Di zaman yang sudah "liar" seperti sekarang, sungguh untuk menjalani kehidupan di dunia begitu terasa berat. Jumlah atau populasi manusia teramat banyak. Persaingan menjadi jauh lebih ketat. Sifat jahat manusia juga lebih mengerikan dibanding masa lalu. Mulai dari bermuka dua, berkhianat, menusuk dari belakang, menjerumuskan, menjatuhkan, manipulatif, egois, agresif meneror, hingga menghina.
Ditambah lagi, teknologi digital ikut pula memperparah. Media sosial seperti whatsapp, facebook, instagram, youtube, tiktok, dan lain sebagainya turut meracuni sehingga membebani jiwa yang sudah rapuh. Alhasil, kesehatan mental mengalami gangguan menyakitkan yang tiada tara. Mau pergi ke sana merupakan pilihan yang salah, mau pergi ke sini pun tetap saja terintimidasi.
Dunia ini sudah tidak lagi terasa ramah. Seolah hanya ada dua pilihan yaitu menjadi pihak menzalimi atau berada di barisan orang-orang yang dizalimi. Menjadi pelaku kemungkaran atau menjadi korban atas kebatilan. Dengan maksud lain, kalau ingin menjadi manusia mulia harus benar-benar punya sifat sabar dan pemaaf terhadap sesama insan.
Hidup di dunia ini memang merupakan penjara bagi umat Islam yang betul-betul serius ingin memperoleh ridho Allah. Ketika ada Muslim yang punya kekayaan melimpah ruah pun juga masih terpenjara. Maksudnya, bukan berarti tidak boleh membeli barang-barang mewah dan berharga mahal. Namun, setiap Muslim dituntut untuk bisa mempertanggungjawabkan setiap yang dipunyai di hadapan Allah.
Bukan cuma bisa menjawab hisab (perhitungan) atau pertanyaan Allah di akhirat nanti seputar dari mana saja harta itu dapat dimiliki. Akan tetapi, terkait pula disalurkan serta dipakai untuk apa saja harta yang dikuasainya itu. Kalau memang punya kendaraan mewah, gadget canggih, busana mahal, sampai rumah besar dapat menjadikan seseorang lebih dekat pada Allah itulah yang berpotensi menyelamatkan.
Sayangnya, saat ada orang seperti diriku ini yang miskin dan menderita, yang masih tertimpa azab atau balasan atas dosa-dosa yang telah kuperbuat, lalu sesudah mati nanti tetap mendapatkan azab tentu betapa meruginya aku. Sedangkan, orang-orang kaya dan hidupnya bahagia setelah mati nanti mereka mendapatkan kenikmatan. Duh, sungguh ruginya aku!
Aku tidak memungkiri bahwa Allah Maha Adil. Aku menyadari bahwa setiap kehendak-Nya dan ketetapan-Nya pasti ada sebab di baliknya. Artinya, jika memang orang kaya di atas ditakdirkan setelah mati memperoleh nikmat maka pastilah Allah menetapkan sebab-sebab (asbab) di masa hidupnya agar pantas mendapat nikmat tersebut yang mungkin tidak diketahui oleh makhluk lainnya.
Cukuplah menerima siksa dan kepedihan di dunia ini saja. Setelah mati nanti mulai dari alam kubur (alam barzah) hingga surga tak ada lagi penderitaan-penderitaan. Aku penuh harap memperoleh rahmat-Nya. Aku benar-benar menginginkan pertolongan (syafaat) setelah mati. Bukan cuma syafaat dari amalku, sesama insan, dan Rasulallah. Melainkan juga pertolongan atau pembelaan langsung dari Allah Subhahu wa ta'ala.
[BanjirEmbun/15/05/24]
|
Ilustrasi orang miskin yang menderita (sumber Pixabay.com/ gigieffe) |
Tulisan milik *Banjir Embun* lainnya:
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Betapa Meruginya Aku, Tatkala Sesudah Mati Tetap Mendapatkan Azab"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*