Mungkin saja, salah satu sebab kenapa bangsa Indonesia masih memiliki peradaban yang tertinggal jauh dari negara-negara lain ialah gara-gara otaknya tidak difungsikan serta sumber dayanya enggak disalurkan dengan tepat. Alih-alih dipakai untuk mengembangkan potensi diri sekaligus mencerahkan anak turunnya, malah yang terjadi sebaliknya.
Waktu, tenaga, pikiran, uang, dan kesejahteraan mental dibuang sia-sia untuk mengurusi kehidupan orang lain. Mulutnya begitu lihai dalam memberi komentar dan menilai kehidupan dari tetangga, teman, maupun artis terkenal. Cara bicaranya pun sangat "lancar" bagaikan ahli politik, spesialis psikologi, dan pakar ilmu sosial.
Bayangkan, siaran TV tentang kriminalitas maupun urusan rumah tangga orang populer jauh lebih diminati ketimbang acara TV yang mendidik alias edukatif. Barangkali, kapasitas otak cuma sampai segitu. Tidak bisa diajak berpikir agak lebih berat sedikit. Hanya sanggup memikirkan sebatas topik hiburan serta membicarakan seputar kehidupan orang lain.
Jangankan negara Indonesia ini dibandingkan dengan Eropa maupun Amerika Utara, disejajarkan dan diadu dengan negara tetangga seperti Malaysia serta Singapura masih keteteran. Bukan sekadar terkait masalah kemakmuran ekonomi, melainkan pula perkembangan ilmu pengetahuan teknologi. Sudah sejauh apa sih negara Indonesia berkontribusi dalam kemajuan peradaban internasional?
Orang lain sudah mengurusi (memikirkan, merencanakan, mempersiapkan, atau memperhitungkan) tentang kehidupan masa depan, di sisi lain patut disayangkan cukup tergolong banyak masyarakat Indonesia yang justru terjebak dengan dunia (alam pikir) mereka sendiri. Mereka asyik dengan fanatisme kelompok dan terbuai dengan dominasi semu yang sebenarnya cakupannya terbatas.
Merasa lebih baik dibanding tetangga sebelah, merasa lebih superior daripada rekan kerja, dan merasa "si paling" kerja keras ketimbang orang lain yang nyatanya hanya sebatas itu-itu saja. Ketika disandingkan dengan pihak lain di lokasi berbeda, status sosial yang dibangga-banggakan tersebut tidak ada apa-apanya. Ibarat kata, di sini jadi macan sayangnya di sana jadi kucing manis.
Hindari merasa menjadi orang yang si paling bersosialiasi dan si paling punya teman. Boleh jadi, orang yang disangka tak pernah bersosialiasi dan enggak memiliki teman ternyata di tempat lain dia mendapatkan penghargaan atau pengakuan dari orang-orang di sekitarnya.
Heran, zaman sudah modern dan era digitial telah tiba, tetapi pola pikir masih tertinggal jauh di masa lalu yang suasananya sebelum tahun 2010-an. Segeralah bangun!
[BanjirEmbun/31/05/24]
Ilustrasi kalangan si paling benar dan si paling hebat (Sumber Pixabay.com/ Peggy_Marco) |
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Cara Pandang Kaum "Si Paling Bersosialisasi dan Si Paling Punya Teman""
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*