Banjir Embun - Hukum permintaan menyatakan bahwa permintaan terhadap produk atau sumber daya bakal meningkat ketika harganya turun serta sebaliknya permintaan akan menurun saat harga naik. Maksudnya, semakin rendah harga suatu barang berakibat bertambah banyak barang yang diminta. Sebaliknya, jika semakin tinggi harga barang maka menyebabkan jumlah barang yang diminta menjadi menurun.
Adapun, hukum penawaran mengungkapkan bahwa harga yang lebih rendah dari produk atau sumber daya akan mengurangi tingkat penawaran serta sebaliknya harga produk atau sumber daya yang tinggi bakal meningkatkan tingkat penawaran yang lebih banyak jumlahnya. Artinya, harga yang melonjak tinggi pada suatu barang atau jasa jadi pendorong produsen guna memasok lebih banyak barang atau jasa.
Baca juga: Bukan tentang Harga, tetapi Terkait Kenyamanan dan Keamanan
Hukum permintaan dilihat dari sudut pandang konsumen. Sedangkan, hukum penawaran ditinjau dari cara pandang produsen. Konsumen bakal antusias membeli ketika harga barang atau jasa terjangkau dan murah. Di sisi lain, produsen akan menyetok barang dalam jumlah besar tatkala terjadi lonjakan harga. Sebab, dengan itu daya tawar produsen bertambah jauh lebih tinggi. Bahkan, produsen dapat menimbun barang sehingga terjadi monopoli perdagangan.
Hukum permintaan dan hukum penawaran di atas juga berlaku dalam dunia properti. Tak terkecuali dalam bidang jual beli tanah dan rumah. Dengan catatan, memang harus diakui bahwa hukum ekonomi di atas tidak bersifat mutlak. Melainkan potensi terwujudnya cenderung mudah terjadi. Terutama di kala kondisi masyarakat secara umum enggak mengalami perubahan drastis dalam beberapa bidang kehidupan.
Sebenarnya Permintaan Tanah dan Rumah sangat Tinggi, tetapi Berhubung Harganya Tak Terjangkau Berakibat Banyak Kalangan yang Rela Mencari Pengganti
Pasangan yang baru menikah dan para lajang usia produktif biasanya ingin hidup mandiri lepas dari orang tua maupun mertua. Namun, berhubung kondisi finansial tak memungkinkan untuk punya rumah sendiri atau beli tanah dengan maksud kelak bakal dibangun rumah membuat mereka memilih untuk mengekos, mengontrak rumah, menumpang hidup, dan sewa apartemen lebih dahulu.
Bahkan, sebagian mereka memutuskan pikir-pikir untuk beli rumah subsidi pemerintah yang harganya kisaran 168-an juta. Selain karena biasanya lokasi perumahan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) jauh dari tempat kerja, ada yang memiliki gengsi tinggi sehingga malu untuk mempunyai rumah di perumahan subsidi. Tentunya, ada pula yang walau harga rumah subsidi tergolong murah nyatanya belum mampu membelinya.
|
Ilustrasi transaksi jual beli rumah (sumber pixabay.com) |
Apalagi, sebagaimana telah diketahui bahwa dalam waktu sampai tahun 2060-an nanti jumlah kebutuhan rumah dan tanah amat tinggi. Hal itu, selain karena adanya bonus demografi berupa besarnya generasi muda yang lahir pada tahun 1997 ke atas disebabkan pula oleh ketersediaan rumah untuk generasi yang lahir sebelum tahun 1997 sejauh ini tidak bisa dibilang sudah genap 100%. Malahan, sekarang ini backlog dalam dunia properti terbilang cukup tinggi.
Backlog dalam properti adalah keadaan yang tak sebanding antara jumlah rumah siap jual dengan jumlah rumah yang dibutuhkan oleh masyarakat. Rumah siap jual tentunya ditandai dengan sudah terbangun utuh lebih dari 95% dan telah layak huni. Di mana, pada umumnya angka backlog menunjukkan persentase tentang ketersediaan rumah siap jual yang jumlahnya lebih rendah daripada permintaan masyarakat untuk memiliki rumah jauh lebih tinggi.
Saat didalami, sebenarnya masih banyak masyarakat yang menempati rumah yang tak pantas huni. Bukan cuma lantaran kualitas hunian yang rawan roboh, bangunan non permanen, ataupun sanitasi yang buruk. Melainkan pula terdapat rumah yang berukuran kecil, tetapi ditinggali oleh banyak orang yang para penghuninya melebihi batas kewajaran. Intinya, rumah tersebut sungguh tak manusiawi untuk ditempati.
Baca juga: Macam-macam Tipe Pelanggan atau Konsumen di Segala Bidang Bisnis
Lebih lanjut, sesuai dengan hukum ekonomi di atas pada waktu permintaan atau kebutuhan tanah dan rumah bertambah banyak berakibat semakin tinggi pula daya tawar penjual tanah maupun rumah guna "memainkan" harga. Banyak pemilik rumah dan tanah yang sudah memperhitungkan untuk menahan diri agar tidak menjual murah properti yang dimiliki. Lagian, tanah atau rumah tersebut bisa untuk disewakan maupun digunakan untuk kebutuhan pribadi.
Sebagai penutup, mayoritas pemilik tanah dan rumah di waktu mau menjual propertinya nanti tetap memasang harga tinggi meski permintaan untuk "menawar harga" tak sebanyak yang diharapkan. Bagaimana mau ada yang menawar dengan harga cocok kalau nominal uang yang dipasang pada iklan, promosi, atau kabar yang tersebar lewat mulut ke mulut tak sanggup dibayar oleh para calon pembeli yang sebenarnya sangat membutuhkan rumah serta tanah?
Tulisan milik *Banjir Embun* lainnya:
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Alasan Banyak Kalangan Tak Mampu Beli Tanah dan Rumah, tetapi Harga Keduanya Tetap Terus Bertambah Mahal"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*