Apakah pernah menyadari terkait ada orang yang merasa paling susah hidupnya, paling kerja keras dalam mencari duit atau pun mengurusi rumah tangga, dan paling layak disebut sebagai korban utama dari segala situasi di lingkungannya? Hati-hatilah, boleh jadi sebenarnya dia merupakan pihak yang paling mendapatkan keuntungan dari segala keruwetan yang dialami banyak orang di sekitarnya.
Orang seperti di atas kadang memang tidak cocok disebut sebagai insan yang suka mengeluh. Sebab, tujuan dia menunjukkan segala penderitaan hidup yang dialami bukan untuk mendapatkan bantuan atau pun belas kasihan. Melainkan dia ingin memperoleh pengakuan, apresiasi, pujian, dan terhindar dari gunjingan alias bahan olok-olokan masyarakat. Kendati dibantu (ditolong), menurutnya itu suatu hak yang pantas dia terima karena sepadan dengan perjuangannya.
Baca juga: Sebuah Kritik Terhadap Ungkapan "Kami Perintis, Bukan Pewaris"
Lebih parah lagi, ada orang berbuat seperti itu dengan maksud agar dimaklumi ketika melakukan perbuatan kesalahan. Menganggap kebatilan yang dilakukan kadarnya lebih kecil dibanding pengorbanannya. Intinya, dengan bersikap unjuk diri menjadi pribadi si paling perih hidupnya diharapkan bisa bertindak seenaknya. Misalnya, bebas untuk tidak menghadiri acara kerja bakti maupun ogah memberi sumbangan dalam bentuk hidangan.
Bukan cuma supaya hidupnya lebih enak atau termanjakkan. Dengan terbebas dari kewajiban serta tanggungjawab kemasyarakatan, membuat dirinya besar kepala. Merasa patut diistimewakan dan dianggap orang penting sehingga berbuat semaunya, termasuk sesukanya dalam mengatur-atur. Bisa dibilang, orang seperti ini tidak memiliki simpati dan empati. Hanya ingin dimengerti, tetapi tak mau memahami orang lain.
Ciri orang yang suka menjadi "si paling tersakiti" berikutnya ialah menuduh jalan orang lain hidupnya lebih enak serta mulus. Misalnya, seseorang yang mampu mendapatkan pekerjaan "mapan" dia bilang lantaran adanya fasilitas berupa kemudahan dan bantuan dari orang-orang yang lebih kuat. Contoh lain, dia mengatakan bahwa orang tersebut telah menerima hibah dan mewarisi harta orang tua yang kaya raya.
Sadarilah, semua orang juga pernah merasakan masa-masa sulit dan perih dalam hidupnya. Di sisi lain, janganlah mencari-cari pihak tertentu yang bisa disalahkan untuk dijadikan pelampiasan. Hindari merasa diri sebagai orang yang tak berdaya. Ditakutkan, pilihan seperti itu hanyalah sebagai alasan untuk menyerah dan berputus asa. Ujungnya, hidupnya cuma ingin enaknya saja tetapi ogah menerima enggak enaknya.
Kalau ternyata dalam hidupnya memang betul terus-menerus mendapatkan perlakuan buruk dari manusia sekitar, terutama kerabat, kenapa tidak meninggalkan mereka saja? Pergilah mencari lokasi dan komunitas lain yang sesuai dengan prinsip hidup. Buat apa tetap bertahan ketika nyatanya membikin pribadi susah untuk kreatif, produktif, dan inovatif?
Renungkanlah, sisa hidup yang harus dijalani masih sangat panjang. Terlalu berbahaya tatkala memilih terus bertahan di lingkungan "sampah" yang buruk bagi masa depan. Dengan kata lain, fokuskan diri pada menyelesaikan masalah. Bukan sebaliknya, justru terjebak pada kesedihan diri yang berlarut-larut. Seolah-olah persoalan hidup yang tengah dijalani begitu penting untuk ditonton orang lain.
Baca juga: Jika Sejak Kecil Serta Remaja sudah Terkucil dan Jadi Korban Perundungan Maka saat Dewasa harus Menjadi Orang Kaya
Terakhir, tak boleh lupa untuk introspeksi diri. Dikhawatirkan, orang sekitar yang disebut-sebut sebagai pihak yang jahat dan pelaku kezaliman sebenarnya tidak terlalu salah-salah amat. Faktanya, ada kesalahan diri yang turut berperan dalam terciptanya segala kepedihan yang sedang melanda. Dalam kasus itu, enggak ada yang sepenuhnya salah serta tiada pihak yang sepenuhnya benar.
[BanjirEmbun/29/05/24]
|
Ilustrasi si paling tersakiti yang kekanak-kanakan (Sumber Pixabay.com/ ua_Bob_Dmyt_ua) |
Tulisan milik *Banjir Embun* lainnya:
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Semua Orang juga Merasakan Perihnya Hidup, Jangan Menjadi Si Paling Berhak Mendapat Pujian dan Perhatian"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*