Kota Malang - Masa muda mengalami posisi sebagai pihak yang diplokoto, dikuyo-kuyo, atau kelunto-kelunto merupakan "kewajiban" yang harus diterima oleh banyak kalangan sebelum beranjak dewasa. Hal tersebut bertujuan selain demi mendapat pengalaman pahit alias getir hidup yang salah satu tujuannya meraih kesuksesan dunia, juga agar menumbuhkan rasa simpati dan empati dalam diri.
Kendati demikian, cara pandang serta pola pikir harus ditegakkan terlebih dulu. Jangan sampai "terbawa suasana" sehingga terlalu asik terus-terusan menggeluti peran sebagai babu, jongos, kacung, atau pesuruh. Setidaknya, minimal selama 6 bulan sampai 2 tahunan sudah cukup untuk mendapatkan keuntungan sebagai buruh. Yakni, memperoleh tabungan uang serta merasakan sendiri bahwa dunia kerja sungguh tak mudah.
Baca juga: Arti Istilah Bahasa Jawa Dikuyo-kuyo, Diplekoto, dan Dilunto-lunto
Tak perlu iri pada juragan pemilik usaha yang hidupnya bergelimang harta. Begitu pula, enggak boleh dengki terhadap nasib enak para pelanggan. Bagaimanapun situasinya, para konsumen mesti dilayani dengan baik. Harus profesional. Bayangkan saja, jika suatu saat nasib mujur menghampiri lantas bisa punya usaha sendiri maka apakah rela tatkala memiliki karyawan yang enggak totalitas dalam melayani pembeli?
Kalau memang nyatanya malu berstatus sebagai pekerja "rendahan," sebaiknya lakukan itu di daerah yang jauh dari domisili asal. Tinggalkan tempat kelahiran maupun lokasi tumbuh besar. Merantaulah ke luar kota. Jadilah apapun di sana. Terpenting halal dan bisa memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Sebisa mungkin sekaligus mampu menyisihkan sedikit duit untuk tabungan.
|
Ilustrasi seorang buruh berusia muda (sumber Pixabay.com) |
Abaikan serta redam dulu urusan percintaan maupun hubungan pertemanan di masa lalu. Fokuslah pada tujuan awal yaitu mendapatkan pengalaman bekerja, bisa menabung, dan dapat menjauh dulu dari zona nyaman di kota kelahiran. Artinya, pastikan segala potensi dalam diri (waktu, pikiran, tenaga, dan lain-lain) dicurahkan guna bekerja secara sungguh-sungguh. Pasti tanpa ragu, cepat atau lambat akan ada jalan keluar!
Juragan, para pelanggan, ataupun orang yang melihat bakal merasa iba atau simpati lalu mendoakan supaya nasib pekerja keras itu bisa berubah. Bahkan, barangkali mereka akan memberikan "jalan keluar" nyata berupa diberikan "jalur khusus" untuk membuka lembaran hidup baru. Walau "hadiah" tersebut statusnya sama masih sebagai pekerja, setidaknya posisi dan tugas-tugas tidak seberat sebelumnya.
Bolehlah sekarang ini levelnya masih sebagai pekerja "berat." Namun, jangan sampai punya mental jongos, babu, atau kacung. Sebab, karakter seperti itu sangat buruk untuk dimiliki. Kalau tidak segera sadar diri berakibat para pelaku selamanya akan tidak bisa berkembang. Tetap saja begitu-begitu menjadi pesuruh "rendahan." Kendati terdapat perubahan, hal itu sangatlah pelan dan tak terlalu mencolok.
Baca juga: 5 Akibat Punya Karyawan yang Bergaya Hidup "Tak Tahu Diri"
Ketika peka, pasti dapat mudah membedakan mana karyawan yang bermental babu atau jongos dengan pegawai yang benar-benar loyal serta totalitas pada tempat kerja. Hal itu bakal sangat mudah terlihat ketika mereka melayani para konsumen tempat mereka menjaga. Di mana, saat ada pelanggan yang terlihat "aneh" enggak akan bikin mereka begitu tampak jijik maupun jengkel karena sanggup menyembunyikannya.
Sebagai penutup, ingatlah selalu hukum "tabur tuai" serta kaidah "Barangsiapa yang menanam pasti akan memanen." Maksudnya, apa-apa yang dilakukan sekarang ini pasti akan mendapatkan balasan. Bila sekarang jadi bekerja asal-asalan dan penuh hitung-hitungan maka pasti di kala kelak jadi bos pemilik usaha berpeluang besar memperoleh pekerja yang sifatnya sama seperti itu.
Tulisan milik *Banjir Embun* lainnya:
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Tak Apa-apa Sekarang Jadi Babu, Jongos, Kacung, atau Pesuruh Terpenting Enggak Selamanya Begitu"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*