Banjirembun.com - Lawan jenis yang paling dicintai dan menjadi cinta pertama di zaman sekolah SMA, bagi sejumlah orang, tentu termasuk saya, merupakan bagian kenangan terindah dalam hidup. Apalagi, rasa cinta itu terus menumbuh dari awal masuk sekolah hingga datangnya lulus.
Sayangnya, dalam kasus saya, kisah cinta pertama tak berjalan mulus. Walau kami "mungkin" saling mencintai, nyatanya selama hidup yang telah dilalui, saya dengannya tak pernah mengobrol sama sekali. Berbasa-basi pun, seingat saya tak pernah. Di mana, saat itu rasa cinta saya simpan di dada sendirian.
Guna mengetahui kisah cinta remaja yang belum menemukan jati diri seperti saya di atas, silakan membaca novel berjudul "Di Tanah Perantauan." Cukup dibaca pada bagian pertama dan kedua. Di sana, bakal didapati kenyataan hilangnya kesempatan sebelum mengutarakan rasa.
Lebih rinci, saya kehilangannya tanpa sempat berucap satu kata perpisahan pun. Bagi saya, hal tersebut merupakan salah satu tragedi kehidupan. Singkat kalimat, saya menyesal dan menjadi penasaran dengannya. Apakah benar ia mencintai saya? Itulah pertanyaan yang belum terjawab.
Penyesalan itu, bukan maksud saya mengingkari maupun menolak takdir Tuhan. Akan tetapi, sebuah penyesalan sebagai bentuk introspeksi diri. Agar di kemudian hari saya enggak mengulangi lagi kasus seperti itu. Menyia-nyiakan kesempatan yang besar lantaran sifat naif saya.
Sedangkan, rasa penasaran saya sampai sekarang, bukan maksud untuk mengajak dia melakukan hubungan pertemanan. Saya dan ia tak perlu lagi berhubungan dalam bentuk apapun. Melainkan, penasaran demi memastikan bahwa firasat saya tentangnya dulu tak salah.
Belajar Melupakan, Meninggalkan, dan Menerima Kehilangan Orang yang Dicintai
Makin saya memaksakan diri melupakan dan mengabaikan gejolak hati saat mengingatnya, justru tambah bikin trauma. Walau tak pernah menangisinya, setidaknya saya punya ingatan kuat yang sulit hilang. Akhirnya, rasa kecewa dan bingung campur aduk jadi satu.
Puluhan tahun sesudah lulus sekolah, saya tak pernah menceritakan terkait rasa suka saya terhadapnya pada siapapun. Barulah, pada akhir 2022, secara samar dan tersirat saya tunjukkan fakta tersebut di grup whatsapp alumni SMA seangkatan. Itupun, masih banyak yang tak menyangka.
 |
Ilustrasi kehilangan jantung pujaan (sumber foto pixabay.com) |
Selanjutnya, saya menyadari bahwa kehilangan dalam hal apa saja adalah sebuah kepastian dan tak dapat dihindarkan dalam sebuah kehidupan. Tinggal menunggu giliran saja, kapan terjadi dan bagaimana cara kehilangannya. Itulah salah satu alasan yang membuat saya kadang menerima rasa kehilangan.
Berikutnya, masa lalu sudah berlalu. Tak dapat diulang lagi. Tentulah, merubah pun suatu kemustahilan. Dengan menerima kehendak-Nya yang menyakitkan tersebut, semestinya itu bisa menjadi sumber pahala sabar bagi saya.
Kini, saya akan memulai hidup baru. Ingin fokus merajut langkah kehidupan berikutnya. Biarlah kisah saya bersamanya itu menjadi kenangan indah yang harus saya syukuri. Sebab, barangkali tak ada satupun insan di dunia yang menyamai indahnya cerita hidup saya.
Lebih menakjubkan lagi, dari pengalaman pribadi tersebut, saya menemukan makna hidup. Selain itu, sesudah membuka diri dan jujur pada diri sendiri tentang perasaan cinta saya padanya, ada banyak hal menakjubkan yang saya alami. Salah satunya, saya mengalami perbaikan dan pengembangan diri.
Darinya, saya belajar bagaimana cara menjadi manusia yang kuat menerima kenyataan menyakitkan. Tentulah, saya juga sudah tahu cara berusaha menjadi manusia bahagia di tengah terpaan berbagai trauma yang saya derita sampai sekarang.
Baca juga: 10 Macam Kehilangan yang Menyebabkan Gangguan Kesehatan Mental
Target ke depan, sudah saya tetapkan. Saya melangkah dan melaju lesat bukan untuk menghindarinya. Tidak pula demi melupakannya yang sebelumnya sudah saya terapkan. Walau akhirnya gagal total. Namun, saya menggapai cita tak lain demi menjalani hidup yang semestinya.
Saya ingin menjadi manusia di masa sekarang untuk menyiapkan kehidupan pada masa mendatang. Bukan insan yang terjebak dan meratapi kelamnya masa dahulu. Biarlah itu menjadi ingatan yang terpendam. Tak perlu disesali ataupun diungkit-ungkit lagi secara dramatis.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Terima kasih.
(*)
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Curhat Pribadi, Belajar Menerima Kehilangan Orang Tercinta"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*