Kota Malang - Orang tak tahu diri memang sulit dinasihati. Merasa diri paling benar, paling tersakiti (berlagak jadi korban), paling pintar, dan si paling berpengalaman dalam mengarungi kehidupan. Diperparah lagi tatkala dia punya sifat iri alias dengki, merasa terpuruk atau sedang meratapi kegagalan nasib, serta terhasut oleh omongan fitnah yang baru saja didengar. Alhasil, semakin bikin dia banyak omong.
Termasuk pula potensi tidak sadar diri di atas dapat saja terjadi pada pegawai, karyawan, pekerja, atau buruh yang sedang bekerja ikut perintah atasan maupun juragan. Di mana, pekerja yang tak tahu diri tersebut sejatinya pantas disebut jongos atau babu. Salah satu tandanya kerap memvonis atau menghakimi pemilik tempat kerja maupun konsumen, tetapi ogah introspeksi diri lebih dahulu.
Baca juga: 5 Akibat Punya Karyawan yang Bergaya Hidup "Tak Tahu Diri"
Sedangkan, pihak yang bekerja secara profesional dan mengabdi totalitas terhadap majikan tidak boleh disebut semacam itu. Termasuk dilarang keras dijuluki sebagai kacung. Sebab, mereka bukanlah pecundang yang hanya berani tampil keroyokan dengan cara menghasut atau memprovokasi sesama pekerja maupun bermain licik menusuk dari belakang.
Sebagai contoh, ada jongos yang gondok lantas mengata-ngatai majikan berlisan rewel dan pelanggan tempat dia bekerja telah cerewet. Akan tetapi, ternyata dirinya jauh lebih bawel. Di mana, di grup media sosial maupun di dunia nyata mereka bergerombol untuk membicarakan "dari belakang" tentang sikap juragan maupun konsumen yang enggak sesuai dengan kemauan mereka.
Jongos memang jago menuntut, mengoreksi, dan menilai majikan maupun pelanggan tempat ia bekerja. Namun, saat si kacung itu balik dikoreksi serta diberi nasihat malah bertindak menyepelekan. Intinya, dia hanya mau menang dan enak sendiri. Tanpa peduli bagaimana perasaan orang lain. Itulah salah satu ciri dari kaum ber-SDM rendah.
Berposisi sebagai pekerja mestinya sadar diri. Makan dan cari duit dari juragan serta kadang dapat uang "sedekah" dari konsumen. Kalau nyatanya ada konsumen ataupun bos yang bersikap tak mengenakkan di hati wajib untuk diterima lalu menahan diri. Hal tersebut sudah menjadi risiko dalam bekerja. Sungguh naif, mau enaknya saja tanpa mau menerima hal-hal yang buruk.
Ilustrasi seorang pekerja (Sumber Pixabay.com) |
Pekerja itu dibayar oleh majikan untuk menghasilkan duit sebanyak-banyaknya. Buat apa memperkerjakan orang tatkala ternyata kerjanya penuh hitung-hitungan. Seandainya merasa dijadikan sapi perah, kenapa tidak mengundurkan diri saja? Bagaimanapun, ikut kerja dengan orang lain harus tunduk terhadap aturan dan menghormati konsumen yang jadi langganan tempat kerjanya. Bukankah dibayar memang untuk melayani pelanggan?
Baca juga: Tiga Kelakuan Kurir Paket Seperti ini Bikin Para Bunda Resah Tidak Sih?
Jongos akan tetap bakal berstatus kacung di kala perilakunya tidak berubah. Lebih pilih banyak omong, bergosip, menghibah, memfitnah, bermulut ember, atau semacamnya. Pekerja seperti itu hanya gemar mengeluh, gampang protes, mudah ngelunjak, dan merugikan kalau terus-terusan dipekerjakan. Lebih baik cari orang lain yang mau serius atau bersungguh-sungguh diajak cari uang untuk keuntungan kedua belah pihak.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Jongos Tidak Sadar Diri, Mengatakan Majikan Rewel dan Konsumen Tempat Kerja Cerewet Ternyata Dirinya Jauh Lebih Bawel"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*