Secara alami mayoritas manusia hidup memang harus berdampingan dengan sesama insan lainnya. Bahkan, bukan cuma satu atau dua orang. Lebih mantap lagi yaitu menjalin hubungan secara erat dengan beberapa orang sekaligus. Dalam artian, pada waktu bersamaan serta di tempat sama terjadi kegiatan kumpul-kumpul dengan sejumlah individu. Di mana, hal itu terasa bertambah makin kuat hubungan ikatannya ketika "peserta" pertemuan itu membludak.
Dari sebuah interaksi sosial di atas itu, demi tetap mempertahankan persatuan dan kekompakan kelompok, kemudian muncullah yang namanya empati dan kepedulian terhadap sesama di dalam komunitas tersebut. Maksudnya, seseorang terkadang jauh lebih memperhatikan kondisi insan yang hadir di lingkaran sekitarnya dibanding harus mendahulukan kepentingan sendiri. Di mana, dia bakal merasa lega ketika telah bisa membantu anggota perkumpulan yang diikutinya.
Sebelum melanjutkan pembahasan, harus dipahami dulu bahwa suatu fanatisme (obsesi berlebihan) terhadap apapun itu bukan sekadar berasal dalam diri seseorang pribadi. Melainkan pula, diperkuat oleh dorongan orang di sekitar yang diidolakan dan dijadikan sebagai manusia yang dianggap patut untuk dipercayai/dipegang kata-katanya dalam mengarahkan jalan hidupnya.
Berikut ini 3 penempatan wujud empati dan kepedulian terhadap orang lain secara salah:
1. Melindungi dan Membela Orang yang Salah
Bentuk membela orang salah yang paling sederhana atau minimalis yaitu dengan langkah menutupi atau menyimpan rapat kebenaran yang diketahui dengan cara tak mau membukanya (walau enggak berbohong tetapi memilih untuk ogah mau memberikan kesaksian atas perbuatan salah orang yang dibela itu). Artinya, dia tidak mau memberikan komentar dan memilih bisu untuk membantu dalam membuka tabir kebenaran. Sembari menunggu masalah yang dialami orang yang dibela itu reda serta surut dengan sendirinya.
Kejadian melindungi orang yang salah kerap ditemukan di media sosial. Tatkala didapati orang yang salah itu merupakan pihak yang masih satu suku, orientasi pilihan partai politik yang sama, maupun satu mazhab agama yang sama bakal dibela. Malahan, bukan cuma dengan cara berdiam diri. Lebih sadis lagi, dia bakal menggunakan retorika berdebat untuk membolak-balikkan kata-kata agar lawan bicaranya menjadi bingung. Alhasil, seolah-olah orang yang salah itu harus dimaklumi karena terkesan kesalahannya masih kategori termaafkan.
2. Menjunjung Solidaritas dan Setia Kawan Secara Membabi Buat
Saking ingin menjaga nama baik kelompok, komunitas, atau bentuk-bentuk entitas komunal lainnya terkadang membuat seseorang tega untuk menomorsatukan solidaritas dan kesetiakawan dibanding kemaslahatan masyarakat secara umum. Lantaran sungguh bersemangat dalam menjunjung kesolidan membikin ia menutup diri dari sunami fakta-fakta di dunia luar sana yang begitu super luas. Dengan kata lain, hidupnya bagaikan seekor katak yang terperangkap dalam tempurung.
Baca juga: Akademisi Bermazhab Katak dalam Tempurung
Mirisnya, sangat gampang ditemui golongan manusia yang satu hobi atau satu minat terhadap sesuatu hal yang sama memiliki fanatisme yang begitu kuat. Parahnya, tingkat fanatiknya itu melebihi fanatik terhadap agamanya. Oleh sebab itu, tak heran dia akan amat mudah berempati dan peduli terhadap orang-orang yang berada di lingkungan sesama komunitasnya itu. Bukan cuma rela mengorbankan uang, tenaga, pikiran, dan waktu. Lebih nekat lagi, mau saja bertaruh nyawa.
3. Hanya Membela Orang yang Satu Rasa dan Bernasib Sama
Sesama buruh, sesama orang miskin, sesama minoritas, sesama insan tertindas, hingga sesama pekerja kasar biasanya memiliki ikatan batin yang sangat kuat. Alasannya tentu saja disebabkan mereka memiliki satu rasa dan nasib yang sama yaitu berupa angggapan sebagai golongan yang terpinggirkan atau terabaikan. Sayangnya, sifat minder atau rendah diri tersebut berakibat dia menjadi sembrono dengan wujud nyata mengabaikan/menampik kebaikan-kebaikan orang-orang yang berada di luar golongannya.
Lebih lanjut, kepedulian dan empati atas dasar keadaan yang senasib merupakan langkah yang keliru dalam melawan dominasi kelompok lain. Bagaimanapun, harus tetap disadari atau diakui bahwa walau seseorang itu satu rasa dan satu nasib tatkala didapati dia dalam posisi salah sehingga tak layak untuk dibela sudah semestinya untuk ditinggalkan. Lebih dari itu, sifat senasib dan sepenanggunan itu tidak menutup kemungkinan diperparah dengan sifat iri (dengki) serta rakus (serakah) terhadap sumber daya yang dimiliki oleh pihak di luar dirinya yang begitu besar.
|
Ilustrasi wujud empati dan kepedulian (sumber gambar Pixabay.com/ joojoo41) |
Tulisan milik *Banjir Embun* lainnya:
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "3 Penempatan Bentuk Empati dan Kepedulian Terhadap Sesama yang Keliru Alias Sesat"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*