Banjirembun.com - Sebuah pernyataan "Kami perintis, bukan pewaris" hanyalah sebuah kalimat penghibur diri. Maksudnya, digunakan untuk menenangkan diri lantaran iri atau dengki terhadap kehidupan orang lain yang kaya alias hidup berkecukupan tanpa hutang ataupun bentuk beban keuangan lainnya. Seolah-olah orang berduit yang punya jalan hidup terlihat mudah itu cuma sebagai penikmat harta keluarga. Baik diberikan secara langsung (hibah) maupun berupa warisan.
Lebih parah lagi, terdapat pula yang menuduh harta kekayaan yang dimiliki oleh orang lain berasal dari sumber haram. Baik itu melalui suap-menyuap, korupsi, mencuri, menzalimi kerabatnya, atau semacamnya. Ironisnya, orang miskin yang "tak tahu diri" (tidak introspeksi diri) itu turut pula tega membuat fitnah lantas menyebarkannya tanpa peduli risiko yang timbul ke depannya bagaimana. Barangkali, tujuannya memang sengaja ingin "membunuh" karakter orang kaya yang dibenci.
Baca juga: 7 Fitnah yang Sering Dituduhkan oleh Orang Iri Alias Dengki Terhadap Tetangganya yang Kaya
Faktanya, banyak kok kita temukan orang kaya yang berasal dari sumber jerih payah sendiri. Walau kemungkinan ada bantuan dari orang tuanya yang berharta, tetapi bila diimbuhi upaya sungguh-sungguh dari diri sendiri maka sejatinya itu sudah menunjukkan bahwa kekayaan yang dimiliki tidak sepenuhnya berasal dari keluarga. Artinya, masih ada perjuangan dan pengorbanan tersendiri untuk meraih.
Bahkan, mungkin saja usaha serius di atas nyatanya lebih susah dan "keras" untuk menempuhnya demi menapaki jalan hidup sukses tersebut dibanding orang miskin yang suka "menghibur diri" serta malas-malasan. Oleh sebab itu, hindari hanya melihat orang kaya yang bahagia dengan cara menunjukkan hartanya tanpa disertai mengetahui bagiamana langkah-langkah yang ditempuh untuk menggapainya. Jangan langsung menuduh digapai secara haram!
Boleh dikata, orang yang gemar berucap "Kami perintis, bukan pewaris" amat berkemungkinan merupakan tipe individu yang sering playing victim. Menganggap diri sendiri sebagai korban yang tak berdaya. Sedangkan, pihak lain dituduh penjahat yang harus dibinasakan. Sekali lagi, tanpa mau introspeksi diri kenapa dirinya kok tetap miskin? Apa kesalahan dan kekurangan yang dimiliki sehingga tetap saja berada di jurang kemisikinan?
Jika masih saja "bermain drama" sebagai orang yang tersakiti maka orang miskin bakal kesulitan sekali untuk keluar dari ketidakberdayaan yang tengah diderita. Bisanya cuma "menghibur" diri dengan cara kumpul-kumpul dengan sesama orang miskin sembari menggosip tetangganya yang hidupnya terlihat enak. Tergolong mending kalau yang diomongkan itu hal-hal yang bermanfaat sehingga dapat merubah nasib menjadi lebih baik. Sebaliknya, malah hanya buang-buang waktu dan tenaga dengan cengkrama bersama.
Tengoklah punggung belakang sambil bertanya kepada diri sendiri "Selama ini sudah habis uang berapa untuk merokok?" Kemudian, "Hari ini uang dihabiskan untuk judi online berapa?" Lalu, "Hari ini berhutang pada aplikasi online berapa rupiah?" Lantas, "Hari ini apa yang sudah dilakukan untuk dapat mengembangkan diri sendiri agar mampu bangkit dari keterpurukan?" Tak lupa, "Kenapa hari ini waktu dihabiskan cuma untuk hiburan, main HP, atau malas-malasan?"
Dunia ini luas! Baik itu secara fisik (luasnya bumi 510,1 juta Km persegi), jumlah manusia (tahun 2024 ini sekitar 8,1 miliar jiwa), maupun melimpahnya ilmu pengetahuan. Dengan menyadari hal tersebut, bikin cara pandang serta langkah kaki enggak akan menjadi sempit lagi. Tidak akan mendapatkan julukan lagi sebagai "Bagai katak dalam tempurung" yang merasa bahagia dengan dunia sendiri, padahal di luar sana begitu banyak cerita kehidupan yang patut untuk diambil pelajaran.
Mulai sekarang kurangi kebiasaan "menghibur diri" secara salah dan memalukan seperti di atas. Hiburlah diri dengan langkah aksi nyata untuk membahagiakan diri. Bukan justru merasa bahagia ketika dapat menjatuhkan harga diri orang kaya dengan cara menggosip maupun memberi komentar pedas di media sosial. Apalagi, orang yang digosipin itu enggak peduli dengan kabar burung yang diterima serta tetap fokus berbuat nyata sehingga semakin bertambah kaya nan bahagia.
Baca juga: Beban Berat Menjadi Orang Kaya Baru (OKB) yang Diperoleh Secara Mendadak atau Tiba-tiba
Ingatlah, orang kaya untuk mempertahankan kekayaannya juga butuh perjuangan dan pengorbanan. Sebab, kalau mereka terperdaya dengan hartanya boleh jadi lambat laun jatuh miskin juga. Dengan demikian, kekayaan yang didapatkan dari 0 (titik rendah) maupun yang dihasilkan dari bantuan keluarga sejatinya kedua-duanya sama-sama berangkat dari 0. Yakni, sama-sama memperjuangkan untuk menambah hartanya. Bedanya ialah yang satu berangkat dari 0 disertai dengan "modal" harta yang berkecukupan.
Itulah sebuah renungan bagi kita semua yang tengah berjuang untuk hidup sejahtera. Semoga tulisan ini bermanfaat.
|
Ilustrasi orang miskin yang tak tahu diri (sumber Pixabay.com/ KasunChamara) |
Tulisan milik *Banjir Embun* lainnya:
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Sebuah Kritik Terhadap Ungkapan "Kami Perintis, Bukan Pewaris""
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*