Kota Malang - Para pekerja yang lebih "nyaman" untuk nongkrong (cangkruk) sembari menikmati cemilan, merokok bersama, dan berbarengan minum kopi ketimbang bekerja secara sungguh-sungguh serta totalitas biasanya merupakan tipe karyawan yang pantas disebut bermental babu alias berkarakter jongos.
Di mana, maksud babu maupun jongos di sini bukan hendak merendahkan martabat seorang yang bekerja sebagai jongos dan babu. Melainkan, bermaksud untuk mengejek pekerja yang cara kerjanya layaknya babu atau jongos, tetapi mengharapkan penghasilan lebih besar dari jenis pekerjaan tersebut.
Baca juga: Jongos Tidak Sadar Diri, Mengatakan Majikan Rewel dan Konsumen Tempat Kerja Cerewet Ternyata Dirinya Jauh Lebih Bawel
Parahnya, sambil kumpul-kumpul seperti di atas mereka juga melakukan ghibah maupun fitnah. Sasaran yang dijadikan bahan omongan di belakang punggung itu meliputi teman kerja, konsumen alias pelanggan, atasan, hingga majikan yang menggaji. Sungguh pantaslah ketika mereka dijuluki sebagai kacung yang tak sadar posisi dan enggak tahu diri.
Lebih lanjut, saat menemukan teman kerja yang memiliki etos kerja sempurna sehingga bekerja serius dan profesional, justru menjadi target pembicaraan mereka. Dicari-cari kelemahan, aib, atau dosa-dosa pekerja yang sangat berdedikasi tersebut. Lantas, bakal dihabisi karirnya agar tak mengganggu kenyamanan mereka.
|
Ilustrasi pekerja keras yang totalitas (sumber pixabay.com) |
Mereka tidak segan menyebut atau memberi julukan terhadap pegawai yang rajin seperti di atas sebagai jongos, babu, atau kacung. Naifnya, mereka merasa lebih pintar serta lebih berhak mengatur-ngatur daripada majikan yang telah memperkerjakan. Mungkin saja, akibat dari maksud hati ingin berstatus jadi juragan, tetapi apalah daya otak tak mampu menggapai.
Salah satu dari mereka bilang "Mau saja diperbudak oleh juragan, di mana pekerja yang banting tulang, nyatanya juragan yang menerima untung besar. Lebih baik bekerja biasa-biasa saja tanpa perlu menunjukkan kebodohan diri yang mau saja diakali atau diperalat oleh juragan." Padahal, sebenarnya karakter mereka yang mestinya diperbaiki!
Tak Apa-apa Sekarang Bekerja Bagaikan Jongos, Babu, atau Kacung yang Penting Tak Selamanya Bernasib Begitu
Kalau mau hidup enak dalam kondisi sejahtera tentulah wajib untuk berkorban dan berjuang terlebih dahulu. Kecuali, orang tua atau kerabat memberi hibah ataupun peninggalan warisan yang berjumlah besar. Ketika nyatanya berasal dari keluarga biasa-biasa saja seharusnya sadar diri!
Jangan maunya bekerja sekadar sesuai kondisi suasana hati pribadi, tetapi mengharapkan penghasilan yang besar. Di kala sifat tersebut enggak dirubah, di mana pun bekerja pasti sangat bikin jengkel majikan. Terkecuali, saat juragan memang betul-betul tak manusiawi sehingga super pelit barangkali masih bisa dibicarakan lebih dahulu untuk mendapat solusi.
Apalagi, meski pelit ternyata "hikmah" di balik itu jauh lebih besar tentulah lebih baik terus dipertahankan tetap bekerja di sana. Misalnya, di tempat kerja ada pengalaman yang sangat berharga yang dapat diperoleh sehingga di masa depan akan bermanfaat. Setidaknya, dapat mengimbuhi CV terkait riwayat pekerjaan.
Intinya, apa yang diusahakan dan dikerjakan di masa sekarang kelak pasti bakal bermanfaat. Hindari terlalu hitung-hitungan dan transaksional terhadap juragan yang menguasai serta memiliki tempat kerja. Boleh jadi, majikan memberi pekerjaan bukan semata-mata butuh karyawan. Namun, ada rasa kepedulian untuk membantu sesama.
Introspeksi dirilah, layak tidak diri sendiri memperoleh gaji besar dengan kondisi kemampuan yang masih pas-pasan? Andaikan menjadi bos yang mempunyai pegawai, apakah juga mau untuk tetap mempertahankan pekerjanya walau sebenarnya secara performa enggak menggembirakan? Tentulah akan pikir-pikir memecatnya.
Baca juga: Ketika Jongos Berlagak Seperti Layaknya Bos
Jangan mau diperbudak oleh uang! Sebab, hidup ini bukan hanya menyangkut tentang bagaimana cara memperoleh duit semudah-mudahnya tanpa perlu susah payah. Melainkan, bagaimana cara menghargai serta "berterima kasih" kepada pihak-pihak (juragan dan konsumen) yang telah menjadi sumber penghasilan. Kalau tak mau berbalas budi, seenggaknya janganlah melukai!
Lebih detail, uang seberapa besar pun nilainya saat di tangan orang salah akan membahayakan. Sebaliknya, tatkala duit berjumlah besar dikelola oleh individu yang kompeten tentulah sangat bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun masyarakat luas. Oleh sebab itu, janganlah merasa bangga merasa diri telah merdeka, tetapi ternyata diperbudak oleh uang.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Enggak Apa-apa Saat Muda Begini Bekerja Bagai Jongos, Babu, atau Kacung daripada di Masa Tua Nanti Merasa Diri Merdeka Ternyata Sejatinya Budak"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*