Kota Malang - Orang yang tak tahu diri sungguhlah amat menyebalkan. Perilakunya lebih banyak menuntut tanpa melihat kondisi realita yang jadi penyebabnya, merasa paling berhak memperoleh imbalan besar, dan menganggap orang lain mau menuruti kemauannya merupakan ciri orang yang anti "mengaca diri di depan cermin." Salah satunya berupa meminta gaji besar, tetapi tiada punya niat kerja secara serius.
Kalau memang statusnya sebagai pekerja, semestinya berkerjalah dengan sungguh-sungguh. Untuk sementara waktu enggak apa-apa gaji belum seberapa. Namanya juga masih baru memulai karir serta cari pengalaman. Terpenting pekerjaan tersebut tidak sampai menimbulkan risiko kecacatan dan kematian. Apalagi, bagi para pekerja yang masih lajang tentulah amat leluasa dalam menata diri.
Baca juga: Gaji Kecil Pekerjaan Berat, Bukannya Berjuang Keras Malah Mengurusi Hidup Orang Lain dalam Arti Negatif
Tubuh terasa capek, waktu banyak terpakai untuk urusan kerja, dan dinamika permasalahan dalam dunia kerja janganlah dijadikan alasan sebagai cara menuntut upah tinggi. Sebaiknya tak boleh buru-buru dulu. Sebab, kalau sudah terlanjur mengundurkan diri dari pekerjaan belum tentu mendapatkan ganti yang lebih menjanjikan. Alih-alih memperoleh kemapanan, justru menghadapi ketidakpastian.
Kalau merasa mental atau jiwanya tertekan, sebaiknya hindari untuk langsung terbawa suasana. Pelajari dan nikmati dahulu beban-beban di hati yang menghantam akibat menjalani maupun mempertahankan pekerjaan. Dilarang pula, sedikit-sedikit langsung minta kompensasi berupa jalan-jalan jauh ke luar kota atau menginginkan hiburan berbayar mahal untuk melampiaskan kepenatan.
Etos Kerja Setengah Hati Bukan Sekadar Merugikan Juragan, Tetapi Turut Pula Menyusahkan Diri dalam Jangka Panjang
Tidak punya kecerdasan, kemampuan, atau keterampilan mumpuni yang dapat diunggulkan serta ditawarkan ternyata diperparah lagi dengan punya karakter buruk serta etos kerja asal-asalan sungguh suatu kehinaan diri. Alhasil, mau dibimbing dan dilatih pun sangat sulit berkembang. Kalau sudah begitu apakah punya buruh, pekerja, atau karyawan seperti itu menguntungkan? Yang ada malah membebani finansial sekaligus bikin jengkel saja.
|
Ilustrasi gaji pekerja kasar selama 6 hari atau satu pekan (Sumber Pixabay.com) |
Masih mending kalau pegawai di atas memiliki sifat penurut, jujur (dapat dipercaya), tidak banyak omong, dan mudah menyesuaikan diri. Walau mungkin dalam jangka pendek mengalami rugi, akibat seolah-oleh punya pegawai memakan gaji buta, tetapi nyatanya enggak bikin suasana hati jadi buruk. Bahkan, dalam jangka panjang pegawai tersebut dapat dijadikan orang kepercayaan sehingga bisa dilepaskan secara autopilot.
Baca juga: Jangan Remehkan Gaji Kurir atau Tukang Paket Ekspedisi
Berbanding terbalik dengan pekerja yang perhitungan (transaksional) sehingga dalam bekerja tak totalitas serta tidak peduli pada bagaimana nasib keberlanjutan ke depan tempat ia bekerja. Dalam artian, ia tiada rasa memiliki (terlebih lagi mencintai) sehingga tiada antusias untuk sepenuhnya "menjaga" nama baik lokasi pekerjaan di mana ia mengais uang. Parahnya, ada jongos atau babu yang iri (dengki) pada kesuksesan atasan maupun juragan yang telah menggajinya.
Kalau tidak segera membenahi diri, dalam jangka panjang, buruh seperti itu bakal terbuang alias banyak orang yang ogah memperkerjakannya. Mencari duit bakal sulit. Hanya kalangan yang belum tahu seperti apa etos kerjanya yang akan mau menerima pekerja seperti itu. Selebihnya, amat banyak yang menghindari. Bahkan, dijadikan cadangan atau alternatif untuk pengganti pun tidak dilakukan.
Tulisan milik *Banjir Embun* lainnya:
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Minta Gaji Tinggi, Ternyata Etos Kerja Setengah Hati"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*