Memang harus diakui bahwa ada orang yang tidak "makan" bangku sekolah tapi hidupnya di masa dewasa lebih gemilang ketimbang orang yang dulu serius bersekolah dan berkuliah. Begitu pula, patut disadari terdapat orang yang zaman sekolah dahulu kelakuannya nakal dan sulit diatur, tetapi sekarang bisa dikatakan sukses. Namun, yang perlu dipertanyakan adalah seberapa banyak orang-orang yang nasibnya seperti itu? Apakah betul faktor kesuksesan itu semata-mata disebabkan karena tidak sekolah dan masa mudanya yang hidupnya sesuka sendiri?
Pegang kata-kata ini "Sekolah dan kuliah itu penting!" Barangkali, boleh saja mengungkapkan unek-unek berupa "Walau temanku itu telah menempuh pendidikan tinggi, nyatanya dia masih sulit mencari pekerjaan dan tak mendapat posisi strategis di tengah masyarakat!" Ingatlah, semua hal masih butuh proses. Cegah diri memakai jalan pintas (instan). Semestinya, orang yang berpendidikan menghindari cara-cara yang bersifat potong kompas serta terlalu fokus pada tujuan. Hal sebaliknya, mereka menikmati proses.
Bagaimanapun, periode pendidikan selama bertahun-tahun tetaplah ada nilai keberkahan tersendiri. Interaksi antar sesama peserta didik, komunikasi dengan pendidik, kegiatan latihan bersama, menulis, membaca, berhitung, kerja kelompok, dan kegiatan belajar lainnya di lembaga pendidikan tetaplah bermanfaat bagi setiap manusia. Cegah diri berpikir bahwa semua aktivitas belajar tersebut tiada guna. Terbukti, banyak orang yang buta huruf dan putus sekolah kini hidupnya berkutat di seputar bidang itu-itu saja. Salah satunya, akibat malas serta takut mencoba hal-hal baru.
Di lembaga pendidikan, para siswa dan mahasiswa mampu memperoleh modal awal untuk membentuk kepribadian yang matang atau malahan sudah mampu dijadikan sebagai pijakan kokoh dalam menemukan jati diri. Artinya, ketika mereka ogah menempuh jalur pendidikan formal, belum tentu bakal mudah dalam menata diri agar siap menghadapi masa depan. Termasuk juga, tentunya terkait masalah kemampuan seseorang secara akurat/tepat dalan menakar atau menilai sesuatu tentunya mungkin turut serta dipengaruhi oleh tingkat pendidikannya.
Berikut ini lima kekeliruan individu dalam menilai atau menakar sesuatu:
1. Salah Mengukur Harga Kendaraan, Laptop, dan HP
Harga sepeda motor bervariasi. Ada yang terlihat murahan tetapi ternyata mahal. Bahkan, ada sepeda motor sport (bukan moge seperti Harley-Davidson) harganya tembus di atas 700 juta. Yakni, Kawasaki Ninja H2R. Sebaliknya, ada yang tampaknya ditaksir "berlebihan" dengan menebak harganya 28 jutaan, tapi faktanya berharga cuma 21 juta. Contohnya seperti motor Honda CB150 Verza yang harga rilis pertama kali tahun 2018 lalu seharga 20 juta. Selengkapnya baca Ketangguhan Honda CB150 Verza, Terbukti Bukan Produk Gagal.
Begitu pula dengan mobil, laptop, dan HP. Banyak ditemukan variasi harga. Semua itu amat mudah dilacak, dibuktikan, dibandingkan, dan ditemukan berapa kisaran harganya di mesin pencarian seperti Google ataupun video YouTube. Di mana, sebelum membeli biasanya orang-orang yang terdidik bakal sangat telaten dan cermat untuk menonton sekaligus membaca ulasan terkait barang yang akan dia beli. Nah, tatkala penasaran dengan produk-produk terbaru yang baru saja dia lihat pun akan dicek dahulu di internet untuk tahu kepastian kualitasnya.
2. Salah Menakar Penghasilan dari Pekerjaan atau Profesi Tertentu
Janganlah meremehkan profesi atau pekerjaan tertentu. Boleh jadi yang disepelekan itu penghasilannya jauh lebih tinggi daripada orang yang telah sombong diri akibat merasa si paling bergaji tinggi. Sebut saja, tukang parkir yang penghasilan perhari bisa melebihi 100 ribu per orang (bukan per lokasi parkir). Tergantung lokasi area parkir, jam jaga, ada event/acara khusus, dan mayoritas jenis kendaraan yang sedang parkir. Angka sebesar itu sudah bersih setelah melakukan setoran pada bos atau atasannya yang telah melindunginya.
Pendapatan yang diraih oleh tukang parkir di atas sangatlah wajar. Coba hitung, misal biaya parkir satu unit sepeda motor Rp. 2.000,- lalu dikalikan jumlah kendaraan 500 unit sudah menghasilkan 1 juta rupiah. Oleh sebab itu, jangan kaget saat ditemukan banyak sekali kantong-kantong parkir liar. Malah, kadang ada cekcok atau tindak kekerasan gara-gara rebutan area kekuasaan untuk mengelola parkir di wilayah-wilayah tertentu. Boleh dikatakan "Uang 2 ribu bagimu mungkin tidak berarti, tetapi itu sanggup menjadikan tukang parkir jadi kaya raya!"
Kesalahan dalam menakar penghasilan terhadap profesi tertentu tidak hanya tertuju pada juru parkir. Mirisnya, masih banyak kalangan yang begitu kaget dan takjub menemukan fakta bahwa para pegawai swasta (bukan pegawai negeri) di perkantoran Jakarta dan Surabaya memiliki gaji belasan juta sampai mendekati seratus juta perbulan. Tentu, hal tersebut jauh melebihi UMR. Intinya, sebelum menilai seberapa besar bayaran seseorang, sebaiknya pahami dulu secara mendalam bagaimana cara menghitung gajinya dan risiko-risiko yang dihadapi dari pekerjaannya.
3. Salah Memperkiraan Penghasilan Pebisnis
Pendapatan pebisnis tentulah relatif. Meski bergerak dalam bisnis yang sama dengan modal awal yang sama, tetapi belum tentu punya penghasilan yang setara. Semakin kreatif, inovatif, produktif, bekerja keras, dan bekerja cerdas yang telah diterapkan oleh pebisnis makin besar pula peluangnya memperbesar angka penghasilan uang. Sebagai gambaran, tidak perlu jauh-jauh dengan memakai Ilustrasi bisnis besar. Pedagang cilok atau pentol keuntungan yang dimiliki juga teramat besar. Di kala beruntung, sehari bisa laba ratusan ribu.
Toko kelontong maupun minimarket juga memiliki keuntungan yang besar sekali. Di mana, supaya bisa balik modal cukup butuh waktu 3 - 5 tahun saja. Penjual nasi lalapan, nasi pecel, warteg, atau bisnis kuliner lainnya juga tidak boleh dianggap rendah. Justru, boleh jadi penghasilan mereka lebih besar. Apalagi, ternyata laris dan jam bukanya tergolong lama saban harinya. Dengan demikian, jangan heran ketika pebisnis yang tampak "kecil-kecilan" nyatanya mampu membangun rumah pribadi yang berkategori besar dan cenderung mewah.
Selain itu, para pebisnis di jajaran ruko atau kios-kios (toko emas, layanan foto kopi, percetakan, apotek, penjual buah, toko bangunan, toko elektronik, jasa service gadget, penjual mie ayam, penjual bakso, dan masih banyak lagi) penghasilan mereka juga terbilang besar. Terbukti, mereka mampu menyewa atau mengontrak kios setiap tahunnya. Padahal, harga sewa juga tidak bisa dibilang kecil. Kalau sudah begitu, sesungguhnya siapakah yang pantas disebut raja? Masihkah nekat mengangkat kepala sembari bilang "Pembeli adalah raja!"
4. Salah Menilai Luasnya Wawasan, Pengetahuan, dan Pengalaman Seseorang
Tak usah nekat menjuluki kuper (kurang pergaulan) terhadap orang lain yang disebabkan memiliki sedikit teman. Di sisi lain, merasa diri sebagai orang yang berwawasan luas dan pandai bergaul lantaran punya banyak teman. Pertanyaan yang patut diajukan yaitu "Untuk apa teman banyak tapi tak berkualitas?" Maksudnya, teman yang banyak enggak menjamin bikin wawasan, pengetahuan, dan pengalaman hidup menjadi berkembang. Sebaliknya, yang terjadi muncul fanatisme dan merasa komunitasnya yang paling benar. Sungguh, itu bagaikan katak dalam tempurung.
Bagaimana kemampuan dan kecerdasan diri bisa berkembang kalau nyatanya menjadi individu yang malas membaca artikel bermanfaat, melatih diri, menonton video bermanfaat, serta enggan keluar dari zona nyaman. Lebih lanjut, di era digital sekarang ini meskipun punya teman sedikit, tatkala cerdas dalam memanfaatkan akses internet akan banyak wawasan dan pengalaman dari orang lain (konten kreator) yang bisa ditimba/diambil. Dengan kata lain, di zaman modern tidak ada lagi begitu banyak rahasia (tips, strategi, info, tutorial, dan lain-lain) yang ditutup-tutupi.
5. Salah dalam Menuduh Orang Lain sebagai Kaum Miskin dan Tak Mampu Beli
Memang betul sebuah ucapan "Penampilanmu merupakan gambaran siapa dirimu." Akan tetapi, hal tersebut janganlah dipukul rata. Tak semua orang mempunyai prinsip, gaya hidup, selera, ataupun kebiasaan sehari-hari layaknya kita. Boleh jadi, mereka memang lebih nyaman untuk tampil sederhana walau nyatanya bergelimang harta. Nah, terlanjur salah sangka mengira dia orang miskin lantas merasa kasihan padanya, ternyata itu enggak sesuai perkiraan tentunya bisa berujung malu. Selangkapnya baca Hati-hatilah, Orang yang Kamu Kira Miskin Boleh Jadi Punya Simpanan Tabungan "Menganggur" Ratusan Juta.
Itulah informasi inspiratif dari kami. Semoga bermanfaat.
|
Ilustrasi sedang mengukur kemampuan orang lain (sumber Pixabay.com/ dehaasbe) |
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "5 Bentuk Kesalahan Seseorang dalam Menakar atau Menilai Sesuatu yang Berujung Malu"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*