Banjirembun.com - Saling sapa merupakan salah satu ciri khas bentuk interaksi sosial dari mayoritas kalangan budaya timur. Baik itu saat berjalan kaki, naik sepeda motor, maupun berkendara mobil. Bahkan, kadang tatkala memungkinkan pun rela berhenti dulu sembari berjabat tangan disertai basa-basi sebentar. Intinya, saling menyapa mampu membuahkan rasa kepuasan serta kebanggaan tersendiri bagi pelakunya.
Merasa puas karena sapaan yang dilontarkan mendapat tanggapan yang sesuai harapan (misal direspon dengan penuh antusias, senyum manis, kepala menunduk, atau bisa pula dengan tangan melambai). Di sisi lain, merasa bangga di kala tegur sapa itu sanggup "membuktikan diri" untuk aktualisasi lantaran menganggap dirinya tidak hidup sendirian. Maksudnya, ada orang yang mau/sudi jadi teman "interaksi kilat" semacam itu.
Baca juga Introvert Belum Tentu Tergolong Ansos Alias Anti Sosial, Justru Ekstrovert Makin Berpeluang Lebih Ganas
Lebih detail, salah satu tujuan orang memberi sapa maupun menyahut sapaan dari seseorang yaitu biar bisa dibilang punya kepribadian ramah, supel, gampang akrab, atau mudah bergaul (bukan tipe manusia kuper). Maksud lainnya, supaya dikira punya banyak kenalan. Setidaknya, agar diketahui orang lain sebagai individu yang punya teman akrab yang loyal dan setia. Di mana, mau menanggapi balik di waktu disapa.
Lantas, kenapa Gisel enggan menyapa terlebih dahulu para tetangga?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu diketahui bahwa curahan hati Gisel ini masih satu rangkaian dengan kisah sebelumnya. Yakni, terkait kehidupan Gisel di kontrakan pada area Perumahan Subsidi. Di sana, Gisel sudah menerangkan panjang lebar tentang hubungan bertetangga yang rumit serta konflik dengan mereka. Padahal, Gisel ingin hidup tenang dengan fokus bekerja di dalam rumah kontrakan saja.
Sebenarnya, ada tetangga yang mengancam (lebih tepatnya menakut-nakuti) kepada Gisel. Dengan ucapan "Kalau tidak mau berbuat baik terhadap tetangga nanti mati yang menguburkan siapa?" Diimbuhi perkataan "Kalau ada apa-apa tetangga juga kan yang bakal direpotkan?" Nah, di situ Gisel mulai yakin dan curiga. Orang-orang yang berkata semacam itu justru yang paling ogah membantu di kala ada musibah.
Kalau memang dia orang baik (tulus tanpa pamrih), enggak bakal koar-koar seperti di atas. Ketika tahu tetangga ditimpa kemalangan pasti bersimpati sekaligus berempati. Walau mungkin hanya sebentar dalam berkunjung ke rumah serta jumlah "bantuan" sekadarnya, itu jauh lebih baik ketimbang tidak datang sama sekali. Lalu, mana kehadiran orang si paling bijak dan memberi nasihat terkait kerukunan tetangga?
Dalam hati orang yang enggan berkunjung ke rumah "Biarin keluarga dan orang yang dekat dengannya saja yang membantu!" Ditambahi "Syukurin! Mau bantu juga males. Dulu dia hidupnya enak-enakan. Sekarang di saat punya masalah, menjadi tahu kan rasanya kesusahan?" Itulah kehidupan orang yang punya penyakit hati seperti iri dan serakah. Di otaknya, hanya mau menangan sendiri dan bermental memeras/matre.
Akhirnya, Gisel putuskan untuk tak mau menyapa sembarangan orang. Selain karena hanya bikin makan hati saja akibat pihak yang disapa memberi respon sekenanya dan asal-asalan, tetapi disebabkan pula ingin menghargai diri sendiri. Buat apa coba memberi "perhatian" dengan bentuk menyapa kepada orang lain tetapi yang bersangkutan seakan-akan tak butuh untuk disapa?
Penyebab pertama Gisel enggan menyapa tetangga adalah ogah dimodusi alias diakali. Salah satu modus akal-akalan tetangga dalam mengeruk/mengeksploitasi ialah berupa sok dekat, ramah, dan seolah dialah satu-satunya orang yang mau berteman baik. Sayangnya, perilaku merapat secara agresif tersebut hendak memanfaatkan saja. Bukan cuma niat berhutang (pinjam uang). Akan tetapi, dikit-dikit pinjam barang. Sedikit-sedikit numpang dan menebeng.
|
Ilustrasi hubungan bertetangga (sumber pu.go.id) |
Kedua, ingin menunjukkan bahwa Gisel tidak nyaman terhadapnya. Rasa ketidaknyamanan tersebut bukan semata-mata akibat tidak suka. Melainkan, ada pencentus lain seperti tidak adanya kecocokan atau sesuatu hal yang bisa mempersatukan. Buat apa "memberi hati" pada orang yang tidak menyukai diri kita? Untuk apa menaruh harapan pada orang yang salah? Bukankah harga diri jauh lebih penting daripada membungkuk pada manusia berhati buruk?
Ketiga, mempersulit hidup dan mempersempit ruang gerak. Bayangkan saja, ketika kebiasaan menyapa terus-menerus dilakukan. Sudah berapa orang setiap harinya harus disapa. Belum lagi ada rasa khawatir "Nanti sapaan aku ditanggapi tidak ya?" Sebuah hal yang memalukan dong, sudah nekat menyapa tetapi dicuekin begitu saja. Belum lagi, tatkala Gisel kelak menjadi terbiasa disapa oleh cowok, tentu berpotensi fitnah tersendiri.
Keempat, tidak kenal dengan tetangga. Menurut Gisel dalam hubungan sosial antara mengenal dengan mengetahui itu berbeda. Seseorang yang tahu seputar tetangganya belum tentu kenal. Sebaliknya, kalau sudah kenal berpotensi bisa tahu bagaimana karakter serta sedikit seluk beluk (latar belakang) maupun prinsip/pedoman/pandangan hidupnya. Untuk apa coba menyapa orang yang ogah Gisel kenali?
Kelima, khawatir tetangga ikut campur atau mengurusi kehidupan pribadi Gisel. Setiap manusia punya privasi masing-masing. Siapapun tidak boleh ikut campur. Bahkan, dalam kategori urusan tertentu, orang tua maupun saudara kandung dilarang KEPO (Knowing Every Particular Object) terlalu jauh. Artinya, mengambil pilihan mendekati orang yang berakhlak buruk dapat berakibat merusak kehidupan diri sendiri.
Keenam, tidak semua orang suka disapa apalagi dalam kondisi tertentu. Enggak seluruh tetangga mau diajak berinteraksi. Sebab, mereka sudah sibuk dengan kehidupan sendiri sehingga tak sempat untuk berbasa-basi. Bagi mereka, menyapa bukannya membuat hati jadi puas/lega. Malahan, yang terjadi sebaliknya menambahi beban pikiran. Menurut orang tersebut, timbal balik dalam kehidupan sosial bukan dengan cara saling sapa.
Baca juga Drama Bertetangga serta Tinggal di Perumahan Bersubsidi
Ketujuh, sudah pernah coba disapa beberapa kali tapi diabaikan dengan berpaling muka atau kadang merespon dengan wajah sinis. Tetangga yang berlaku seenaknya sendiri memang perlu dikasih pelajaran biar tahu rasanya tidak diperhatikan. Lagian, biaya hidup dan makan Gisel juga tidak ikut dia. Kalaupun Gisel enggak disapa ataupun tak ditanggepin saat disapa itu bukan masalah. Justru, membikin Gisel jadi ringan karena berkurang jumlah orang yang "wajib" untuk disapa.
Itulah curhat Gisel yang menjelaskan kenapa enggan bertegur sama dengan tetangga. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca semua.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Curahan Hati, 7 Alasan Gisel Enggan Menyapa Tetangga"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*