Banjirembun.com - Ini adalah kisah nyata tentang masa lalu saya saat bocil (usia kisaran 10-an tahun), yang entah kapan tepatnya saya lupa. Namun, yang teringat waktu itu lokasinya di rumah nenek (ibu kandung dari ibu saya). Di ruang tengah kediaman beliau. Di mana, kala itu ada acara tahlilan (kirim doa secara massal) kepada salah satu keluarga yang telah meninggal dunia. Di sana, ada 3 bangunan rumah terpisah tapi berdekatan serta masih satu keluarga.
Rumah pertama yaitu kediaman nenek kandung saya. Rumah kedua adalah ndalem Kiyai yang memakmurkan Masjid kuno di desa. Kiyai tersebut merupakan adik kandung dari nenek saya sekaligus adik kandung kakeknya Wakil Bupati Trenggalek. Sedangkan, rumah ketiga milik nenek dan almarhum kakeknya Wakil Bupati Trenggalek yang dijadikan tempat acara tahlilan. Intinya, hubungan kekerabatan tergolong dekat. Satu sama lain kerap saling membantu dan berkunjung.
Sebagai intermeso/selingan, patut saya ceritakan tentang ingatan masa lalu saya. Yakni, saat kedua adik kandung nenek yang masing-masing berkunjung ke kediaman beliau dengan waktu berbeda. Artinya, mereka hanya berduaan dengan nenek saya. Ketika itu, saya melihat wajah mereka sangat teduh. Tampak sekali bisa menikmati masa-masa sepuh dengan rukun bersama saudara kandung. Saya berdoa, semoga mereka bertiga bahagia di alam kubur. Aamiin.
Tambahan, saya sangat sering memimpikan nenek saya dan adiknya nenek saya (Kiai Masjid) di atas saat tertidur. Malahan, frekuensi (kekerapannya) lebih sering ketimbang saya memimpikan kedua orang tua kandung saya. Kadang mereka hadir sendiri dalam mimpi, tetapi terkadang berduaan bersama-sama. Dalam mimpi itu mereka tersenyum bahagia. Sayangnya, bagi sebagian orang mimpi semacam itu ditafsirkan sedang butuh kiriman doa. Akan tetapi, saya lebih pilih berprasangka baik saja.
Kembali lagi ke tema cerita, dalam salah satu tradisi pembacaan tahlil di atas, selain tuan rumah memberikan berkat yang dibungkus plastik, kadang di dalamnya juga diselipkan uang yang dimasukkan dalam amplop. Nah, ketika itu ibunya Wakil Bupati Trenggalek menyuruh kita (saya, dia, dan adik kandungnya) untuk menata/menghitung uang sambil dimasukkan ke dalam amplop untuk disedekahkan pada para tamu yang menghadiri ritual tahlilan.
Saya masih ingat betul, dalam "film" kenangan yang tertanam kuat di alam pikiran, bagaimana gestur tubuh dan mimik wajah Wakil Bupati Trenggalek yang saat itu usianya hampir sepantaran dengan saya. Tatkala menghitung, posisi saya menghadap selatan membelakangi televisi. Kami duduk bersama melingkari meja tamu di ruang tengah milik nenek saya. Sesekali, sembari menghitung uang dia berbicara dengan adiknya.
Saya informasikan dulu, hubungan kekerabatan saya dengan Wakil Bupati Trenggalek bernama Syah Muhammad Natanegara dalam bahasa jawa disebut mindoan (bawahnya sepupu atau yang disebut misan). Detailnya, nenek saya adalah kakak kandung kakek dia. Lebih spesifik, ibu saya dengan dengan ibunya ialah sepupu. Dengan kata lain, kita satu buyut. Sebuah pertalian kekeluargaan yang jarak nasabnya cukup jauh.
Hal yang paling saya ingat dari keluarga tersebut, selain kenangan antara saya dengan Wakil Bupati Trenggalek beserta adiknya, yaitu kata-kata ibu dia (sepupu ibu saya) yang sangat tegas dan ethes berupa meminta saya untuk menyapu halaman rumah nenek saya. Entah, kenapa dengan refleks alias spontan saya mau menuruti permintaan beliau secara sigap. Walau, masa itu saya nyapunya agak asal-asalan. Sebenarnya, masih ada kenangan lain lagi tapi tak terkait dengan topik tulisan ini.
Perlu ditekankan dahulu, tulisan saya ini bukan maksud hendak "mengaku-aku" ataupun menjilat kerabat yang hidupnya telah sukses dan penuh gemilang. Bukan itu poin yang ingin saya sampaikan kepada pembaca. Sebaliknya, saya tak pula iri/dengki lantaran punya saudara sedarah yang posisinya melejit terbang tinggi. Baik dalam aspek ekonomi, jabatan, popularitas, maupun pengaruh di tengah-tengah masyarakat. Sungguh saya tidak ada apa-apanya.
Salah satu hal yang ingin saya utarakan yaitu dia memang sudah tampak sekali punya pendirian dan berjiwa politik sejak dahulu. Sangat terlihat dari gerakan tubuh di kala berjalan maupun berkomunikasi, cara bicara yang sangat irit, dan punya mental super. Terbukti, beberapa kali di masa itu saya sempat terintimidasi. Saya begitu kagum pada keteguhan hatinya. Wajar saja ketika sekarang dia menjadi politisi, menyusul karir ayahnya yang juga pernah menjadi anggota DPR RI (DPR Pusat).
Alasan berikutnya, kenapa curhat ini ditulis? Tidak lain berharap semoga karir Wakil Bupati Trenggalek bertambah moncer atau bersinar. Betapa saya sangat bahagia melihat orang-orang yang pernah duduk bersama di dalam kisah hidup saya hidupnya cemerlang. Kendati demikian, semoga tulisan ini bisa menjadi nasihat (baca: pengingat) bagi dia (kalau dia baca) supaya tetap menjaga amanah dengan baik. Tetaplah berhati-hati. Selamat telah menjadi Wabup. Maaf ucapannya terlambat.
Saya amat sadar, mungkin dia lupa tentang kejadian hitung-hitungan duit di atas. Bahkan, barangkali sama sekali enggak ingat saya (lalai atau lengah) yang juga bagian dari kerabatnya. Saya tidak terlalu pusing dengan itu. Bagi saya, sekadar pernah duduk bareng dengan dia di masa kecil dulu merupakan sebuah kenangan yang sangat berkesan. Setidaknya, dalam hidup ini saya pernah berdekatan dengan salah satu tokoh masyarakat.
Saya memang begitu. Ini adalah garis takdir saya. Kalau saya ceritakan kenapa tidak dekat dengan sejumlah kerabat atau keluarga? Andai saya ceritakan secara rinci, itu semua dapat berkonsekuensi meng-ghibah dan merendahkan martabat beberapa insan. Doakan saja saya mati dalam keadaan husnul khotimah, terbebas siksa kubur maupun azab-azab lain setelah kematian, tidak dihisab, dan masuk ke dalam surga Firdaus. Aamiin ya Allah.
Saya tak ingin mengumbar aib siapapun, sebagaimana aib saya juga tak mau diumbar oleh pihak manapun.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Cerita Pribadi di Masa Lalu, Saya Pernah Duduk Satu Meja Berhadap-hadapan dengan Wakil Bupati Trenggalek Sambil Menghitung Uang Bersama"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*