Banjirembun.com - Rumah subsidi harganya memang murah, lantaran memperoleh bantuan keringanan dari pemerintah. Baik itu dalam bentuk potongan uang muka alias DP maupun bunga KPR (Kredit Kepemilikan Rumah) yang bersifat tetap sehingga enggak naik-turun (floating). Intinya, rumah subsidi diperuntukan untuk MBR atau Masyarakat Berpenghasilan Rendah.
Bagi kalangan yang belum punya rumah, masih muda (dewasa awal), serta minim wawasan terkait dunia properti ketika masuk area perumahan bersubsidi terkadang heran. Sembari bertanya-tanya dalam hati "Katanya perumahan subsidi, kok rumahnya direnovasi sedemikian mewah?" Kemudian lanjut membatin "Ini penerima subsidi apa enggak salah sasaran? Kenapa mereka berhak dikasih subsidi?"
Baca juga Sebab-sebab Tinggal di Perumahan Subsidi Berisiko Besar Konflik dengan Tetangga
Fakta di lapangan memang seperti itu. Walau sama-sama statusnya mendapatkan bantuan dari pemerintah, nyatanya sebagian mereka hidupnya tetap jor-joran (adu gaya) layaknya warga perumahan non subsidi. Perasaan senasib/setara sebagai penerima subsidi bukan malah bikin mereka bersatu padu, rukun, gotong-royong, dan guyub tetapi yang terjadi kadang terjadi konflik lunak.
Persinggungan dan gesekan lembut di atas merupakan efek dari sejumlah perbedaan di antara masing-masing penduduk perumahan subsidi. Sebut saja mengalami beda dalam bidang pekerjaan (profesi), asal-usul daerah, suku, agama, politik, orientasi hidup (cara pandang, prinsip hidup, tujuan hidup, dan hobi/kebiasaan), hingga karakter individu. Ada masalah kecil saja, sudah sanggup jadi pemicu keretakan.
Terdapatnya rasa iri, konflik internal keluarga, bertebarnya fitnah, pelayanan/fasilitas yang tidak dibagi adil, sampai hal-hal kecil pun mampu memunculkan konflik antar tetangga. Siap-siap untuk "makan hati" bagi yang tak terbiasa menghadapi kehidupan bertetangga di perumahan bersubsidi. Sebab, drama bertetangga serta tinggal di perumahan bersubsidi bukan seindah yang diperkirakan.
Cerita Pribadi, Mengontrak dan Bertetangga di Perumahan Subsidi
Manusia play victim, manipulatif, dramatis, penyebar fitnah, pembohong, tukang hutang, curang saat arisan, oportunis, menangan sendiri (arogan), sok mengatur, sok tahu (terburu-buru menyimpulkan), memutarbalikan fakta, hingga berperilaku "lempar batu sembunyi tangan" sangat berpeluang ditemukan pada perumahan bersubsidi. Mereka itu hanya jadi beban, benalu, parasit, atau sampah di sana.
Umumnya, orang-orang yang berkelakuan "tenang" tanpa rasa bersalah ketika berbuat seenaknya sendiri yaitu golongan akamsi (anak kampung sini). Di mana, maksud akamsi tersebut bukan melulu mesti satu desa atau sekampung. Melainkan satu kecamatan. Seenggaknya, desa sebelah yang lokasinya mepet tapi beda kecamatan juga disebut akamsi.
Kawasan perumahan bersubsidi pemerintah (sumber Kementerian PUPR) |
Penghuni yang berstatus sebagai perantau atau kelahiran luar kota, bakal jadi bulan-bulanan. Apalagi kalau ternyata didapati non akamsi itu sikapnya ogah "menurut," bakal bikin para akamsi bertindak makin brutal. Uniknya, ada akamsi yang di "tanah kelahirannya" tak disukai para tetangganya justru tidak taubat tatkala sudah pindah. Pilih balas dendam, melampiaskan penderitaan yang dulu dialami.
Terbukti, Gisel yang kampung halamannya berasal dari Jawa Tengah menjadi "target operasi" para akamsi itu. Walau sebenarnya status Gisel bukan pemilik rumah, hanya mengontrak, nyatanya enggak bikin mereka punya belas kasihan untuk memberi ketenangan hidup, walau sehari saja. Hampir setiap waktu Gisel dikrecokin, dirusuhi, diteror, atau diusilin. Ada saja kelakuan nista yang mereka perbuat.
Mulai dari menyetel musik bersuara keras, karaoke (nyanyi pakai sound system), menggeber-geber knalpot motor, melempari batu ke atas genteng, merendahkan, meremehkan, menghina, sewot, berpaling muka, membelakangi (balik badan), membiarkan anaknya berteriak maupun menangis-nangis dalam durasi teramat lama, menghibah, memfitnah, mengucilkan, dan masih banyak lagi.
Aksi bejat berikutnya terdapat tetangga yang buang serpihan sampah atau barang bekas berukuran kecil (seperti bungkus jajanan, putung rokok, serpihan mainan yang rusak, kertas, dan gelas plastik air mineral) di halaman kontrakan Gisel. Begitu pula, sungguh ringan tangan untuk menaruh jemuran pakaian di depan rumah tanpa izin. Emangnya Gisel salah apa sehingga kalian tega begitu?
Parahnya, ada ibu-ibu agak sepuh (paruh baya) yang hendak berhutang pada Gisel. Namun, tentunya Gisel tolak secara halus nan sopan. Sayangnya, ibu-ibu berambut gelombang menjuntai hampir sebahu itu besoknya langsung jahat pada Gisel. Bukan saja tak lagi menyahut saat disapa, tapi sadisnya ia menyebarkan fitnah tentang kehidupan Gisel. Yakni, utamanya tentang hubungan Gisel dengan seorang cowok.
Dia kira, apa Gisel dapat duit tinggal keruk pakai serok? Begitu enaknya minta hutangan. Gisel orangnya pekerja keras, hal tersebut demi memperoleh uang mencukupi untuk dikirimkan ke keluarga di Kota Tegal maupun disisihkan sedikit buat tabungan. Maklum saja, kebanyakan orang di sana pengangguran serta pemalas. Jadi, tidak tahu rasanya bekerja keras cari uang dan banting tulang secara sungguh-sungguh.
Belum lagi ada anak tetangga, usia remaja SMP, yang minta akses tethering (berbagi koneksi internet melalui hotspot di HP). Satu kali Gisel beri password, tak terduga, besoknya datang lagi. Tampak ketagihan. Singkat cerita, Gisel putuskan tak membiarkan si anak makin nglunjak. Gisel cari alasan agar dia menyadari betapa mahalnya kuota internet. Nahas, setelah itu Gisel disindir oleh orang tuanya sebagai manusia pelit.
Gisel akhirnya memutuskan pindah kontrakan. Alhamdulillah, ada pihak yang mau meminjamkan rumah untuk Gisel tinggali. Gratis tis. Seketika Gisel pamit pada pemilik rumah kontrakan. Jika terus-terusan hidup di sana maka Gisel takut bikin mati muda gara-gara sulit tidur di malam hari akibat ulah mereka. Setidaknya, bakal banyak penyakit yang berdatangan karena siksaan lahir batin.
Baca juga Lebih Baik Keberadaan Gisel Tidak Dianggap Sama Tetangga, Daripada...
Kelak, semoga Gisel bisa membeli rumah di kawasan perumahan yang memadai untuk tumbuh dan kembang anak-anak. Gisel sangat khawatir membesarkan anak di lingkungan yang seperti itu. Selain bikin capek fisik, berisiko pula lelah jiwa (mental). Generasi Islam harus dikader di tempat yang tepat. Jangan sampai sedari dini mereka terkontaminasi oleh sesuatu yang tak layak mereka rasakan oleh panca inderanya.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Drama Bertetangga serta Tinggal di Perumahan Bersubsidi"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*