Sungguh pilu, pasangan suami istri di sebuah kota di Indonesia mengalami kerugian besar. Di mana, aset properti milik pribadi berupa rumah yang ada minimarketnya dieksekusi oleh pengadilan. Konflik agraria tersebut terjadi didahului adanya perkara hutang-piutang dengan BPR swasta yang menjadikan sertifikat sebagai bahan jaminan.
Meski pemilik tanah dan bangunan di atas tetap memaksa bertahan, nyatanya eksekusi paksa oleh Pengadilan Negeri (PN) kota setempat tetap berjalan. Pasutri itu punya dalih bahwa keputusan kasasi dari Mahkamah Agung belum keluar. Artinya, menurut mereka status perkara yang sedang diperjuangkan itu belum inkrah (memiliki status hukum tetap).
Turut hadir pula seorang perempuan yang berstatus sebagai pemohon eksekusi selaku pemenang lelang, yaitu dari aset yang telah dilelang oleh BPR (Bank Perkreditan Rakyat). Tak main-main, proses eksekusi itu dikawal oleh puluhan aparat polisi dan TNI. Tentunya, mungkin saja hal tersebut bikin heboh dan terlihat oleh pandangan orang sekitar.
Sebagai info, luas tanah beserta rumah dan minimarket yang dieksekusi ialah 1.270 meter persegi. Kendati berjalan alot lantaran terjadi penolakan, nyatanya pelaksanaan eksekusi tetap berjalan sebagaimana rencana pihak eksekutor. Artinya, secara kasat mata pasangan suami (usia 52 tahun) dan istri (51 tahun) kehilangan aset properti mereka disebabkan tak bisa menguasai lagi.
Walau suami bersama keluarganya telah melakukan protes keras, tetap saja proses eksekusi berlanjut. Akhirnya, sejumlah orang ditugaskan untuk mengeluarkan barang dan perabotan secara paksa dari dalam minimarket. Diangkut menggunakan kendaraan 2 pikap menuju rumah kontrakan sebagai tempat penampungan sementara.
Kronologi sengketa agraria di atas bermula saat pihak suami mengajukan pinjaman sebesar 350 juta rupiah ke BPR swasta pada bulan Oktober tahun 2019. Dengan angsuran perbulan 10,6 juta rupiah selama 60 bulan. Sayangnya, awal 2020 musibah pandemi melanda yang membikin ia tak mampu melanjutkan angsuran secara normal yang baru terbayar 8 bulan.
Berhubung khawatir aset tanah yang berisi rumah dan minimarket miliknya dilelang BPR, dia berinisiatif untuk langsung melunasi hutang tersebut. Menurut pengakuannya, dia sempat menitipkan uang sebesar 100 juta ke BPR lalu membuat surat pernyataan mampu melunasi paling lambat akhir Oktober 2022.
Nahas, masih menurutnya, ternyata sebelum akhir bulan Oktober benar-benar habis (yaitu tepatnya pada tanggal 26 Oktober 2022) dia datang ke kantor BPR untuk melunasi pinjaman. Ternyata, pihak BPR menolak upaya pelunasan tersebut. Berdasar ceritanya, alasan ditolak karena pihak bank telah melelang aset yang digadaikannya itu tanpa sepengetahuan dirinya.
Pihak suami yang juga pensiunan pegawai pabrik kertas tersebut telah menuturkan di kala itu duit 100 juta rupiah beserta surat pernyataan kesanggupan pelunasan juga masih dipegang oleh BPR. Mirisnya lagi, berdasar ceritanya bahwa perempuan yang bertindak selaku pemenang lelang yang juga ikut eksekusi yang telah disebutkan di awal artikel ini merupakan teman istrinya.
Beberapa waktu sebelumnya, teman istrinya itu sempat menawar minimarket tersebut 800 juta rupiah. Akan tetapi, sesudah teman istrinya itu tahu aset yang diincar punya masalah dengan BPR mengakibatkan nilai penawaran terus turun hingga mencapai 400 juta rupiah. Padahal, uang yang diperlukan untuk melunasi bank pada waktu itu dibutuhkan 460 juta rupiah.
Lebih lanjut, pihak suami mengatakan teman istrinya itu telah menikungnya dengan cara ikut lelang yang lantas menang dengan harga 700 juta rupiah. Tentunya, hal itu sangat merugikan lantaran menurutnya harga pasaran dari tanah dan bangunan sekitar 3 miliar rupiah. Akhirnya, sertifikat tanah itu sudah balik nama dengan pemilik baru yang tak lain adalah teman istrinya itu.
Tidak tinggal diam, pihak suami menolak menyerah begitu saja. Ia memutuskan untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri kota setempat. Sayangnya, sebagaimana diketahui bersama bahwa gugatan itu ditolak yang berujung pelaksanaan eksekusi. Tidak cukup dengan itu, pada September 2023 dia telah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung sehingga menurutnya aset itu dalam status quo (keadaan mandek).
Di sisi lain, teman istrinya beralasan mengajukan eksekusi ke PN kota setempat disebabkan pihak suami bersama keluarga pemilik aset yang disengketakan menolak pindah. Di mana, upaya mediasi dan negoisasi dengan pihak objek eksekusi sudah ditempuh, tetapi berujung gagal. Padahal, menurut perempuan itu, ia telah mengeluarkan duit banyak dan sudah memakan waktu lama, tetapi tak membuahkan hasil.
[BanjirEmbun/23/05/24]
Tulisan milik *Banjir Embun* lainnya:
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Gara-gara Ditikung Teman Istri, Pria ini Kehilangan Hak atas Sertifikat yang telah Digadaikan ke BPR"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*