Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

5 Akibat Punya Karyawan yang Bergaya Hidup "Tak Tahu Diri"

 Kota Malang - Pernah tahu ungkapan "Ekonomi sulit gaya hidup elit," "Ketika jongos berlagak seperti layaknya bos," atau "Status cuma karyawan, tetapi kelakuan dalam bekerja bagai juragan sehingga menyepelekan pelanggan"? Itulah gambaran bagi babu maupun kacung yang enggak tahu diri dan tak sadar posisi. Terlanjur merasa diri tinggi, ternyata hanyalah pecundang sejati.

Perlu ditekankan dahulu, para pekerja yang menjalankan tugas secara profesional dengan ciri minimal berupa sungguh-sungguh serta totalitas dalam mengabdi bukan termasuk golongan yang pantas disebut sebagai jongos maupun babu. Sebab, tipe karyawan seperti itu memang ingin serius dan fokus untuk bekerja. Tanpa ada kemauan bertindak neko neko.

Baca juga: 8 Sikap Pekerja yang Pantas Dipecat dan Digantikan dengan Mesin atau Robot

Justru, yang patut dijuluki sebagai kacung atau babu yaitu mereka yang tak sadar diri. Sudah tahu statusnya sebagai pekerja bergaji pas-pasan, tetapi bergaya hidup bagai sultan. Boros menghisap rokok, kerap berkuliner di rumah makan, sering nongkrong di kafe bergengsi, dan ogah menyisihkan duit guna ditabung. Diimbuhi, tatkala kerja dilakukan asal-asalan dan bermalas-malasan.

Ilustrasi pekerja di bidang konstruksi (Sumber Pixabay.com)


Parahnya lagi, uang hasil kerja dipakai untuk maksiat. Sebut saja seperti berjudi, mabuk, berzina, atau bentuk hiburan lain yang melanggar norma-norma. Alhasil, ketika ada kebijakan dari juragan atau atasan yang membebani serta dianggap merugikan diri sendiri akan bereaksi dengan protes keras. Tentunya, hal itu ditempuh saat taktik menjilat dan mencari muka gagal diterapkan.

Berikut ini 5 akibat mempunyai pegawai yang bergaya hidup boros dan enggak mau introspeksi diri:

1. Menuntut Gaji Tinggi

Memiliki babu, jongos, atau kacung model penuntut mengakibatkan dalam bekerja tidak totalitas alias cuma setengah hati. Ketika diberi bonus dan tambahan gaji yang terjadi ia merasa itu sudah jadi haknya sehingga ia pantas menerimanya. Sebaliknya, saat penghasilan turun bukan melakukan introspeksi diri dulu yang ada melakukan aksi menuntut upah yang katanya harus layak.

2. Susah Diatur dan Ditata

Mau dibimbing, diberi nasihat, dikasih harapan, ataupun dijanjikan sesuatu akan sulit mempan. Sebab, kemauannya cuma satu tidak lain ialah kerja tidak membebani fisik dan mental dengan gaji yang tinggi. Intinya, dia enggak mau menerima atau turut menanggung masalah yang dihadapi oleh tempat kerja. Baginya, kewajiban juragan harus memberi gaji tanpa peduli bagaimana kondisi tempat kerja yang dililit musibah.

3. Gampang Iri atau Dengki

Jangankan iri pada pelanggan (konsumen) yang harus dilayani maupun dengki pada sesama karyawan, malah yang mengerikan juga iri pada kesuksesan majikan yang telah menggajinya. Ingatlah, jika mau langsung berpenghasilan besar maka silakan punya usaha sendiri lalu merekrut pekerja untuk dijadikan sumber pundi-pundi rupiah. Jangan merusuhi atau mengganggu bisnis milik juragan.

Baca juga: Ketika Jongos Berlagak Seperti Layaknya Bos

4. Gemar Menghasut atau Memprovokasi

Berkarir itu dari bawah dulu, tidak langsung punya jabatan tinggi dan bayaran besar. Kalau memang belum diberi kenaikan gaji maupun mendapat kenaikan posisi, sebaiknya sadar diri dahulu. Dilarang menghasut atau memprovokasi karyawan lain untuk melawan dan menentang kebijakan dari majikan. Apalagi, mengkompori konsumen atau pelanggan supaya antipati lantas pergi.

5. Play Victim dan Membawa-bawa Keluarga

Merasa diri si paling menjadi korban, si paling tersakiti, dan si paling "dimanfaatkan" untuk dijadikan sapi perahan oleh juragan merupakan ciri dari pekerja yang bermental jongos. Ditambah lagi, ada pekerja yang bawa-bawa keluarga (anak-anak dan istrinya) dengan dalih "Aku bekerja seperti ini untuk menafkahi keluarga."

Padahal, nyatanya 60% lebih dari pendapatan dipakai sendiri untuk senang-senang. Sedang, sisanya 40% baru diberikan pada keluarganya. Keluarga hanya dijadikan alibi untuk "memeras" tempat kerja agar mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan dirinya.





Baca tulisan menarik lainnya:

Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "5 Akibat Punya Karyawan yang Bergaya Hidup "Tak Tahu Diri""

Posting Komentar

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*