Banjirembun.com - Hukum mentaati setiap pemimpin adalah kewajiban bagi masing-masing Muslim. Termasuk taat kepada para pemimpin (kampung/desa/kelurahan, distrik/kecamatan, kota/kabupaten, provinsi/wilayah, maupun negara) yang telah berbuat zalim pada dirinya atau keluarganya sekalipun. Tentunya pula, ketika didapati sosok pimpinan tersebut ternyata suku (ras) bukanlah bagian dari mayoritas yang berada di tengah masyarakat, tetaplah wajib mendengar dan taat padanya.
Malahan, walau pemimpin tergolong ahli maksiat (gemar melanggar perintah Allah Subhanahu wa ta'ala) tetapi tidak memerintahkan Muslim untuk berbuat maksiat, tetaplah wajib bersetia padanya. Dengan demikian, dilarang keras untuk bersumpah "Saya berjanji tidak akan setia dan taat kepadamu sebelum kamu secara pribadi sudah mentaati Tuhanmu." Logikanya harus dibalik yang berupa "Makin baik rakyatnya semakin baik pula pemimpinnya." Alhasil, janganlah menuntut berlebihan pada pemimpin.
Dengan kata lain, setiap Muslim wajib berjanji/bersumpah/berbaiat kepada pemimpinnya. Sekali lagi, meski para penguasa tersebut telah berbuat zalim alias batil tetap kudu ditaati. Sebab, saat sebagian golongan Muslim keluar dari ketaatan (termasuk ogah mematuhi hukum positif seperti undang-undang serta parahnya lagi memberontak) bakal lebih besar kerusakan yang ditimbulkan. Bahkan, kadar kehancurannya jauh makin besar ketimbang "hanya" dari kezaliman yang para pemimpin perbuat.
Ambil contoh di dunia nyata yaitu terjadinya konflik di berbagai penjuru dunia Islam (terutama area Timur Tengah) diakibatkan banyaknya pemberontakan. Perang sesama anak bangsa di sejumlah negara itu, terjadi sudah berkepanjangan tiada henti. Satu sama lain saling menyerang tanpa ada yang mau mengalah atau menyerah. Bayangkan, tatkala salah satu pihak mau islah (melakukan perdamaian) tentu ceritanya akan berbeda. Tidak ada lagi perebutan kekuasaan melalui peperangan tanpa ujung selesai.
Perlu disadari terlebih dahulu bahwa jajaran pimpinan seperti apapun kualitas dan performa mereka, enggak dapat disangkal lagi mereka telah melewati proses suksesi (peralihan kekuasaan) yang sah. Dengan kata lain, mereka telah menjadi wali (wakil, pihak dipercaya, pembela, pelindung, atau penolong) bagi setiap rakyat yang dipimpinnya. Suka atau tak suka serta cocok maupun tidak cocok, wajib berjanji setia pada para pemimpin.
Layaknya orang yang punya status "wali" pada umumnya (seperti orang tua kandung, tokoh agama, maupun guru), tentunya pimpinan juga wajib dihormati. Andai enggan menghormati dengan alasan subjektif, hendaknya tak perlu mencaci maki. Jangankan pada sosok pemimpin, menghina dan menjatuhkan harga diri pada insan biasa (kaum kelas bawah) saja tidak dibolehkan oleh ajaran Islam. Apalagi, menistakan martabat para pemimpin yang punya kewajiban dan tanggung jawab besar.
Keutamaan Taat Kepada Pemimpin
Taat pada pemimpin hukumnya wajib. Hal tersebut berarti ketika memberontak (ingkar dari kewajiban setia pada pemimpin) bakal mengakibatkan dosa besar. Di mana, maksud taat di sini artinya di kala apa yang diperintahkan oleh pimpinan merupakan hal yang mubah (boleh), halal, dan wajib. Kalau perintah tersebut melakukan maksiat, tentu harus ditolak. Oleh sebab itu, hindari enggan taat pada perintah pimpinan gara-gara yang bersangkutan enggak sesuai pilihan hatinya.
Dari sini dapat dipahami, di waktu Umat Islam mentaati kewajiban dalam urusan apapun tentunya memperoleh pahala. Begitu pula, taat pada pemimpin bakal mendapat keutamaan pahala tersendiri. Dengan catatan, ketaatan pada pemimpin tersebut mesti diniatkan sebagai bentuk taatnya hamba pada perintah Allah Subhanahu wa ta'ala. Itulah salah satu bukti bahwa setiap perbuatan dari orang beriman pasti tidak mengandung kesia-siaan. Semua bernilai pahala tersendiri.
Sebaliknya, jika ada individu Muslim yang mati dalam keadaan ingkar dan memboikot berlarut-larut terhadap pemimpin maka dia bagaikan/diserupakan mati dalam keadaan jahiliyah (zalim, sesat, bodoh, tidak tercerahkan, keras kepala, sok tahu, sok pintar, merasa si paling benar, atau semacamnya). Bagaimana tidak disebut zalim? Para pemimpin sudah membuat kebijakan dan keputusan demi kemaslahatan bersama, malah diolok-olok. Giliran dia sendiri, andai jadi pemimpin, belum tentu capaiannya mampu melampaui pemimpin yang direndahkan tersebut.
|
Ilustrasi simbol kesetiaan pada pemimpin Negara Kesatuan Republik Indonesia (sumber Pixabay.com/ fikihfirmansyah) |
Kelasahpahaman dan kekeliruan dalam memosisikan pemimpin sesuai ajaran Islam seperti di atas dapat menyebabkan pelakunya berstatus menyelisihi mayoritas jamaah Umat Islam. Bahkan, si pelaku menganggap sebuah aib (memalukan) tatkala taat pada pemimpin tertentu. Akibatnya, pelaku bisa dikatakan telah keluar dari golongan mayoritas Muslim (tidak murtad sehingga ketika meninggal dunia dalam keadaan ingkar pada pemimpin bukanlah mati dalam keadaan kafir).
Nah, bagaimana hukum patuh atau taat pada pemimpin yang telah berbuat zalim? Hukumnya tetap wajib setia dan bertaat. Apalagi, patut diketahui bahwa kesabaran dan keridhoan dalam menghadapi takdir Allah yang "mengerikan" seperti itu jauh lebih utama/afdhol ketimbang bertaruh nasib dengan cara memberontak maupun memusuhi secara terbuka (terang-terangan). Dengan demikian, cegah diri berbuat usil ataupun mengrecoki pemimpin yang sedang bertugas menjalankan amanah.
Pemberontakan terhadap pemimpin yang zalim hanya menimbulkan kerusakan fisik. Tentunya, itu bakal menzalimi masyarakat lain yang menginginkan ketentraman tanpa ada konflik brutal. Kalau mau "membenahi" tatanan, eloknya mengingatkan atau meluruskan kesalahan pemimpin secara bijak. Sebagaimana meluruskan kesalahan orang biasa, meluruskan pemimpin harus dengan cara makruf. Bukannya justru berbuat zalim dengan langkah menyebarkan aib-aib orang yang tidak disukai.
Kunci terakhir, doakanlah para pemimpin. Baik itu pemimpin yang lurus maupun pemimpin yang belum lurus. Pemimpin yang lurus didoakan agar tetap istiqomah berada dalam jalan kebenaran. Sedangkan, pemimpin yang belum lurus didoakan semoga diberi taufiq dan hidayah-Nya. Dengan mendoakan kebaikan terhadap orang lain bakal berbuah kebaikan pula kepada diri sendiri. Semoga bermanfaat.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Kewajiban Bagi Setiap Muslim untuk Berjanji Setia pada Pemimpin Negara, Pemberontakan Adalah Dosa Besar"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*