah
cinta remaja di sekolah pada jenjang SMA memang yang paling rentan sekaligus
paling berkesan. Tak jarang pada masa-masa inilah sebuah elegi berjudul
"Cinta Pertama" tertanam kuat dalam hati, yang terus terkenang sampai
masa tua hingga meninggal. Lumrahnya cinta pertama, pasti punya ingatan sedih
dan senang yang lebih mendalam daripada cinta sesudahnya."
Kalau boleh saya tambahi, berdasar keterangan pemateri di atas, tergolong cukup banyak kasus jatuh cinta pada pandangan pertama
berlangsung di masa-masa SMA. Termasuk saya sekarang ini yang lagi
"sakit-sakitnya" mencintai Heni. Tentunya, rasa sakit itu saya simpan
sendirian tanpa dicurahkan pada siapa saja.
Termasuk
terhadap teman dekat pun tak saya beri tahu terkait kisah "gelap" hidup saya. Privasi dan rahasia hidup saya,
harus dipastikan telah tersimpan rapat hingga di waktu yang tepat akan terbuka
dengan sendirinya. Entah bagaimana caranya, kelak akan mudah tersebar luas
tanpa bisa dibendung lagi.
Kota
Kediri, April 2004
Teman
asrama satu ruangan atau sekamar dengan saya, bernama Afiq, sedang jatuh
cinta kepada cewek. Kaum hawa pujaan hatinya tersebut satu kelas dengan saya.
Gadis yang telah mampu mengambil hatinya itu bernama Syida. Tahu tidak? Syida satu bangku dengan Fitri.
Afiq
bertanya pada saya "Syida satu kelas dengan kamu ya?"
Saya
jawab "Iya, dia satu bangku dengan teman saya SMP dulu."
Belum
puas, Afiq mengajukan pertanyaan kembali "Sudah punya pacar belum
dia?"
Saya
respon "Saya kurang tahu ya, mungkin saja belum. Soalnya dia menurut saya
tergolong pendiam."
Afiq
langsung minta tolong "Sampaikan salam saya padanya."
Permintaan
tersebut saya tanggapi dengan dingin. Saya tak mau menjadi mak comblang maupun
menjadi kurir surat cinta. Urusan percintaan milik saya saja belum beres, ngapain mengurusi
persoalan asmara orang lain.
Beberapa
hari kemudian Afiq menghampiri saya bersama teman laki-lakinya.
Di
sela-sela obrolan kami bertiga, temannya itu berujar dengan maksud menyindir
saya "Sebaiknya jangan titip salam pada cowok lain, nanti malah diembat sendiri
sama dia."
Temannya
mengira saya naksir Syida. Nahasnya, Afiq sepertinya mulai terbakar oleh
kompor meleduk yang baru saja meletus. Semenjak itu, hubungan saya dengan
Afiq merenggang. Parahnya, saya tak punya inisiatif menjelaskan duduk
perkaranya.
Tahu
enggak? Sedari kelas satu, saya sudah mengetahui bahwa Afiq satu kelas dengan
Heni. Sebagai cowok "waras," seharusnya saya mengajak kerja sama.
Saya bantu Afiq mendekati Syida, sebagai gantinya Afiq membantu saya
menjadi kurir surat cinta yang dihantarkan pada Heni.
Namun, nyatanya saya
lebih memilih idealisme berupa memegang prinsip untuk tak pacaran dulu.
Kota
Kediri, Juni 2004
Sekolah
kami mengadakan study tour atau karyawisata ke Yogyakarta dan
Bali. Setiap siswa diwajibkan untuk ikut. Dengan langkah memilih salah satu
dari keduanya.
Sebetulnya,
saya sudah menentukan SKAL ke Yogyakarta, dengan alasan hendak menghemat uang.
Sisa anggaran yang seharusnya dipakai biaya ke Bali, niatnya biar saya tabung
saja. Akan tetapi, orang tua dengan tegas mengatakan "Mbak tahun lalu ke
Bali, kalau kamu enggak ke Bali, nanti kamu menyesal."
Padahal
ketika saya ditanya Hasan yang merupakan teman sekelas Heni, dia sosok teman
dekat saya di lingkungan asrama, terkait mau tour ke mana,
sudah saya jawab dengan penuh yakin atas pilihan saya. Di mana, pertanyaan itu
telah Hasan ajukan pada saya sebelum pelunasan biaya SKAL saya tunaikan.
Hasan bertanya "Nathan, kamu nanti ikut study tour ke
mana?"
Saya
jawab penuh mantap "Aku pengen ke Yogya."
Selain
lantaran hendak berhemat, tentu saya ingin menghindari Heni. Sebab, saya
berasumsi sebagai anak orang kaya, Heni pasti memilih karyawisata ke Bali. Namun,
ternyata salah besar. Dia memutuskan ke Yogyakarta.
Apakah itu pilihan alami
dia, atau jangan-jangan dia sudah tahu bahwa saya memilih study tour ke
sana sehingga dia mengikuti jejak pilihan saya itu?
Mohon
maaf, tatkala saya terlalu GR dan PD. Di mana, di antara asumsi-asumsi saya
terhadap sikap atau perilaku Heni, keputusan Heni memilih study tour ke
Yogyakarta lantaran ingin mengikuti saya merupakan perkiraan saya yang paling
asal-asalan di antara banyak asumsi lain.
Pendek kalimat, menurut feeling saya yang
bersifat "sembarangan," saya meyakini sebetulnya Heni sudah berusaha keras
mendekati.
Nahas, singkat cerita, akhirnya saya menuruti keinginan orang tua untuk study tour ke Bali. Untunglah, di Bali saya enggak bertemu Heni, karena dia "terlanjur" menuju Yogyakarta. Hal itu, sudah sesuai dengan perkiraan saya bahwa kami berdua tidak satu tujuan karyawisata.
Kota
Kediri, Oktober 2004
Kisah
ini diawali dengan kesendirian saya yang sedang duduk di bawah pohon kelengkeng. Yakni, duduk di atas
kursi cor beton berbentuk bulat yang bermotif potongan pohon. Mirip batang
pohon yang baru saja dipotong dalam posisi berdiri di atas akarnya.
Jumlah kursinya sekitar
6 buah. Dengan formasi melingkari pohon kelengkeng. Kursi tersebut, semuanya
dibuat oleh siswa sebagai produk karya serta hasil praktik pembelajaran muatan
lokal.
Di jam istirahat ini, yang sebentar lagi menjelang bel masuk berbunyi, saya duduk sendirian di atas salah satu kursi cor bawahnya pohon kelengkeng. Dengan posisi tubuh menghadap utara, yang mengarah pada muka ruang kelasnya Heni.
Nah, tak berselang lama sesudah saya duduk manis, tiba-tiba Heni bersama satu teman ceweknya datang dari arah selatan. Mungkin dari kamar mandi atau bisa pula dari kantin.
Apa yang terjadi? Tanpa aba-aba, Heni duduk di dekat saya. Menyadari hal itu, tentulah saya terkaget. Soalnya, arah datangnya dari sisi belakang saya. Untungnya, momen semacam ini sudah saya prediksi sebelumnya yang pasti bakal terjadi.
Entah cepat atau lambat, akhirnya perkiraan itu kini tengah saya alami di depan mata. Dengan itu, saya enggak terlalu terlihat gugup lagi ketika berada di sampingnya.
Kalau boleh berterus terang, sesungguhnya sekarang merupakan momen paling berharga dalam hidup saya.
Boleh dikata, inilah kesempatan emas pertama bagi saya untuk memulai percakapan
dengan Heni di situasi yang tepat serta mendukung.
Bahkan, sebuah peluang besar bagi saya untuk mengungkapkan rasa cinta padanya. Maksudnya, mengutarakan perasaan semata supaya hati lega tanpa perlu
pacaran. Sekadar biar dia sudah tahu saja bahwa saya tertarik padanya.
Kok tidak kenalan atau pendekatan dulu, barulah setelah itu mengungkapkan perasaan? Jawabannya, lantaran saya sebelumnya sudah menjalin komunikasi non verbal dengan Heni berkali-kali yang jumlahnya sulit untuk dihitung, apalagi untuk diingat oleh otak saya yang pelupa ini.
Artinya, berbagai komunikasi intensif yang kami jalin tanpa berucap atau tiada pernah berkata-kata tersebut, bikin saya yakin sudah pantas ketika langsung ungkapkan perasaan.
Bukan cuma itu, faktor lain kenapa saya berani mengatakan "telah saatnya untuk mengungkapkan perasaan" karena saya
punya feeling tersendiri. Di mana, perilaku Heni seperti itu merupakan cara dia ingin mengetahui respon saya bagaimana ketika berada di dekatnya.
Dengan kata lain, sepertinya dia hendak memberi sebuah kode yang lebih tajam dari sebelum-sebelumnya.
Boleh dibilang, berdasar asumsi dari saya, sekarang ini di hadapan wajah saya yang berjarak super dekat, Heni yang sedang bersama satu gadis yang barangkali teman sekelasnya, menunjukkan diri di depan saya sudah rela berkorban menjatuhkan dirinya sejatuh-jatuhnya.
Bisa jadi pula, Heni hendak ingin mengajak bicara saya sebentar saja sembari menunggu bel masuk berbunyi.
Namun, apa yang saya lakukan dalam kondisi menguntungkan bagi urusan percintaan saya tersebut?
Bodohnya
saya, dengan penuh sembrono, respon yang saya berikan berupa langsung berdiri, lalu beranjak pergi dalam
hitungan kurang dari 3 detik, atau setidaknya 5 detik. Bayangkan, betapa kecewa Heni?
Alih-alih saya bersikap kesatria layaknya laki-laki sejati, malah saya mengabaikan sifat "mengalah" Heni demi bisa menjalin komunikasi verbal alias melalui ungkapan lisan dengan saya.
Agar bertambah jelas duduk perkaranya, sebagai
informasi penting, beberapa hari sebelum peristiwa "pohon kelengkeng" di atas terjadi, saya
keceplosan berucap tentang Heni tanpa disaring terlebih dahulu kepada salah satu teman terdekat di kawasan area sekitar Masjid.
Dia
muazin tetap di Masjid sekolah yang meninggali serta tidur di kantor takmir.
Tak lain teman dekat saya yaitu Hasan yang sudah saya singgung pada cerita sebelumnya.
Sebelum saya lanjutkan penjelasan yang dapat menjadi jawaban dari pertanyaan "Mengapa saya sudah pantas untuk langsung menembak Heni tanpa harus berkenalan dahulu?," perlu untuk saya sampaikan lebih dulu siapa sebenarnya Hasan.
Dialah sebenarnya satu-satunya teman saya sekaligus temannya Heni yang sangat cocok untuk dijadikan mak comblang atau penghubung.
Hasan di kelas satu dulu sekelas dengan Heni beserta Afiq. Begitu pula, di kelas 3 sekarang ini,
mereka bertiga satu kelas. Kelas duanya sepertinya tak bersamaan. Saya kurang
begitu tahu tentang itu.
Bahkan, di kelas duanya Hasan dan Heni ambil jurusan
atau kelas apa, saya juga enggak tahu. Sebab, semakin saya cari tahu tentang
Heni secara mendetail bakal berakibat merusak mental dan pikiran saya.
Entah
sejauh mana pertemanan Hasan dengan Heni, saya nihil informasi. Sekali lagi
saya tekankan, saya tak punya inisiatif untuk mencari-cari kabar atau berita
tentang Heni pada siapapun. Kecuali, tanya-tanya biasa yang terkesan basa-basi
umumnya cowok lain yang sedang membicarakan cewek berstatus primadona sekolah. Bahkan, nama lengkap Heni pun saya tidak tahu.
Lebih lanjut, Hasan merupakan salah satu teman saya yang bisa dibilang kawan dekat. Beberapa kali kami mengobrol dan kerap saling bertegur sapa penuh senyum.
Salah satu kenangan yang paling terkesan dari saya tentang Hasan yaitu ketika hari-hari di awal masuk
sekolah SMA ini. Di mana, saya mulai kenalan dengannya di lantai dua Masjid, tempat
saya terbiasa merenung.
Dilanjutkan
dengan mengobrol bersama pada waktu sore hari. Kalau tidak salah, kala itu
hari pertama saya mulai bermalam di asrama. Hasan teramat ramah dan murah
senyum ketika saya ajak ngobrol di pertemuan perdana itu. Sungguh sebuah kesan indah yang sulit untuk saya lupakan. Intinya, di antara kami, satu sama lain mengalami banyak kecocokan.
Kembali ke masa sekarang, sebagai jawaban dari pertanyaan sebelumnya, beberapa hari yang lalu saya memberitahukan pada Hasan, yang intinya saya ada ketertarikan kepada Heni,
disertai "sesumbar" dari saya bahwa Heni pun sepertinya ada
rasa terhadap saya.
Lalu, bagaimana responnya? Dia tak percaya. Dari mimik
mukanya, telah saya pahami bahwa dia ingin bilang kalau saya hanya asal ngomong.
Seketika
Hasan menanggapi "Beneran ya, saya tanyakan langsung ke dia,
kamu berani tidak?"
Hampir
sekejap mata, tanpa pikir panjang, langsung saya terima tantangannya dengan
ucapan satu kata "Silakan!"
Hari
besoknya dengan muka lemas dan ucapan yang sedikit berat, dia memberitahukan
"Wah, ternyata dia ada rasa padamu Nathan!"
Salahnya
saya, bukan malah bersikap dewasa eloknya pria sejati. Alih-alih menulis puisi
disertai surat bertuliskan mengutarakan isi hati, dengan penekanan tanpa maksud
mengajak pacaran maupun ajakan bertemu dengannya, pada secarik kertas lalu
dititipkan kepada Hasan. Justru, saya bertindak bodoh. Seolah saya tak
butuh Heni.
Saya
berlalu begitu saja, tanpa memberi kabar selanjutnya pada Hasan terkait rasa
cinta ini. Di hari-hari berikutnya pula, saya semakin jaga jarak dengan Hasan.
Takut saja, Hasan bakal mengingatkan saya kepada Heni.
Lebih detail lagi,
ketika dekat dengan Hasan saya khawatir bakal memancing saya untuk menjadikannya sebagai mak
comblang, supaya saya mampu dekat dengan Heni.
Mau
menyalahkan Hasan pun enggak bisa. Sebab, saya sendiri tidak pernah minta
tolong pada dia secara tersirat maupun tersurat untuk menjadikannya mak
comblang.
Singkatnya, sebenarnya dialah kunci utama dari kisah cinta saya dengan
Heni. Dialah satu-satunya orang yang saya beri tahu tentang "ada
rasa" di dalam diri saya kepada Heni. Akan tetapi, saya putuskan tak gunakan "kunci" itu.
Beberapa
hari kemudian, sesudah dialog saya dengan Hasan di atas, barulah
tragedi kehidupan berupa "penyesalan di bawah pohon kelengkeng sekolah" yang
saya ceritakan sebelumnya akhirnya terjadi dengan hasil "mengecewakan". Peristiwa itu berujung penyesalan saya yang
amat mendalam.
Dari sini dapat ditarik kesimpulan, sikap Heni yang menunjukkan sebuah "ketertarikan" saat di bawah pohon kelengkeng, sesungguhnya merupakan cara dia untuk menemukan jawaban atas pertanyaan dalam dirinya "Bagaimana respon Jonathan setelah mengetahui dari Hasan bahwa saya juga suka dengan dia?"
Hasilnya, dia menganggap saya tak menyukai dia lantaran seakan-akan saya mengacuhkan dia. Padahal, maksud saya tak seperti itu.
Pendek kalimat, sebuah kode kuat yang Heni berikan pada saya yang berbentuk berani
mendekati saya di bawah pohon kelengkeng, seakan saya mentahkan begitu
saja. Akibatnya, Heni beranggapan saya tak mencintai dia. Di sinilah, momen
terjadinya “putus” kontak batin antara saya dengan Heni.
Alhasil, dari sikap
kekanak-kanakan saya itu, menyebabkan Heni menjauh dari saya. Akhirnya, tak
lama dari hari tersebut, dia menjalin hubungan dengan putra salah satu tokoh besar yang
terkenal di Kota Kediri. Entah maksud dia apa? Sengaja memanas-manasi saya atau
memang dia tak ingin menyendiri tanpa pacaran?
Sekarang ini baru tahu rasanya. Yakni, tatkala mengenang beberapa hari yang lalu saat di bawah pohon kelengkeng, membuat saya mengalami marah pada diri sendiri. Sekarang ini, saya menghardik diri sendiri “Jon, Jon. Bagaimana sih? Sungguh sembrono kamu Jon! Awas nanti kalau kamu menyesal Jon!”
Walau saya tahu bahwa menyesali takdir dilarang dalam ajaran agama, tetapi nyatanya hati ini masih terus gagal dalam berusaha menerimanya. Barangkali, penyesalan itu akan sangat lama. Bahkan, kelak di waktu takdir memisahkan kita dengan tak saling hidup menikah bersama, mungkin “penyasalan” itu bakal saya bawa hingga ajal tiba. Itulah, sebuah penderitaan "cinta" yang nanti terus menimpa seumur hidup saya.
Kota
Kediri, Mei 2005
Menjelang
prosesi kelulusan SMA, interaksi kontak mata alias komunikasi tanpa disertai
kata-kata saya dengan Heni mulai sirna. Tak ada lagi curi-curi pandang. Saya
mempercayakan betul Heni kepada putra tokoh masyarakat yang berpengaruh di Kota
Kediri.
Meski masih ada rasa cinta di dada, nyatanya saya anggap Heni sudah
tidak lagi masuk dalam daftar radar bidikan gadis yang saya kejar kelak.
Sebelum
saya lanjutkan cerita ini, sebetulnya saya curiga ada teman di ekstrakurikuler
yang saya ikuti bersama dengan Heni, telah mengetahui atau memahami tentang
gejolak perasaan saya pada Heni.
Sebab, sepintar-pintarnya saya menyembunyikan
perasaan, masih terbilang lugu bagi saya untuk senantiasa cerdik berpura-pura
guna menunjukkan bahwa saya tiada rasa kepada Heni. Salah satu teman tersebut
bernama Sulton.
Demi
mendukung misi melupakan Heni di masa mendatang, saya punya impian merantau ke
Kalimantan. Tentulah, alasan lainnya yaitu lantaran ingin menghilangkan atau
lebih tepatnya "meninggalkan" trauma masa lalu ketika saya masih usia
dini. Ditambahi, terinspirasi dari paman (kakak kandung ibu saya) yang pernah
merantau ke pulau Kalimantan di waktu saya masih bocil.
Merantau adalah jalan ninja saya!
Kesimpulan
dari cerita bagian pertama ini ialah kami berdua mungkin saja saling mencintai
bagaikan kekasih yang senantiasa bertukar kerinduan. Akan tetapi, satu sama
lain berlagak atau pura-pura menjadi kekasih yang tak dianggap.
Saya
tak dianggap Heni karena dia memilih yang lain. Sebaliknya, saya juga
menganggap Heni tak pernah ada dalam hidup saya. Saling mencintai, tetapi satu
sama lain tak saling menanggapi.
Bagian
Kedua: Heni, Mantan Terindah atau Luka Terdalam?
Kabupaten Kediri, Juni 2005
Hari-hari luang pasca lulus sekolah, lebih banyak saya lalukan di rumah orang tua. Di rumah ini, saya mengalami kondisi buta arah. Tak punya pendirian serta keteguhan. Tidak memiliki tekat kuat untuk berinisiatif membangun masa depan sedari awal lulus SMA.
Akhirnya, saat di rumah yang bisa saya lakukan cuma tunduk patuh saat disuruh-suruh orang tua untuk mengerjakan apa yang diminta.
Kendati demikian, sebenarnya
saya punya beberapa alternatif cita-cita yang hendak ingin saya capai. Di antaranya meliputi menjadi tentara, anggota
intel bagian analisis data atau setidaknya agen telik sandi yang bertugas di
lapangan secara ringan yang hanya fokus mengumpulkan informasi, wartawan, ahli perangkat komputer, serta yang paling akhir menjadi ahli bidang pertukangan di proyek pembangungan fisik.
Semua pilihan pekerjaan di atas, menurut saya bakal mempermudah dalam melupakan Heni. Di sisi lain, saya bisa hidup "lepas" dan jauh dari orang tua. Sembari berusaha meninggalkan kenangan indah sekaligus pahit saat di Kediri yang sulit ditepis ketika tiba-tiba muncul di pikiran. Kenangan indah bikin rindu lantas meronta bertemu. Sedangkan, kenangan pahit membuat sembilu.
Bukan
cuma alasan di atas. Saya begitu menyukai bidang kemiliteran, tulis-menulis, dan penerapan komputer untuk banyak bidang seperti itu disebabkan sedari SD saya terkesima di kala melihat keterampilan tentara Indonesia
dalam unjuk kebolehan di salah satu siaran TV.
Sedangkan, penyebab kenapa
tertarik jurnalisme lantaran saya terinspirasi dari pelajaran Bahasa Indonesia.
Pelajaran tersebut mengingatkan saya pada Bu Guru Sukarti. Beliau salah satu Guru teladan bagi saya. Saya sangat berterima kasih banyak atas ilmu dan kesabaran bu Guru Sukarti. Beliau sosok yang lugas, sangat terlihat dari intonasi dalam menyampaikan pelajaran, tetapi tanpa menunjukkan aura intimidatif.
Adapun,
hendak memilih menekuni dunia komputer lantaran di SMP maupun di SMA yang lalu,
kedua sekolah tersebut sudah memfasilitasi muatan pengembangan diri berupa
pelatihan penggunaan komputer. Tentu, di awal milenium seperti sekarang, masih
amat jarang lembaga sekolah di Kediri yang menunjang fasilitas tersebut.
Bukan sekadar itu, kala
saya pertama kali beranjak di kelas 3 SMA, kios warnet atau warung
internet sudah berdiri di depan sekolah, yang sekarang ini masih langka keberadaannya. Saya pernah mencoba mengakses internet di salah satu komputer warnet tersebut, lantaran diajak oleh adik kelas yang sekaligus junior di asrama putra.
Dari tanda-tanda itu, saya merasakan bakal ada perkembangan ekosistem teknologi informasi yang pesat di Kota Kediri. Meski, masih banyak kalangan yang menolak kehadiran warnet, atau lebih tepatnya anti terhadap mudahnya akses internet utamanya di kalangan remaja, justru saya sangat setuju terhadap hadirnya fasilitas semacam itu.
Pada
hari berikutnya, saya dapat "bisikan" dari ibu kandung bahwa saya
bakal dikuliahkan di Kediri. Nama kampus sudah ditetapkan.
Nasib saya ini sungguh beda. Tidak seperti kakak kedua
saya yang kuliah di ITS Surabaya. Tunggu dulu, saya sadar diri memiliki
keterbatasan dalam nilai pelajaran. Jadi, saya tak punya harapan berkuliah di
kampus favorit. Saya hanya ingin kuliah di kampus vokasi yang sebatas D2 atau
D3.
Esoknya,
saya usul pada orang tua untuk tidak kuliah saja. Bagi saya, tak berkuliah bukan
tergolong dari sebuah masalah penting. Hal tersebut, bukan pula bagian dari
ancaman saya hendak mempermalukan orang tua yang punya anak tidak kuliah.
Bukan
juga sebagai wujud mengambek. Melainkan, ide saya itu muncul dari dalam lubuk
hati. Buat apa kuliah kalau enggak menambah keterampilan pribadi secara
signifikan?
Sayangnya, orang tua menanggapi usulan saya di atas dengan nada tegas "Ketiga kakakmu semua kuliah, kalau kamu enggak kuliah, nanti di masa tua bakal menyesal!"
Oh ya,
sebagai tambahan info, sejatinya sedari SD sampai SMP, saya sangat mendambakan
sekolah vokasi. Yakni, di SMK atau yang lumayan sering disebut STM. Ingin
mengambil jurusan apa saja, yang penting sekolah keterampilan sehingga bisa
menunjang saya untuk punya keahlian praktik di bidang tertentu.
Bahkan, terkait
dengan jurusan konstruksi atau bangunan bukanlah suatu masalah, sehingga tak
perlu dihindari maupun antipati.
Saya
terdorong untuk masuk sekolah "berjenis" SMK, salah satu alasan terkuatnya
karena teman bermain kakak kandung saya yang nomor dua sekaligus tetangga dekat saya, juga bersekolah di SMK favorit di lingkup Kediri Raya. Lokasinya di Jl. Veteran
Kota Kediri. Saat itu, saya masih sekolah di jenjang SMP kelas 1. Nama teman bermain kakak saya tersebut adalah Febri.
Febri
merupakan tetangga saya yang sangat baik. Dia salah satu laki-laki yang jadi
inspirasi bagi saya. Orangnya sopan, ramah, kreatif, dan memiliki kelebihan
lainnya. Gingsulnya pula, terutama ketika tersenyum, yang sulit saya lupakan
darinya. Faktanya, saya batal mengikuti jejaknya bersekolah di SMK. Tidak harus
favorit, terpenting SMK.
Di
pikiran saya, yang paling utama yaitu setelah lulus sekolah dapat langsung
bekerja, lantas memperoleh duit! Soalnya, saya tak mau lagi menderita akibat
enggak punya uang. Di mana, untuk sekadar menikmati jajanan di kantin maupun
pedagang kuliner di sekitar sekolah secara pantas, layaknya teman yang lain
pada umumnya saat di sekolah, betapa sungguh jarang sekali saya lakukan.
Di
hari berbeda, saya masih kekeh tak ingin mengikuti instruksi
orang tua. Saya mengajukan alternatif lain. Di antaranya supaya diizinkan
untuk mendaftar jadi anggota TNI AD. Ternyata ditolak juga.
Mau enggak mau,
sebagai pemuda yang minim wawasan, pengalaman, dan pengetahuan pada akhirnya saya mengalami kebimbangan parah. Apalagi, saat itu hati saya masih kondisi galau, gara-gara ditinggal Heni bersama cowok lain.
Enggak
putus asa, saya mencoba bernegoisasi kembali. Beberapa hari kemudian, saya mengusulkan
tentang program studi apa yang ingin saya tekuni di perguruan tinggi yang akan saya
masuki. Di antaranya seperti bidang keilmuan jurnalistik, komputer, pertanian,
kehutanan, hingga teknik sipil.
Tentulah, semuanya tidak ada di Perguruan
Tinggi Agama Islam di Kota Kediri yang jadi pilihan orang tua.
Nahas,
semua ditolak mentah-mentah. Orang tua mewajibkan saya mengambil program studi Pendidikan Agama Islam di satu-satunya perguruan tinggi berstatus negeri di
Kediri. Padahal, sebagai calon guru agama, saya memiliki kelemahan dalam komunikasi
dialogis maupun berbentuk orasi.
Hal itu, akibat dari gangguan kepribadian yang
saya alami. Lebih detailnya, disebabkan oleh trauma masa kecil.
Saya berpikir, setelah
lulus kuliah saya ngapain? Pantaskah saya jadi guru? Bakal sulit
sekali memahamkan siswa. Terlebih lagi, apa saya mampu serta sukses dalam
mencerdaskan mereka? Sekitar 20% siswa di kelas yang memahami tutur bahasa saya
secara sempurna, itu sudah bagus.
Bagaimanapun, seorang guru mesti punya
penampilan sempurna, baik dari segi fisik maupun performa komunikasi.
Selain
itu, selama hidup hingga umur 18 tahun sekarang ini, saya tidak pernah serius
mendalami ajaran agama Islam. Bahasa Arab dan baca al Quran saja masih belum
sempurna. Intinya, basic keagamaan maupun kemampuan komunikasi
efektif serta efisien yang dibutuhkan oleh pendidik agama, enggak saya miliki.
Meski tidak benar-benar berangkat dari nol, setidaknya ilmu saya betapa teramat
dangkal.
Informasi
lainnya, walau sebetulnya saya punya keinginan untuk masuk Pondok Pesantren
ketika masih masa SMP dan SMA, ternyata orang tua tidak menyetujui ide saya
tersebut. Beliau lebih memilih saya untuk kos dan dimasukkan ke asrama.
Boleh dibilang, hampir semua usul dari saya berujung "mentah" ketika saya ajukan kepada orang tua. Hal semacam itu, bukan sekadar masalah pilih memilih sekolah atau prodi kuliah. Malah, urusan sepele pun kerap diabaikan.
Saya
tertarik mondok sedari di SMP hingga SMA, salah satu alasannya karena kakak saya yang nomor dua pada masa dia di SMA telah bermukim di salah satu Pondok Pesantren yang terkenal di Kota Kediri. Yakni,
Ponpes yang lokasinya berada di sisi baratnya jembatan Alun-alun Kota Kediri.
Tepatnya di daerah kelurahan Bandar Kidul, Kecamatan Mojoroto. Sedangkan saya, berharap mondok di daerah sekitaran Jln. Ngasinan, Kelurahan Rejomulyo.
Di
masa SMP kala itu, saya pernah sambang kakak ke Pondok. Naik sepeda ontel berboncengan
dengan anaknya bapak kos yang rutin mengaji ke sana pulang-pergi. Saya sengaja diajak olehnya karena ia hendak mempertemukan saya dengan kakak saya di Pondok. Usianya
sepantaran dengan kakak saya. Nama anak bapak kos tersebut ialah Ofik.
Masih
terngiang kuat di ingatan otak tentang kenangan saya di lantai dua Pondok tersebut. Yakni, momen ketika menunggu kehadiran kakak sambil ditemani berbincang-bincang oleh para
santri yang hendak mengaji disertai memegang Kitab Kuning. Pada saat itu kami bercanda.
Tak berselang lama kakak datang, yang seketika tanpa perlu menunggu lagi, saya diajak ke warung makan yang ada di
dekat Pondok.
Setelah
berbasa-basi menawari saya mau pesan apa, akhirnya kakak memesan 2 piring makan
dan 2 gelas teh, guna dikonsumsi masing-masing. Porsi yang disajikan amat
banyak. Perut ini sungguh puas terjejali makanan melimpah. Mungkin, maksud
penjual makanan turut hendak bersedekah. Maklum, lokasinya dekat Pondok Pesantren.
Di hari selanjutnya, sebagai peredam atau penghibur diri akibat mendapat berbagai penolakan, saya melakukan afirmasi pribadi serta validasi diri agar mampu beradaptasi dengan kondisi yang sama sekali berbeda dengan impian saya.
Bagi saya, terpenting saya sudah berupaya "melawan" orang tua. Kelak saat dewasa, saya tak perlu terlalu menyesal tatkala ternyata masa depan saya tidak sesuai harapan.
Saya harus meyakinkan diri bahwa apa yang saya putuskan ini merupakan pilihan saya sendiri. Tanpa ada embel-embel akibat "dipaksa" oleh orang tua. Lagian bukankah saya sudah mulai beranjak dewasa? Kan, sudah lulus SMA? Oleh sebab itu, seharusnya tahu risiko ketika mematuhi orang tua.
Hamba serahkan masa depan ini pada-Mu Tuhan.
Lebih dari itu, uang saku dan biaya kuliah nanti pasti ditanggung orang tua. Lalu, apakah elok ketika saya harus membuat "acara" sendiri? Apalagi, turut mengatur-atur visi misi orang tua. Misalnya, dengan cara merevisi kemauan mereka. Kalau tidak mau diatur dan diperintah orang tua, ya semestinya saya sadar diri, dengan langkah minggat dari rumah. Hidup mandiri.
Di sisi lain, sebetulnya saya menyadari bahwa sangat dimungkinkan dengan berkuliah secara serius di jurusan apapun alias "sembarangan," meski berangkat dari pengetahuan nol, saya yakin pasti ada manfaatnya bagi pengembangan diri saya. Setidaknya, saya memperoleh value dan makna kehidupan. Bahkan, berkuliah asal-asalan pun, kendati cuma sedikit, tetap berpeluang mendatangkan manfaat.
Hasil akhirnya, saya putuskan untuk melaksanakan arahan orang tua. Lagian, saya meyakini pasti ada berkah dan hikmahnya, sebagaimana saya patuh diperintahkan bersekolah yang lokasinya jauh dari orang tua. Salah satunya, tentu bisa ketemu Heni di SMA yang letaknya sangat dekat dengan Stadion Brawijaya, yang merupakan sebuah sekolahan pilihan orang tua.
Sebelum
saya tutup cerita di bulan Juni ini, kalau boleh jujur, dalam hati saya
sebenarnya masih tersisa sedikit ganjalan untuk mematuhi perintah orang tua. Alhasil, terkadang saat melamun sendirian diimbuhi dengan munculnya ingatan trauma masa kecil, membikin saya meneteskan air mata tanpa suara.
Kendati, sekali lagi saya beri tahukan, secara umum saya merupakan orang yang terlalu asik
menikmati penderitaan yang saya terima sendirian.
Tuhan, maafkan hamba yang kadang secara tiba-tiba terbesit dan sepintas menyesali takdir-Mu. Untunglah, tatkala was-was itu terjadi, saya kerap langsung beristighfar. Tuhan, Engkau Maha Pengampun.
Kabupaten Kediri, Juli 2005
Sejauh ini, saya tak pernah meneteskan air mata gara-gara wanita. Bahkan, terhadap Heni pun saya belum pernah menangis dibuatnya. Saya baru meneteskan air mata, biasanya disebabkan oleh ingatan trauma masa kecil. Lebih dari itu, masih teringat jelas "kebiasaan" saya di kala masa-masa SD. Di mana, saya begitu sering menangis sendirian di dalam kamar. Tangisan tanpa suara.
Dari fakta di atas tersebut, sebagai naluri ingin melindungi dan "menyelamatkan" Heni dari trauma masa lalu saya, tentunya sekaligus menghindarkan Heni dari pihak yang menimbulkan luka batin tersebut, akhirnya saya putuskan untuk menjauhi Heni.
Walau nyatanya, sekarang ini rasa sakit di dada justru bertambah parah sesudah berhasil membuat Heni meninggalkan saya bersama cowok pilihannya.
Heni,
kamu terlalu sempurna untuk hilang dari ingatan saya yang seorang pelupa ini.
Semoga kamu tahu itu. Terima kasih untuk senyummu. Terima kasih untuk kegigihanmu. Terima kasih untuk
ketulusanmu. Maafkan saya, Hen.
Bermaksud menenangkan diri, di hari ini saya putuskan menyusun puisi:
Tuhan, Hamba Sendirian
Tuhan, kepada siapa hamba mesti mengemis selain pada-Mu?
Tuhan, ke mana lagi hamba cari muka selain di hadapan-Mu?
Tuhan, patutkah hamba menjilat selain kepada-Mu?
Tuhan, apakah pantas hamba mencari perhatian kecuali hanya pada-Mu?
Tuhan, hamba dirundung pilu
Tak tahu lagi mesti seperti apa?
Tuhan, hamba berada di fase terendah hidup
Enggak tahan lagi harus melakukan apa?
Percuma saja hamba berharap pada insan
Mereka berulang kali mengecewakan, bukankah itu kehendak-Mu?
Sedangkan, Engkau yang Maha Agung sudah terbukti berbaik pada hamba
Lantas, salahkah hamba ketika kembali lagi berharap rahmat-Mu?
Tuhan, bukan maksud hamba menuntut-Mu
Hamba sedang ingin bermanja-manja sebab mendamba Maha Welas Asih-Mu
Tuhan, bukan tujuan hamba tak sopan pada-Mu
Hamba hendak rakus meminta-minta rahmat-Mu
Tuhan, hamba cinta Engkau
Hamba tidak tahu lagi harus mencintai siapa selain kepada-Mu
Semoga Engkau berkenan untuk mengampuni dosa-dosa hamba
Semoga Engkau tetap merahmati hamba hingga setelah kematian hamba ini tiba
Di rumah "calon" masa lalu, 07 Juli 2005
Kota
Kediri, Agustus 2005
Jangan
salah sangka dulu, saya sebenarnya bukan anak yang 100% tunduk patuh pada orang
tua. Segala upaya sudah saya coba. Termasuk di bulan Mei lalu, saya telah
menunjukkan beberapa brosur kampus vokasi di Kota Malang yang melakukan promosi di SMA
pasca ujian akhir terselenggara. Jangankan membaca isinya, setiba menerima
langsung diletakkan di atas meja oleh orang tua.
Sungguh berat memang. Sebab, sebenarnya hati kecil ini masih sangat ingin berkuliah di Kota Malang. Yakni, dengan menekuni jurnalistik atau bisa pula ilmu komputer. Cukup dua tahun berkuliah, dengan penuh harap bisa menjadi wartawan atau ahli komputer. Lantas, hidup mandiri di tanah rantau.
Singkat
cerita, saya jadinya kuliah di kampus negeri satu-satunya di Kota Kediri. Saya
mengambil jurusan bidang keilmuan pilihan orang tua yaitu Pendidikan Agama
Islam.
Untungya,
tidak ada yang bertanya "Memangnya kuliah itu untuk apa, kalau akhirnya
menganggur?" Kalau ada yang tanya begitu, saya jawab berkuliah untuk
membahagiakan orang tua. Menurut saya, cukup dengan menuruti keinginan orang tua, sudah bikin mereka senang.
Bukan sekadar di atas, saya mematuhi orang tua lantaran itu sebagai wujud balas budi saya, karena di masa
kecil orang tua tidak memberi racun mematikan pada saya maupun menggugurkan
kehamilan saya. Lebih dari itu, mereka telah menghidupi saya dengan baik, yang
terbukti saya telah berhasil tumbuh besar sampai sejauh ini.
Kendati demikian, seolah-olah masih terdapat sedikit beban di punggung tatkala saya tetap berkuliah di
Kediri. Salah satunya khawatir saja tiba-tiba ketemu Heni kembali. Saya tak
ingin mengganggunya. Sebaliknya, jiwa saya juga pasti tergoncang ketika
serta-merta melihat wajahnya lagi secara tak sengaja. Aneh memang, diri ini
punya sifat seperti itu.
Alur
hidup saya memang seperti ini, semengalir bagai air sungai kecil yang membasahi
sawah. Entah sampai kapan saya begitu? Semoga aliran sungai ini nantinya
berubah menjadi ombak yang menderu.
Kota
Kediri, September 2005
Kali
ini saya enggak indekos. Melainkan, tinggal menetap di sekretariat organisasi
mahasiswa eksternal kampus bersama beberapa teman seangkatan di perkuliahan.
Ukuran sekretariat lumayan besar. Berhalaman luas sehingga leluasa untuk parkir kendaraan.
Di dalamnya ada beberapa
ruangan yang dijadikan kamar tidur maupun meletakkan lemari. Lokasinya tak jauh
dari perguruan tinggi tempat saya berkuliah.
Selama
bermalam di pekan pertama di sana, saya merasakan ada kenyamanan dan ikatan
batin cukup kuat dengan senior organisasi. Di sekretariat itu pula, saya
bertambah rajin menulis menggunakan pena di buku diary sederhana yang saya miliki.
Di buku tersebut, sudah sejumlah puisi dan curahan hati pribadi yang tergores
oleh ujung pena.
Entah suatu
kabar buruk atau hal yang seperti berikut ini kabar baik? Yakni, saya bertambah
puitis dan melankolis semenjak menjadi mahasiswa. Hal tersebut, salah satu
faktor utamanya disebabkan hampir setiap malam dan di pagi harinya, satu unit
komputer di sekretariat selalu menyalakan musik galau. Aplikasi pemutar musik
yang dipakai di komputer ialah Winamp.
Ditambah
lagi, perangkat sound yang dipakai terbilang “berkelas” pada
masanya, sehingga suaranya sangat empuk dan memanjakan tatkala merasuki telinga.
Di antara penyanyi ataupun grup band yang kerap diputar ialah Melly, Chrisye, Astrid, Bunga Citra Lestari, Ungu, Padi, Letto, Peterpan, Kotak, dan masih banyak lagi.
Oh
iya, beberapa pekan sebelumnya di kala OSPEK (Orientasi Studi dan Pengenalan
Kampus) mata saya secara tak sengaja menemukan gadis berkacamata. Tubuhnya
langsing. Berkulit tidak kusam maupun enggak hitam, tetapi juga tidak terlalu
putih. Gadis itu bernama Ermi. Apakah saya tertarik padanya? Saya jawab dengan
lugas "Iya, saya amat tertarik padanya."
Entah
faktor apa yang membikin saya menyukai dia, selain disebabkan faktor fisiknya
yang sesuai dengan kriteria saya. Yakni, ramping cenderung "tipis."
Mungkinkah sindrom jatuh cinta di awal masuk lembaga pendidikan bakal terulang
lagi? Sebagaimana, tatkala saya baru pertama kali masuk di SMP dahulu, turut
pula tertarik dengan Fitri. Aneh memang, kecil-kecil sudah ngerti lawan
jenis.
Di
hari berbeda, saya agak terkaget, ternyata Fitri teman saya di SMP dan SMA yang
saya ceritakan di atas turut berkuliah di sini. Seketika saya bergumam dalam
hati "Jangan-jangan nanti satu kelas lagi."
Sebagai
info, selama 6 tahun di sekolah SMP serta SMA yang sama, kami selalu satu
kelas. Di SMP satu kelas dan di SMA pula masih sekelas. Sekarang ini kampus
tempat menimba ilmu pun sama. Apakah kita jodoh?
Saya
tak berpikiran seperti itu. Fitri, bagi saya adalah kaum hawa yang baik. Sangat
baik malah. Meski begitu, saya tetap tak berani mengganggu atau menggodanya.
Fitri, terima kasih banyak atas kebaikanmu.
Bukan
sekadar alasan seperti di atas, saya melihat sendiri dengan mata kepala saat
kegiatan OSPEK, nyatanya Fitri sedang ditempel oleh seorang cowok. Dia bernama
Rifqi. Rumahnya di Kabupaten Nganjuk.
Dia
masih kerabat dengan ketua organsiasi yang saya ikuti. Tentulah, senior
tersebut mengajak Rifqi untuk berperan aktif dalam organisasi dan kerap diminta
berkunjung ke sekretariat. Nah, di sanalah kami mulai banyak bertukar pikiran.
Salah satunya enggak lain yaitu terkait seputar Fitri.
Kota
Kediri, Februari 2006
Rasa
suka saya terhadap Ermi ternyata lumayan awet. Lebih dari 5 bulan berlalu masih
saja hinggap di dada. Perbedaannya dengan masa SMA yang lalu, untuk kali ini,
saya lebih pilih terbuka terhadap teman-teman terkait urusan jatuh cinta pada
lawan jenis.
Itu saya terapkan, justru agar bisa menjadi pengerem, guna mencegah
bablas sehingga menabrak atau terjebak pada pergaulan bebas.
Salah
satu bentuk nyata "keterbukaan" saya yaitu berupa langsung saya sodorkan pertanyaan pada Dika yang
merupakan teman Ermi pada kelompok yang dibagi-bagi oleh panitia OSPEK. Di
mana, Dika juga satu naungan organisasi yang sama dengan saya.
Bedanya, meski
dia kerap mampir sekretariat, nyatanya sangat jarang menginap di sini. Terlebih
lagi, setelah tugas kuliah sudah mulai semakin padat.
Oh
iya, Dika ternyata naksir Fitri. Saya baru menyadarinya
akhir-akhir ini melalui gelagatnya serta caranya dalam mendekati saya. Turut
pula, dia sudah tahu bahwa Fitri merupakan teman sekolah saya yang terus sekelas selama
enam tahun berturut-turut. Alhasil, bertambah intens dia merapat pada saya untuk menjadikan
saya sebagai "perantara" komunikasi dengan Fitri.
Fitri seharusnya tahu hal ini, dia telah membuat saya keteteran menghadapi para cowok
yang menyukainya, yang jumlahnya teramat banyak. Sebab, saya didekati oleh para
cowok tersebut boleh jadi semata-mata karena mereka suka Fitri. Lantas, ingin memanfaatkan saya yang pernah satu kelas dengan Fitri.
Dari
sekian banyak cowok yang sangat tampak menyukai Fitri, dua di antaranya yaitu
Wahyu dan Bekti. Di mana, Wahyu menyukai Fitri saat kelas 1 SMA yang kami
bertiga satu kelas bersama. Kemudian, Bekti di kelas 3 yang merapat pada saya
demi bisa "terkoneksi" dengan Fitri. Cuma dua itu? Masih ada cowok
selain dari mereka!!! Fitri, lihatlah banyak cowok yang naksir dirimu!
Mereka
kira, saya bakal mampu dan mau mempengaruhi Fitri supaya mau didekati oleh
mereka. Maaf, saya tipe individu yang enggak jago melobi. Apalagi, menyangkut urusan asmara. Bukan
cuma itu, saya enggak mau "merusak" Fitri, kalau ujungnya hanya niat
pacaran tanpa tujuan menikahi.
Lebih
dari itu, menegoisasikan urusan cinta saya sendiri dengan Heni saja mengalami
gagal. Kok sok-sokan membantu orang lain. Bisa-bisa anak ayam tertawa
terpingkal-pingkal kalau melihatnya. Nahasnya lagi, entar ada orang yang bilang
"Pintar teori, tetapi praktiknya nol besar!"
Meski menurut saya,
enggak semua teori harus dipraktikkan dahulu, tetapi semua praktik pasti bisa diteorikan.
Selanjutnya,
pada masa kuliah inilah saya terus-menerus mencoba terbuka untuk membangun diri agar
berpengalaman dalam urusan cinta. Salah satu bentuk nyatanya, saya rutin curhat pada
beberapa orang terkait perasaan saya pada Ermi.
Akibatnya, pelan-pelan banyak
orang yang tahu bahwa saya tengah PDKT alias menggebet Ermi.
Bahkan, beberapa anggota organisasi "sebelah" pun tahu.
Apa
mungkin ini sebagai bentuk cara saya balas dendam di masa lalu, lantaran dahulu
lebih pilih berdiam saja saat mencintai Heni? Ditambah, saya sekarang sudah
beranjak dewasa serta berjuluk seorang mahasiswa. Jadi, pikir saya sudah
saatnya kini untuk berbicara menyangkut masalah percintaan secara serius. Ketimbang
dipendam saja, berakibat hilang akal waras.
Kota
Kediri, April 2006
Singkat
cerita antara Rifqi dengan Dika terjadi konflik. Masalah terkait apalagi,
kalau bukan disebabkan persoalan cinta segitiga. Kendati demikian, saya sebagai
teman dari keduanya lebih pilih bersikap netral. Walau sebenarnya dalam hati,
sejujurnya saya lebih cenderung memilih Rifqi.
Bagi saya, itu rasional dan
jalan terbaik untuk semua. Tentu, tidaklah etis ketika saya spesifikkan
alasannya.
Bukan
cuma itu, nyatanya Rifqi duluan yang mulai mendekati Fitri. Bahkan, sudah melakukan pendekatan di awal
OSPEK pada hari pertama kali kami masuk kampus. Lebih dari itu, kelihatannya Fitri juga
begitu responsif pada Rifqi. Itu sangat terlihat dari sorotan mata dan gerak
tubuhnya Fitri.
Di momen itulah, selama bertahun-tahun kenal Fitri, saya melihat dia berbahagia
bersama cowok.
Info
lainnya, Rifqi sempat mengira saya masih menyukai Fitri. Untunglah, karena saya
kerap curhat tentang Ermi kepada Rifqi, akhirnya bisa menepis anggapan Rifqi
yang penuh cemburu. Baginya, saya enggak masuk lagi sebagai salah satu
pesaing dalam memperoleh hati Fitri supaya lancar menuju jenjang pernikahan.
Saya turut bahagia melihat kisah cinta kawan berakhir memuaskan. Sayangnya, cerita hidup saya enggak seperti itu.
Di suasana malam, pada salah satu ruangan sekretariat sunyi, saya meluapkan rasa dalam bentuk puisi.
Rindu tanpa Tepi
Rindu tak bertepi
Harapan bertemu tiada henti
Merindu yang bikin sepi
Rinduan menyergap hati sunyi
Rindu bukan berarti kudu bertemu
Kangen tak perlu harus memadu
Walau ada hasrat berjumpa seperti dulu
Namun, cukuplah aku membisu
Beban memendam rasa bersua sungguh berat
Apakah kamu merasa hal sama?
Ah, diri ini tak yakin kamu mengingatnya
Apa aku yang salah dalam mengartikan?
Rinduku ini melebihi hangatnya api unggun di malam sepi
Kangenku ini terlalu menyakitkan sanubari
Entah, apa alasan Tuhan masih menghidupkan aku?
Cukuplah aku yang merasakan ini, janganlah kamu
Rasa cinta yang mestinya diungkapkan, akhirnya aku sesali
Tanpa akhir, tanpa kembali, dan tanpa selesai
Bersyukurnya, rinduku pada Tuhan jauh lebih menggebu
Kalau tak pantas merindu-Nya, kepada siapa rindu ini berlabuh
Graha Insan Cendekia, April 2006
Kabupaten Bantul,
Juni 2006
Saya
ikut menjadi salah satu sukarelawan penanggulangan gempa Yogyakarta di Bantul
dan sekitarnya, yang diselenggarakan oleh organisasi kepemudaan binaan Pemkot
Kediri. Alasan saya ikut sangat sederhana, yaitu mengisi waktu libur perkuliahan.
Lagian, kegiatan itu cuma sekitar satu pekan. Jadi, enggak bakal mengganggu
tanggung jawab dan kewajiban saya di organisasi yang saya ikuti.
Ada
hal aneh yang saya dapati di komunitas yang menyelenggarakan bantuan pemulihan
bencana gempa yang sedang saya ikuti tersebut. Tunggu dulu, ini bukan terkait
dengan yang ada di pikiran kalian. Akan tetapi, menyangkut dengan permasalahan
pribadi yaitu terdapatnya salah satu cowok seusia saya yang punya gelagat sinis
dan penuh risih terhadap saya, tatkala dia berdekatan dengan saya.
Sesudah
saya telusuri dengan langkah bertanya kepada rekan sukarelawan serta panitia
penyelenggara peduli kemanusiaan gempa Yogyakarta, hasilnya secara tak sengaja saya
temukan asal usul cowok itu. Salah satu kesimpulannya yaitu berupa ternyata dia
menyukai Heni.
Kok
aneh banget sih? Apakah dia sudah tahu saya yang turut pula
suka kepada Heni? Tahu dari mana? Patut dicurigai Heni terlibat dalam
pusaran kerumitan ini. Entah sejauh mana peran Heni. Misalnya, dengan cara Heni curhat
pada orang lain tentang seperti apa saya atau yang semacamnya terkait saya.
Bertambah runyam saja kalau begini.
Lantas,
bagaimana hubungan Heni dengan putra tokoh Kota Kediri saat di akhir kelas tiga, pada satu setengah tahun lalu, yang telah mereka jalin? Ah, saya enggak mau ikut
campur. Saya harus move on dari Heni. Heni sudah menjadi
bagian dari kisah masa lalu saya. Sudah waktunya tutup buku!
Lagi
pula, saya sadar diri memiliki banyak kelemahan. Enggak memungkinkan bagi saya
untuk mendekatinya. Bakal menambah luka hati kalau ujung-ujungnya nanti berpisah.
Buat apa mendekat kalau akhirnya menjauh?
Untungnya,
kabar tersebut tidak mengganggu saya untuk ikut aktif dan fokus membantu secara
fisik di aktivitas sosial-kemanusiaan. Di antara salah satu kegiatan yang saya lakukan
berupa gotong-royong mendirikan tenda besar sebagai pengganti bangunan sejumlah
sekolah yang roboh terdampak gempa.
Kabupaten Kediri, Oktober 2006
Di
akhir bulan Oktober suasana lebaran masih sangat lekat. Sebagaimana satu
tahun yang lalu, begitu pula pada Idul Fitri kali ini saya enggak ikut acara reuni SMA yang
selalu diadakan dan ditetapkan di hari ke-5 lebaran. Semestinya, kalian tahu
alasannya?
Yups, saya belum siap menatap wajah Heni lagi. Khawatir
ketika ikut reuni nantinya ketemu dia kembali.
Selang
di hari ke-7 lebaran, saya mengadakan agenda sendiri degan langkah kumpul
dengan teman SMA yang cenderung pendiam dan lugu. Cuma 3 orang. Angka itu sudah
termasuk dengan saya. Kami bertiga berkunjung ke kediaman para guru SMA. Tentu,
mendatangi beberapa rumah teman.
Nah,
pada salah satu pertemuan di rumah teman tersebut, saya mendapat sindiran dari
tuan rumah. Sembari mengerucutkan bibir, dia melirik saya yang disusul dengan
berkata "Cinta bertepuk sebelah tangan, nanti kalau dipaksa jadinya
seperti pungguk merindukan bulan."
Padahal,
saya tak bercerita apa-apa tentang Heni di forum kecil itu. Namun, di momen yang pas, serta-merta dia menyodorkan kata-kata perih. Akibatnya, mental saya
semakin terjatuh. Rasa percaya diri untuk mendekati Heni di masa depan semakin sirna.
Saya
berasumsi, dia melontarkan nada sindir karena telah mendapat informasi dari
teman lain, tepatnya di pertemuan reuni hari ke-5 pada dua hari yang lalu. Mungkin ada
yang "bisikin" dia bahwa saya dengan Heni ada sesuatu.
Kasak-kusuk seputar perasaan saya pada Heni, kok bisa menyebar ke mana-mana
begitu?
Saya
tekankan kembali, rasa cinta saya pada Heni enggak pernah saya bocorkan pada
siapa saja. Kecuali, pada Hasan. Itu pun sesungguhnya saya anggap angin berlalu.
Lagian, saya yakin Hasan bukan tipe pengumbar privasi orang lain.
Saya
curiga, sangat memungkinkan ada teman yang menyadari adanya "kontak batin" saya
dengan Heni yang secara tak sengaja alias reflek dilihat olehnya.
Sepandai-pandainya saya menyembunyikan rasa, pasti ada kejadian apes yang membuat
saya amat terlihat salah tingkah di kala dekat Heni.
Menerima
sindiran di atas, seketika saya berpikir bahwa apa yang saya alami selama ini
hanya ilusi atau parahnya malah halusinasi. Setidaknya, saya gagal dalam
memahami serta memaknai perilaku Heni sehingga membuat saya terlalu PD dan GR.
Yakni, meyakini dia juga tertarik pada saya. Intinya, saya terlalu berharap
atau berangan-angan bahwa Heni terdapat rasa pada saya.
Kota
Kediri, November 2006
Saya
bertambah lebih rajin ke perpustakaan. Bukan hendak mencari buku-buku mata
kuliah untuk mengkaji atau memperdalam ilmu terkait dengannya. Melainkan ingin
membaca koran, ensiklopedia, novel, buku psikologi umum, hingga buku-buku
tentang motivasi. Seluruhnya itu, sudah teramat cukup guna memenuhi dahaga saya
yang gemar membaca tulisan bermanfaat.
Saat
ke perpus, saya lebih nyaman masuk sendirian tanpa teman. Kadang,
secara tak sengaja bertemu teman di salah satu sudut kampus yang disusul untuk
sepakat bersamaan masuk ke sana. Di mana, salah satu teman seangkatan, yang
juga penghuni tetap sekretariat, bernama Mail, bisa dikatakan tergolong kerap berjumpa dengan saya di sana. Meski tanpa janjian lebih dulu,
kami sering bertatap muka di perpus.
Bagi
saya, Mail merupakan figur teman yang dapat menjadi salah satu pengerem saya
dalam pergaulan. Termasuk, tentu penyemangat saya untuk konsisten pergi ke
perpustakaan. Seakan kami berdua tengah berlomba untuk menjadi "si
paling" rajin ke perpus.
Terlebih lagi, dia pernah mondok di berbagai
pesantren di Indonesia. Salah satu pondok yang pernah ia jadikan tempat menimba
ilmu yaitu berada di daerah kelurahan Lirboyo, Kota Kediri.
Mail pula yang telah mengajak saya untuk menginap di Ponpes sekitaran sana selama
semalaman suntuk. Saya masih ingat betul momen berkesan tersebut. Saya tidur di sana
dalam kondisi gelap karena lampu sengaja dimatikan. Sungguh syahdu. Suasana
bilik di Pondok Pesantren memang bikin kangen.
Walau
enggak pernah mondok, setidaknya saya sudah merasakan sendiri serunya tidur di Ponpes.
Bukan sekadar itu, saya juga pernah diajak makan di kantin Pondok Pesantren
oleh Mail. Saya ditraktir. Porsi nasi yang disuguhkan oleh
penjaga kantin amatlah besar. Padahal, harganya sama dengan warung makan di dekat
kampus.
Kembali
lagi ke topik perpustakaan, kenapa tidak membaca buku mata kuliah ketika
di perpus? Saya masih berat menerima kenyataan berkuliah di bidang
yang tidak saya gemari. Saya masih butuh "pengalihan" atau kompensasi
untuk menghibur diri.
Salah satu yang saya tempuh yaitu dengan membaca
tulisan-tulisan ringan yang tersedia membludak di perpustakaan yang ukuran
ruangannya boleh dibilang amat luas.
Selain
daripada itu, semenjak saya di SMP dan SMA sudah tergolong rajin ke
perpustakaan, Akan tetapi, anehnya saat di perpus seperti
sekarang ini maupun pada masa-masa lampau, tidak pernah sama sekali mata saya
ada hasrat mencari-cari gadis bening.
Termasuk pula enggak mencari Fitri, Heni,
atau Ermi. Diri ini terlalu asyik menikmati dan menyelami aneka sumber ilmu
pengetahuan yang terpampang melimpah ruah.
Inilah
salah satu bentuk keberkahan dan hikmah di balik "keterpaksaan" atas
kuliah yang saya tempuh! Satu dari beberapa di antaranya berupa dapat dengan
leluasa mengakses perpustakaan tanpa perlu khawatir harus membayar atau butuh
persyaratan rumit lain.
Bukan cuma itu, AC di dalam perpustakaan sangat dingin
banget. Mall satu-satunya di wilayah Kediri Raya masih kalah adem.
Malahan,
sedari di kelas 1 SMP dulu, lantaran tergolong aktif ke perpustakaan, saya
menemukan sejumlah bacaan di koran yang cukup berfaedah. Yakni, tentang split personality dan post power syndrome.
Tentunya, masih terdapat
tema-tema lain yang turut saya baca untuk mengisi waktu luang di kala jam
istirahat. Sebab, mau ke kantin tidak ada anggaran uang saku guna beli jajan.
Semua
judul tulisan seputar itu, saya lahap sampai habis dari awal hingga akhir.
Dengan kata lain, meski masih bocil, nyatanya saya sudah gemar membaca
artikel yang cukup berat. Tentunya, saya sering membaca berita terkini terkait
peristiwa di Kediri Raya.
Sekarang pun, di tahun 2007 ini, dua istilah yang saya
sebutkan di atas masih terbilang asing di telinga banyak orang.
Bayangkan, setelah membaca tulisan itu, walau bocil, ternyata saya menjadi kepikiran tentang "Apakah di usia pensiun nanti, saya juga berpeluang mengalami post power syndrome?"
Kenapa saya terbiasa membaca? Sejak usia SD saya terbilang kerap membaca majalah "Mimbar Pembangunan Agama" yang dikelola oleh Departemen Agama Kantor Wilayah Jawa Timur. Selain itu, saya turut pula sering membaca majalah "Panji Masyarakat." Tentunya, berbagai buku lain yang berada di meja kerja dan rak buku milik bapak saya.
Kini, saya sedang menikmati suguhan bacaan artikel tentang baby blues yang menguraikan beberapa kejadian "mengerikan." Di mana, yang paling parah ialah seseorang ibu tega melakukan penghilangan nyawa pada anak kandungnya sendiri yang masih bayi. Salah satu penyebab utama kasus baby blues yaitu perubahan hormon yang drastis di dalam tubuh ibu bayi.
Dari aneka bacaan di perpustakaan seperti itulah yang membuat saya termotivasi ingin menjadi seorang penulis. Berharap di kemudian hari bisa menulis buku yang diterbitkan oleh penerbit nasional terkenal. Bisa pula, menjadi penulis apapun, asalkan tulisan saya bermanfaat bagi banyak orang.
Dengan buku karya saya maupun bentuk produk tulisan lainnya, setidaknya hal tersebut mampu sebagai pengganti atas kegagalan saya yang sangat kesulitan berkomunikasi lewat lisan. Intinya, kalau saya tidak mampu bermanfaat bagi masyarakat menggunakan lisan, tanpa boleh ditawar lagi harus menjadi insan bermanfaat melalui tulisan.
Mungkin
saya memang manusia yang mempunyai “pandangan” jauh ke depan. Saya menyadari
itu lantaran pernah ditegur oleh teman kuliah bernama Munir berupa “Janganlah
panjang angan-angan, selesaikan dulu masalah yang saat ini di depan mata.
Urusan yang belum terlihat jangan digelisahkan. Buang-buang waktu saja!”
Diberi
nasihat seperti itu, dalam hati (tanpa diutarakan) saya bergumam “Saya kan,
memang pemikir dan perenung! Sebelum memikirkan hal-hal lain, tentulah saya harus memikirkan diri sendiri dulu...”
Kota
Kediri, Maret 2007
Saya
dapat informasi dari Sulton, teman ekstrakurikuler saya yang di dalamnya juga
terdapat Heni, bahwa Heni sedang menempuh pendidikan agama di Ponpes putri
sekitaran kelurahan Lirboyo. Dengan kata lain, Heni menjadi santri putri.
Naifnya saya, alih-alih menunjukkan muka penuh penasaran lalu menggali
informasi seputar Heni kepada Sulton, yang ada saya tampak tak peduli. Seolah
enggak kenal dengan Heni.
Pada tengah malam harinya yang begitu hening di sekretariat, saya tertuntun untuk membuka buku diary. Berhubung sudah tak ada manusia yang terjaga di sini, akhirnya saya sangat leluasa menulis sebuah puisi:
Heni
Heni, terima kasih sudah mewarnai hidupku saat sekolah SMA dulu
Dirimu kala itu telah menjadi penyemangat hidupku
Bikin aku tersenyum dan bahagia saat teringat wajahmu
Mungkinkah kamu saat itu menyadari kehadiranku yang naksir padamu?
Ah, aku sekarang sadar diri
Ternyata aku dahulu hanya berilusi
Aku kira cintaku waktu itu kamu sambut berseri
Nyatanya, itu hanya anganku yang tak tahu diri
Namun, entah kenapa "diriku yang lain" meyakini bahwa kamu berbalas rasa
Begitu percaya bahwa kamu adalah salah satu keajaiban Tuhan yang terpampang nyata
Bahkan, kamu dijadikan bagian dari alasan terbesar harus bersyukur pada Tuhan
Lebih dari itu, dirimu jadi sebagian dari penyebab masih menancapnya iman di dada
Heni, tiga tahun aku satu sekolah denganmu
Selama itu aku tak kuasa menatapmu
Jangankan mengajak bicara, malah rasanya berat guna menyapamu
Aku hanyalah pria pemuja rahasia yang mengagumi senyummu
Semoga kisah romansa ini berdampak baik bagi kita
Bukan cuma soal urusan materi dunia, tetapi pula teruntuk agama
Lagi pula, kamulah salah satu alasan kenapa aku semangat ingin masuk surga
Biar bisa request bidadari yang mirip denganmu tentunya
Sekretariat Insan Cita, 04 Maret 2007
Kota
Kediri, Juli 2007
Saya
lagi punya misi memperbanyak jumlah anggota kader organisasi. Supaya pengikut
organisasi bertambah meningkat, salah satu langkah yang saya ambil berupa aktif
menjaga stand organisasi yang diletakkan di dalam area kampus.
Di mana, bukan cuma organisasi kami yang memiliki kegiatan semacam itu. Ada
organisasi lain yang turut pula membuka stand yang letaknya
tak jauh dari milik kami.
Di stand tersebut
saya tak cuma duduk manis. Sebaliknya, saya cukup aktif mendekati calon
mahasiswa yang sedang melakukan proses pendaftaran ke bagian administrasi kampus
maupun yang sekadar lihat-lihat dulu kondisi kampus seperti apa, sebelum
memutuskan daftar.
Ada yang datang sendirian, bersama teman, dan terdapat pula
yang didampingi orang tuanya. Saya hadapi semua dengan penuh semangat.
Tujuan
saya mendekati calon mahasiswa tersebut ialah mengajak mereka agar mau ikut
kegiatan Bimbingan Tes (Bimtes) masuk kampus yang diadakan oleh organisasi
kami. Di mana, acara tersebut berlangsung dua hari.
Dengan tanggal
kegiatan tidak berjarak lama dari tibanya jadwal ujian masuk kampus diadakan.
Hal itu, sebagai salah satu wujud balas budi saya pada pihak organisasi
yang telah memfasilitasi tumpangan tidur secara gratis di sekretariat.
Kota
Kediri, Agustus 2007
Saya
heran, apakah saya ini tampan atau bagaimana? Seperti halnya tahun lalu,
beberapa mahasiswi baru di angkatan 2007 sekarang ini yang menjadi calon junior di
organisasi, ada yang begitu berbeda saat menatap saya. Apakah hal tersebut
memang tak lebih dari lantaran ke-GR-an dan ke-PD-an saya
semata? Sejauh ini, saya belum berani mengambil kesimpulan.
Lagian,
kalau saya menganggap diri ini tampan, lantas kenapa sampai sekarang saya tak
pernah yakin sepenuhnya bahwa Heni ada rasa tertarik serta mencintai saya. Saya masih
butuh bukti nyata dari lisan Heni sendiri, bukan dari apa yang disampaikan
Hasan.
Bukan maksud tak percaya apa yang disampaikan oleh Hasan. Melainkan,
kalau langsung Heni sendiri yang menyampaikan tentu beda rasanya.
Coba dia bilang "Nathan, sebenarnya sayaada rasa padamu."
Dengan
maksud menggelitik hati saya sendiri, akhirnya saya putuskan ketika SMS para
kader organisasi, baik kepada cowok maupun cewek, di bagian akhir teks saya
imbuhi "tanda tangan" berupa Jonathan si Tampan. Tujuan lainnya yaitu membangun rasa penasaran di antara para
kader. Serta, agar mereka semangat membicarakan isi SMS saya tersebut.
|
Ilustrasi sedang terkenang trauma masa lalu (Gambar ini telah dimodifikasi dari pixabay.com) |
Sebagai
informasi, tambahan menu "tanda tangan" memang tersedia di HP Nokia
3310 second yang saya punya. Mungkin, tepatnya saya bukan lagi pemilik tangan kedua dari HP tersebut. Namun, barangkali yang ke-4, kelima, atau malah lebih. Di mana, HP itu merupakan pemberian dari kakak kandung dari bekas pakainya.
Kota
Kediri, September 2007
Pada
awal semester di tahun akademik baru seperti sekarang, saya cukup banyak
menulis di buku diary kesayangan. Sebuah buku "agenda" yang merupakan
hasil pemberian gratis dari acara kegiatan organisasi di Hotel pada awal tahun
2006 yang lalu.
Hasil goresanku
di atas kertas berwarna kuning tersebut yaitu:
“Heni,
kenapa kamu sulit hilang dari ingatanku. Padahal aku sudah mencoba untuk melupakanmu
dengan berbagai cara...”
“Bahkan, aku sudah berupaya mendekati Ermi yang sedari pertama
kali masuk dunia kuliah telah aku sukai. Namun, nyatanya kenangan tentangmu
masih begitu menancap di dalam hatiku ini...”
“Kini,
bibit-bibit cintaku padamu justru bertumbuh kembali, semakin mekar harum
semberak. Entah, aku harus bagaimana lagi? Apakah aku mesti terus-menerus terapkan
menjadi pemuja rahasiamu? Salahkah aku mencintaimu tanpa pernah aku ungkapan
sama sekali padamu?"
Kemudian,
saya susul dengan menulis puisi seperti yang tampak di bawah, yang saya tujukan
khusus untuk Heni:
Cinta
Tanpa Kata
Diamku bukan berarti hatiku bisu
Dinginku tak bermakna tanpa butuh
kamu
Cinta ini teramat besar untuk
diseru
Seharusnya kamu tahu hal itu
Aku sebenarnya berhasrat bicara
denganmu
Lantas, sesudah itu tukar pikiran
tanpa berakibat pilu
Apalah daya, saat di dekatmu
bikin lidahku terjerat kelu
Lagi pula, aku tak ingin
mengganggu hidupmu
Kelak kamu akan membaca
puisi-puisiku
Entah kapan, aku yakin bakal
tibalah waktu itu
Yang pasti, mungkin bukan di
selembar kertas lusuh nan layu
Semoga tulisan-tulisanku itu
menjadi pengganti ucapanku
Aku percaya, tanpa sepatah kata
pun, kamu tahu isi hatiku padamu
Tak perlu aku mendekatimu, cukup
lewat goresan penaku
Semoga kamu mau memaklumi
kenaifanku
Kala ini, belum saatnya aku
berjumpa denganmu
Di sekretariat Insan Cita, pada September 2007
Setelah
beberapa hari berlalu, muncullah rasa bersalah saya terhadap Ermi. Khawatir dia menganggap telah
saya perlakukan seenaknya. Di mana, setelah saya mendekatinya, bukan malah diajak
pacaran, justru membiarkan dia begitu saja tanpa kejelasan maupun kepastian.
Mungkin,
ketika Ermi mau menembak saya duluan, pasti saya terima sehingga akhirnya kita
jadian untuk pacaran. Walau akhirnya sangat berpeluang besar putus sebelum
lamaran. Akan tetapi, faktanya sampai sejauh ini kami sebatas berstatus sebagai
teman.
Perlu
ditekankan, saya tak ada maksud mempermainkan Ermi. Lagian, saya sudah
berbulan-bulan melakukan pendekatan dengannya. Malah, kamis sudah sering saling titip salam maupun kirim surat tulisan tangan pada salah satu cewek sekelas dengan saya di semester 1, yang juga dia menjadi teman dekat Ermi.
Dia sangat tahu betul bahwa
ketika saya berada di dekatnya, hati saya berbunga-bunga. Selain itu, kami juga
sering mengobrol di ruang terbuka pinggir jalan maupun dalam kampus. Bahkan, kami saling
memberi hadiah berupa buku bacaan yang diterbitkan oleh penerbit profesional.
Nyatanya,
rasa cinta saya pada Ermi justru semakin meredup. Untungnya, saya belum
menembak dia. Jadi, rasa sakit yang dihasilkan tatkala meninggalkannya sekarang bakal tak separah ketika putus sesudah
pacaran.
Singkat cerita, akhirnya hubungan saya dengan Ermi “berakhir” dengan
sendirinya. Tanpa disertai ucapan perpisahan masing-masing dari kami maupun
ungkapan umbar janji-janji manis dari saya.
Lebih
dari itu, saya tidak ingin melibatkan Ermi ke dalam kekacauan hati saya yang
malah semakin rumit bagai benang kusut. Takutnya, Ermi hanya saya jadikan
pelampiasan atas trauma masa kecil yang telah bangkit kembali dari tidur
nyenyak. Belum lagi, khawatir dia hanya jadi sasaran “balas dendam” saya
lantaran gagal urusan percintaan di masa SMA.
Pertemuan
terakhir kami ialah di waktu dia melantunkan atau bernyanyi lagunya Melly
Goeslawy berjudul “Gantung” yang baru saja rilis di tahun 2006 kemarin. Sebenarnya,
saya tersindir dengan nyanyian dari lisan Ermi tersebut. Itulah yang akhirnya menjadi
pemantik bagi saya untuk memutuskan menjauhi dia secara pelan-pelan.
Sebagai
penutup cerita di bulan September ini, saya dapat tarik kesimpulan bahwa antara
hubungan saya dengan Ermi serta hubungan saya dengan Heni memiliki satu
kemiripan yang dapat dirangkum dalam tiga kata. Ketiga kata tersebut ialah
PUTUS SEBELUM JADIAN.
Bedanya, Saya belum sempat mengobrol satu patah kata pun
dengan Heni. Sedangkan, bersama Ermi telah mengobrol berkali-kali.
Bagi
saya, baik Heni maupun Ermi keduanya merupakan mantan saya. Tidak lain adalah
mantan gebetan. Bukan mantan pacar. Menurut saya, mereka tetaplah
mantan di hati saya. Meski, barangkali orang lain menertawakan “pengakuan”
sepihak saya tersebut, tetapi hati saya bangga punya kenangan bersama mereka.
Bagian Ketiga: Detik-detik Terakhir, Buah setelah 3 Tahun Penantian
Kota
Kediri, Oktober 2007
Cerita
ini dimulai dengan munculnya kegelisahan hati saya. Dinamika berorganisasi di
kampus, yang diperparah oleh urusan kuliah di semester 5 ini yang semakin
berat, telah membikin saya terbebani. Diimbuhi, secara tiba-tiba rasa cinta
pada Heni terus muncul semakin kuat tak terbendung lagi. Kombinasi semua itu
menyebabkan hati gundah.
Sungguh aneh. Tanpa "bisikan" apapun, saya ingin berjumpa lagi dengan Heni. Saya punya firasat, kalau enggak saya temui segera akan berakibat terlambat. Di mana, suara hati saya berkata "Sebelum terlanjur dilamar cowok lain, segera temui Heni!"
Lagi pula, saya sedang dilanda rindu berat padanya. Percayalah, menahan kangen pada seseorang, betapa tak enak. Di sisi lain, mau menemui Heni pun kondisi mental atau jiwa saya masih belum memungkinkan.
Sampai kapan saya mesti menikmati penderitaan rindu ini sendirian?
Diperparah
lagi, pada suasana sunyi di siang hari bolong seperti sekarang, saya sendirian
di sekretariat yang cuma ditemani lagu-lagu super galau. Itu semua, membuat hati
saya tambah tersayat-sayat. Kali ini, secara enggak sengaja saya mendengarkan
lagunya milik Melly Goeslaw dan Anto Hoed berjudul "Tak Tahan Lagi."
Sekertariat
kami memang begitu, saat sepi pun masih ada suara musiknya. Hal itu dilakukan,
salah satu alasannya agar orang yang mau berbuat jahat berpikir dua kali sebelum nekat masuk ke dalam sekretariat. Dengan suara musik berputar akan disangka di
dalamnya ada orang. Padahal, sangat mungkin di dalam lagi tidur siang.
Perlu
diketahui saja, pintu sekretariat ini jarang dikunci. Bahkan, lebih seringnya
terbuka lebar karena banyak anggota organisasi yang hilir mudik keluar masuk.
Dengan tujuan sekadar mampir di jeda perkuliahan. Terdapat juga anggota yang hendak
bermalam selama semalam atau dua malam maupun anggota yang menjadi penghuni
tetap sekretariat.
Begini
lirik lagu yang saya dengar sampai bikin hati ini super gulana:
"Tak
tahan lagi ingin bertemu...
Berjuta
kata ingin ku ucap...
Selama
kau pergi tak ada lagi...
Teman
dalam sepiku...
Bulan
mendekap wajah yang murung...
Serpihan
rindu ingin kusapu...
Sepiku
hilang saat kau hadir...
Menepis
semua gundah"
Mendengar
lagu di atas, membuat saya benar-benar merasa tak tahan lagi, secara spontan
saya curhat pada Furi yang baru saja tiba di sekretariat dalam keadaan
sendirian. Di mana, dia merupakan adik tingkat di kampus dan junior di
organisasi.
Berhubung
usianya terpaut kisaran 3 tahun di atas saya, tentulah meski secara formal dia
berada di bawah saya, ternyata dari segi kematangan dalam berpikir sangat dapat
diandalkan. Sebagai bentuk penghormatan padanya, saya mengawali panggilan
namanya dengan disertai sebutan Pak, yang menunjukkan singkatan dari kata Bapak.
Tanpa
bisa dibendung lagi saya berucap "Pak Furi, saya menyukai anak orang
kaya, rumahnya di sekitaran stasiun Kota Kediri. Orang tuanya pemilik toko ATK
di sana."
Furi penuh antusias merespon "Benaran tidak? Kalau benar ayo kita samperin.
Naik motorku, aku bonceng. Daripada kamu terlihat galau terus."
Maklum
saja, Furi cukup tahu gelagat saya yang begitu aneh ketika berada di dekat
wanita. Lagi pula, beberapa kali saya...
Mohon maaf, cerita harus terpotong sampai di sini disebabkan kebijakan server situs Blogger.com (yang menjadi platflorm penyangga Banjirembun.com) yang tak memungkinkan mengetik tulisan lebih dari tujuh ribu kata secara lancar dan memadai. Agar lebih memudahkan dalam proses pengetikan cerita, akhirnya terpaksa harus dipisah-pisah ke dalam beberapa bagian.
Guna membaca kisah selanjutnya silakan baca di sini dengan cara menekan tautan berikut: https://www.banjirembun.com/2025/02/isi-novel-di-tanah-perantauan-bagian-ke_71.html. Bisa pula, copy-paste alamat link tersebut ke dalam kotak browser atau peramban anda.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Isi Novel Berjudul "Di Tanah Perantauan""
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*