Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Katanya "Harga Diri Lelaki adalah Bekerja," tetapi Kerjanya Asal-asalan dan Penuh Malas, Lantas di Mana Letak Kehormatan dan Kebanggaannya?

 Banjirembun.com - Seorang lelaki sejati tak perlu pamer terhadap apa yang sedang dilakukan. Bertindaklah penuh sunyi agar saat gagal tak ada yang menertawai. Andai memang terpaksa ingin menunjukkan "sesuatu" yang dianggap penting, sebaiknya pamerkan terkait hasil dari apa-apa yang pantas diunggulkan. Bukan malah membanggakan proses yang sedang diperjuangkan. Mana bukti nyata dari capaian kerja keras itu? Berwujud sebidang tanah, rumah, atau emas batangan yang sudah dimiliki?

Buat apa bekerja keras banting tulang berlembur-lembur kalau nyatanya uangnya seolah menguap begitu saja. Parahnya lagi, ada kepala keluarga yang mengkambinghitamkan anak serta istrinya dengan ucapan "Aku rela bekerja seperti ini demi membahagiakan anak dan istri." Nyatanya, uang hasil kerja sebagian besar dipakai untuk keinginan pribadi. Di antaranya meliputi untuk beli rokok, konsumsi minuman keras, judi online, meladeni hobi mahal, dan semacamnya. Barulah sedikit sisa dibagikan pada keluarga.

Baca juga: Kaum Perintis dan Pekerja Keras Bukan Cuma Kamu, Namun Mereka Tidak Berisik dan Tanpa Perlu Koar-koar

Ketika berbicara masalah bekerja, hampir semua laki-laki dewasa dipastikan pernah merasakan cari duit sendiri atau hidup mandiri. Bahkan, anaknya orang kaya pun tak menuntut kemungkinan merasakan hal sama. Bedanya, barangkali anak orang kaya memiliki jaminan harta melimpah dari bapak dan ibunya sehingga hatinya tetap "tenang" serta tak bakal ragu untuk mengulang lagi untuk merintis dalam upaya belajar cari uang secara benar. Walau itu mesti jatuh berkali-kali.

Beda cerita tatkala anaknya orang miskin yang sedang merintis. Mereka mengalami tekanan batin dari segala penjuru lini kehidupan sosial. Bukan sekadar disebabkan lantaran mental babu atau jongos yang sudah terbenam lama di alam pikir, tetapi pula mereka hanya punya kesempatan sedikit dan ruang gerak sempit. Bahkan, peluang yang dapat dipakai cuma satu kali uji coba. Di mana, sekali gagal dapat menghentikan dan merusak jalan mulus melangkah ke masa depan.

Bekerja Bukan Sekadar tentang Profesi atau supaya Punya Status Bukan sebagai Pengangguran

Banyak pekerja yang memakan gaji buta. Walau enggak 100% makan gaji panas, nyatanya kalau dikalkulasikan pekerjaan yang telah dilakukan selama sebulan pantasnya tak lebih dari sebesar 45% dari bayaran yang diterima masuk ke kantong. Kenyataan itu bukan hanya terjadi pada pegawai atau karyawan resmi di kantor pemerintahan maupun swasta. Para pekerja yang dominan memakai otot dibanding otak di lapangan seperti cleaning service, kuli bangunan, dan lain-lain tak menutup kemungkinan sama saja.

Anehnya, meski kerjanya asal-asalan dan semaunya sendiri, tatkala memakai seragam necis akan tetap disebut sebagai pekerja. Enggak peduli saat di tempat kerja cuma banyak ngobrol sesama pekerja sambil bercanda tertawa bersama, duduk manis sembari memelototi layar HP, makan cemilan, atau tidur pulas akibat begadang cari hiburan semalam. Jika memang hal itu yang terjadi maka di mana letak kehormatan atau martabat diri? Elokkah hal seperti itu untuk dibanggakan?

Ilustrasi laki-laki yang sedang bekerja keras (sumber pixabay.com)


Sedangkan, di sisi lain ada orang yang kelihatannya tak punya pekerjaan karena mencari penghasilan dengan cara memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi justru dibilang orang pemalas. Mirisnya, ketika individu tersebut tiba-tiba mampu membeli sesuatu bernilai fantastis langsung dituduh melakukan tindakan pesugihan atau memelihara tuyul. Lucunya, aktivitas mencari uang seperti itu tidak dibilang sebagai jenis pekerjaan tertentu alias tetap dikatakan berstatus pengangguran.

Baca juga: Orang Tua Ber-SDM Rendah Justru Bangga Diri dan Merasa Berhasil Mendidik Tatkala Anak Laki-lakinya Berani Merokok

Pesan moralnya ialah janganlah menjadi insan yang berkategori SDM rendah. Dengan salah satu cirinya berupa bangga diri dengan apa yang dipunyai ataupun apa yang sedang dilakukan, tetapi ternyata hal yang terlanjur dijunjung tinggi itu sebenarnya tak layak untuk disanjung. Bagaimana pantas dipuji kalau cara-cara yang dilakukan menggunakan jalan pintas melanggar hukum serta menghalalkan hal yang haram sehingga langsung maupun tak langsung bakal menzalimi pihak lain. Sebaliknya, seorang yang ber-SDM tinggi bakal merasa bangga saat sudah menemukan jati diri yang sesungguhnya.

Lebih detail, salah satu bukti seseorang telah menemukan jati diri yaitu mengetahui bagaimana cara mempertahankan harga diri secara benar. Bukan malah "menjual diri" (contoh kecilnya seperti menjilat dan cari muka) demi mendapatkan jabatan agar menerima uang atau gaji besar. Lebih miris lagi, tega menjatuhkan teman sendiri secara curang demi memuluskan misi pribadi. Nah, cara-cara kotor seperti itu apakah layak disebut sebagai perbuatan dari orang yang punya harga diri? Tentulah sebagai manusia terhormat hal itu tak patut diterapkan.





Baca tulisan menarik lainnya:

Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Katanya "Harga Diri Lelaki adalah Bekerja," tetapi Kerjanya Asal-asalan dan Penuh Malas, Lantas di Mana Letak Kehormatan dan Kebanggaannya?"

Posting Komentar

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*