Kota Malang - Heran saja melihat kelakuan "si paling anti menganggur" dan "si paling anti dikasih jatah modal dan dibantu orang tua." Begitu pula bangga mengatakan "Harga diri seorang lelaki adalah bekerja!" Nyatanya, dalam melakukan aktivitas kerja dilakukan asal-asalan dan penuh rasa malas. Lantas, di mana letak harga dirinya kalau bekerja saja tak mau serius dan totalitas? Nahasnya, kerja tak lebih dari sekedar untuk pencitraan diri. Mau duitnya, tetapi ogah kerja bersungguh-sungguh.
Lebih parah lagi, ada yang menampik jasa-jasa alias peran orang tua dalam pekerjaan yang tengah digeluti. Seolah apa yang dilakukan 100% merupakan jerih payah dan hasil pemikirannya sendiri. Padahal, orang tua turut andil dalam membantu kesuksesan usaha yang sedang dirintis tersebut. Minimal membantu cari koneksi untuk kelancaran urusan anaknya. Bahkan, hidupnya saja masih numpang di rumah orang tua. Baru kasih uang orang tua untuk makan sehari-hari saja sudah bangga.
Baca juga: Durhaka pada Orang Tua dan Mertua Gara-gara Menampik Jasa Mereka
Lalu, kok berani-beraninya percaya diri berkata "Kami perintis bukan pewaris". Tatkala memang seorang perintis sejati, sejak awal semestinya sudah minggat pergi jauh dari kediaman orang tua. Dengan begitu, orang tua enggak bakal turut andil dalam urusan mencari duit yang tengah digeluti. Kecuali, berperan berupa mengasih motivasi dan sedikit arahan yang itu pun hanya melalui komunikasi jarak jauh di HP. Itulah baru pantas disebut seorang perantau yang benar-benar merintis dari bawah.
Jika sebetulnya ada rasa iri, dengki, atau hasad kepada orang lain yang hidupnya enak karena mendapat keistimewaan dilahirkan dari orang tua kaya raya serta peduli penuh pada anaknya maka seharusnya tak perlu menjatuhkan harga diri orang lain yang bernasib mujur tersebut dengan cara mengejek atau mencela. Lagi pula, mereka juga mengalami kesulitan dan kepedihan dalam mempertahankan kekayaan dari peninggalan orang tua. Jangankan menambah harta orang tua, mempertahankan saja sudah sebuah prestasi.
Tak boleh ketinggalan, dilarang menghibur diri agar bisa menutupi nasib merana lantaran mendapati pribadi yang berasal dari keluarga miskin dengan langkah mengunggulkan dan mengangkat diri sendiri setinggi-tingginya yang nyatanya itu justru mempermalukannya sendiri. Intinya, kalau memang ingin hidup bahagia patut disarankan untuk fokus pada proses yang tengah dijalankan. Tak perlu berisik maupun berkoar-koar sembari membusungkan dada. Milikilah prinsip "Boleh saja lahir dan tumbuh di lingkungan miskin, tetapi saat dewasa serta meninggal harus dalam keadaan kaya."
|
Ilustrasi orang yang sedang cari perhatian agar mendapat pengakuan (sumber pixabay.com) |
Banyak orang yang hidupnya lebih perih, susah, dan getir ketika merintis. Akan tetapi, mereka enggak menunjukkan bagaimana perjuangan dan pengorbanan yang dulu dilakukan. Mereka pilih diam dan menyimpannya sendiri. Anak-anaknya, kerabat, dan orang lain juga tak diberi tahu. Sebab, hal seperti itu bagi mereka justru suatu kenikmatan tersendiri yang memunculkan kenangan indah yang bikin terkesan. Di mana, hal-hal yang semacam itu tak perlu diumbar serta disebarkan ke sembarang orang sebelum usia senja tiba.
Hiduplah layaknya seorang pria sejati yang tidak banyak omong, yang tak perlu butuh pengakuan dari orang lain atas upaya yang dilakukan, dan yang punya bukti berupa hasil nyata atas apa yang dipamerkan ke publik. Coba renungkan, hasil pekerjaan yang telah dilaksanakan berwujud apa saja? Jangan-jangan habis untuk makan di warung, membeli rokok, konsumsi minuman keras, pemborosan untuk memenuhi ego pribadi, atau yang lainnya? Setidaknya, tunjukkan sebidang tanah yang baru saja dibeli dari hasil kerja keras itu!
Tulisan milik *Banjir Embun* lainnya:
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Kaum Perintis dan Pekerja Keras Bukan Cuma Kamu, Namun Mereka Tidak Berisik dan Tanpa Perlu Koar-koar"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*