Banjirembun.com - Ada sebuah pernyataan konyol "Hutangmu adalah semangatmu!" Sungguh kalimat seperti itu teramat naif. Sebab, kalau memang ingin cari penyemangat kenapa harus berhutang? Bukankah masih terdapat sejumlah cara lain guna menyemangati diri sendiri supaya giat dan tetap serius bekerja keras? Apalagi, ditemukan beberapa orang yang sudah berhutang walau kelihatannya bahagia tetapi ternyata hatinya sangat rapuh. Lebih lemah serta rentan patah ketimbang ranting kering.
Zaman dulu, sebelum adanya media elektronik modern (TV, komputer, HP, dan lain-lain) orang memutuskan berhutang disebabkan lantaran terpaksa. Itupun duitnya dipakai untuk kebutuhan pokok seperti biaya sekolah, makan sehari-hari, dan berobat ke pusat layanan kesehatan. Berbanding terbalik dengan masa sekarang. Di mana, manusia berhutang tujuannya memenuhi gaya hidup. Paling tidak, demi bisa memanjakan diri dalam menjalani hidup.
Baca juga Memahami Dana Darurat dengan Benar, Agar Terhindar Hutang dan Jadi Beban Orang Terdekat
Media sosial (akses internet yang mudah dan murah) telah merubah pola hidup manusia. Perilaku mereka jauh lebih "liar" daripada era dahulu. Banyak yang terkecoh/terpancing/terperdaya/terperosok akibat mengakses medsos hampir setiap hari. Masing-masing berlomba dan unjuk diri di medsos dengan cara posting status foto dan video. Nahasnya, terkadang apa yang ditampilkan itu justru berbanding terbalik antara di dunia maya dengan realita.
Ketika di medsos tampak hidup sukses dan bahagia. Namun, fakta di lapangan tatkala di rumah nyatanya cuma rebahan. Hidupnya tiada guna alias jadi beban keluarga saja. Lebih tragis lagi, sehari-hari dipenuhi tangisan dan ratapan. Dengan kata lain, apa-apa yang ditunjukkan di medsos hanya kepalsuan. Bahkan, demi bisa terlihat jadi "orang berhasil" nekat berhutang ke sana ke sini serta kredit/mencicil. Ujung-ujungnya berakhir pada penyesalan tiada henti.
Misteri Hutang yang Pola dan Cara Kerjanya Mudah Ditebak
Sebenarnya, semua yang ada di kehidupan ini memiliki pola atau alur. Dengan memahaminya, bakal membuat manusia jadi mampu menebak ataupun mengantisipasi setiap risiko yang akan menghadang. Salah satunya tak terkecuali yaitu terkait masalah hutang. Maksudnya, hukum sebab-akibat orang yang berhutang dengan yang menghutangi pasti terjadi. Misalnya, orang yang hutang mengalami kesulitan atau malah enggan membayar hutangnya bakal menyebabkan jalan hidupnya semakin rumit.
Orang yang sejak akad (transaksi) berhutang sudah berniat tak membayar/melunasi atau menunda-nundanya berakibat membebani diri. Mau tampil muka tembok, bandel, dan mental baja seperti apapun tetap berpengaruh pada ketenangan jiwa. Bahkan, dengan meninggalkan Tuhan dan berusaha merubah diri setara dengan iblis sekalipun tetap enggak berpengaruh. Bagaimanapun, sejahat-jahatnya insan di dalam sanubari masih terdapat nilai-nilai manusiawi.
Ilustrasi memberi hutangan (sumber foto koleksi pribadi milik A. Rifqi Amin) |
Apalagi, bagi mereka yang sedari awal agar mendapatkan hutangan melakukan berbagai cara, termasuk merendahkan diri. Di antaranya meliputi meratap dengan linang air mata, memelas, memohon-mohon, memberi janji, sampai nekat bersumpah terhadap calon pihak yang rela jadi piutang. Asumsinya, selain terbebani hutang duit, mereka juga merasa malu menanggung kewajiban dan tanggung jawab akibat ucapan-ucapan dan mimik muka sedih saat meminta hutangan.
Sesudah itu, mereka yang juga terlanjur bersumpah demi Tuhan maupun membawa-bawa ajaran agama ternyata sama saja dengan yang lain. Yakni, ogah membayar hutang. Mereka menghindar, mengelak, bersandiwara, sulit dihubungi (memblokir serta mematikan telepon), sampai menghilang secara fisik ataupun di dunia maya. Nahas, berhutang tak lebih dari 10 juta rupiah membuat mereka lari dari kenyataan. Menjalani hidup dalam ketidakpastian karena main kucing-kucingan.
Hasilnya, orang-orang yang enggan maupun yang tak mampu membayar hutang di atas hidupnya tambah susah. Hutangnya makin hari semakin bertambah ke pihak lain. Bukan cuma gali lubang tutup luang. Lebih parah, merasa ketagihan untuk senantiasa berhutang di kala hendak menyelesaikan masalah keuangan. Bagi mereka, dengan berhutang diyakini sanggup untuk mengatasi dan membantu persoalan yang sedang dihadapi. Hutang yang semestinya mengatasi masalah malahan makin memperberat.
Alhasil, sudah tertebak. Hidup mereka jadi terisolir (terkucil, terjepit, atau terpenjara). Mau keluar merasa malu dan takut dikejar-kejar oleh orang yang menagih hutang. Hubungan dengan keluarga, tetangga, dan teman kerja juga menjadi renggang. Intinya, hidupnya menjadi tak tenang. Diimbuhi lagi berupa memaki-maki atau marah pada Tuhan. Menuduh Dia Yang Maha Kaya tidak adil dalam membagi rezeki. Begitu pula, jiwanya menjadi emosional.
Berbanding terbalik dengan orang yang berhutang tetapi punya keseriusan dan sungguh-sungguh membayar atau lebih bagusnya melunasi sebelum/sesuai tempo kesepakatan. Hidupnya jauh lebih tentram dan penuh rasa puas diri. Pada akhirnya, membikin rezeki mereka jauh lebih lancar. Hubungan dengan Tuhan menjadi lebih dekat. Kualitas hidup menjadi lebih baik. Hidupnya terasa mudah dengan menemukan banyak keberuntungan yang tak terduga.
Ingatlah, siapapun yang dihutangi kalau dizalimi bakal berpotensi mengeluarkan doa-doa yang merugikan pihak berhutang. Doa-doa itulah yang akan semakin memperparah masalah hidup. Sebaliknya, orang yang dihutangi ternyata diperlakukan secara pantas (misal ketika belum mampu membayar hutang langsung mendatangi untuk minta maaf serta minta keringan untuk mencicil) akan memberikan keberkahan tersendiri. Orang yang punya piutang tersebut merasa dihargai.
Baca juga Hutangmu Menunjukkan Seberapa Besar Harga Dirimu
Disarankan, kalau merasa kelak sukar membayar hutang sebaiknya tak perlu berhutang. Selalu sadari kaidah ini "Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah." Dengan maksud lain, andai berhutang tapi tak ada niat ingin membayar sama artinya dengan orang yang meminta-minta (mengemis).
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Pahami Misteri Tentang Hutang, Agar Pola dan Cara Kerjanya Mampu Ditebak"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*