Banjirembun.com - Inilah alasan kenapa gue memutuskan untuk pilih-pilih teman. Biarlah disebut sok elit lantaran ogah bergaul dengan orang yang punya tipe kepribadian atau karakter tertentu. Toh, tubuh dan akal pikiran ini milik gue. Di mana, tentunya gue sendiri yang kasih makan dan memberi hiburan jiwa tanpa perlu dihutangi atau dibiayai siapapun, kecuali orang tua tersayang. Mau gue arahkan ke mana itu urusan gue. Terpenting, enggak melanggar aturan agama serta hukum negara.
Mulai sekarang gue memilih makin jeli dalam menerima ataupun mendekati seseorang untuk dijadikan teman. Seenggaknya, gue mesti kumpul alias berbaur dengan orang yang punya pandangan orientasi hidup yang sama/mirip seperti yang telah gue jalankan selama ini. Baik itu terkait cara pandang seputar keuangan, keagamaan, prinsip hidup, hobi, aktivitas, produktivitas, inovasi, kreativitas, hingga impian yang dimiliki. Sebab, gue kapok punya teman yang berkarakter/berakhlak jongkok.
Baca juga Hutangmu Menunjukkan Seberapa Besar Harga Dirimu
Salah satu akibat keliru dalam memilih serta memilah teman membuat gue jadi kecewa. Lebih tepatnya, menyesal pada diri sendiri lantaran terlalu percaya dan berbaik hati sudah menghutangi orang yang gue anggap teman. Sebagai info, kami sesama cewek berstatus mahasiswi. Parah banget deh! Saat utang ngotot, bayarnya alot, ditagih melotot, dan dibiarin nyolot. Intinya, dia itu selalu ingkar janji atau berbohong. Ia yang memberi janji, ia pula yang tak menepati. Dia yang menyanggupi, dia juga yang menyanggahi.
Nah, setelah gue telusuri, ternyata "mantan" teman gue itu orangnya pemalas. Lebih gemar bersenang-senang dengan cara cangkruk (nongkrong) bersama teman yang mungkin berkarakter serupa dengannya. Parahnya, hang out atau kongkow itu dilakukan secara bersama-sama dengan laki maupun wanita tanpa terdapat batas norma. Dianggap, sama saja kumpul bersama lawan jenis dengan sesama jenis. Sungguh menyebalkan, gue menghutangi orang yang salah.
Ilustrasi sedang transaksi hutang piutang (sumber pexels.com) |
Lebih dari itu, perilakunya jauh dari kata hidup mandiri. Cewek tersebut sering menggantungkan masalah remeh pada gue. Dia itu model manusia yang pesimis (gampang menyerah). Kepribadiannya menunjukkan kecengengan layaknya gadis kecil yang dimanja orang tuanya. Padahal, setelah gue selidiki lebih detail, kedua ortunya tergolong dari kalangan kelas menengah ke bawah. Sebenarnya, gue enggak peduli dia kaya atau miskin. Bagi gue, hal utama yaitu akhlaknya.
Jika tak bayar hutang maka pantaskah disebut berakhlak mulia?
Mungkin baginya pekerjaan terberat adalah membayar hutang. Untungnya, gue masih punya tabungan yang berjumlah lumayan. Lagian, bokap dan nyokap gue juga masih rutin "secara otomatis" lewat rekening kirim jatah bulanan ke gue. Jadi, sebetulnya yang gue sesalkan bukan semata-mata kehilangan duit tanpa bisa balik lagi. Alasan lainnya karena gue menyesal telah mempunyai teman kayak dia. Udah gue bantu, bukannya bersyukur dan membayar hutang. Justru, bertindak galak sama gue.
Untung saja sesama cewek, kalau dia cowok sudah gue gampar. Gue kejar sampai dapat, yang memang merupakan hak gue. Biar dia tahu bahwa sebagai pria seharusnya punya harga diri, bertanggung jawab, dan peduli pada cewek. Gini-gini gue pernah ikut latihan bela diri sehingga kalau head to head lawan cowok, gue amat berani. Akan tetapi, faktanya semua cowok di kampus minder sama gue. Ogah mendekati gue kalau bukan teman sekelas kuliah ataupun satu organisasi.
Lucunya, ketika gue hendak curhat dengan teman gue yang lain, nahasnya ia juga jadi korban janji palsu pihak penghutang. Gimana mau "membebani" orang lain kalau yang akan dibebani saja tengah terbebani. Alhasil, gue pilih diam saja. Selain, gue utarakan dalam bentuk tulisan seperti ini, tentunya gue sudah melakukan langkah berdoa serta berusaha ridho menerima takdir buruk itu pada Allah Subhanahu wa ta'ala. Hitung-hitung mengurangi dosa-dosa gue.
Boleh dikatakan, sungguh berpiutang (memiliki uang yang dibawa pihak penghutang) itu harus punya kesabaran serta keikhlasan yang luar biasa. Tidak hanya dalam urusan tentang siap kehilangan uang, tetapi mesti bersedia pula kehilangan teman serta dikata-katain kasar tatkala menagihnya. Heran deh, kok ada orang yang di waktu minta berhutang mengemis penuh dramatis. Sebaliknya, di kala ditagih tampak sadis.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Emang Parah Banget Pengalaman Pribadi ini! Utang Ngotot, Bayarnya Alot, Ditagih Melotot, dan Dibiarin Nyolot"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*