Banjirembun.com - Menjalani hidup sebagai manusia yang enggak punya apa-apa sungguh menyusahkan dan menyulitkan. Hal itu bukan cuma tentang akibat tidak memiliki wawasan, pengalaman hidup, jati diri, ilmu pengetahuan, dan bakat yang dilatih. Lebih dari itu, disebabkan lantaran tak empunya harta atau barang mewah. Misal, mempunyai kendaraan keluaran terbaru yang baru turun dari dealer.
Orang-orang awam yang cenderung polos (lugu, apa adanya, bersahaja, atau tidak banyak tingkah) akan gampang menjadi korban intimidasi dan agresivitas pihak tertentu. Dengan begitu mudahnya, mereka tunduk penuh pasrah tatkala diperlakukan menyakitkan oleh oknum-oknum yang tak punya simpati dan empati. Bahkan, dengan rela mereka mau saja membayar agar urusannya dipermudah dan dipercepat.
Baca juga 9 Ciri-ciri Pekerjaan Bikin Menyiksa Jiwa Sehingga Layak Ditinggalkan
Hampir dalam urusan apapun (formal maupun non formal serta di pelayanan bisnis berbayar maupun pelayanan publik), individu yang tampil sederhana dan terlihat orang tak berada bakal mendapatkan perlakuan buruk. Minimal berupa diremehkan, disepelekan, alias tak dianggap. Dia berisiko sulit memperoleh akses yang mudah dan cepat untuk memenuhi kebutuhan maupun kewajiban tertentu.
Contoh, ketika terdapat orang kecil membeli sesuatu di toko atau manajemen perkantoran yang menjual barang/jasa dengan nilai transaksi jutaan berpeluang diacuhkan oleh para pegawai alias pekerja. Para karyawan itu mengira bahwa orang yang tampil minimalis tersebut enggak sanggup membeli produk di lokasi tempat kerjanya. Kalau pun beli, mereka duga hanya buang-buang waktu karena banyak bertanya saja.
Kisah Nelangsa Gue, Dihina oleh Ibu-ibu Saat Lamaran Kerja di Kantornya
Kenalin, nama gue Amsirandah Marissa. Gue lebih seneng dipanggil Asmiranda (tanpa huruf H). Latar belakang kehidupan gue cukup absurd atau konyol. Untuk tahu tentang gue selengkapnya bisa baca pada tulisan gue yang lainnya di situs *Banjir Embun* ini. Salah satunya, gue orangnya suka pada hal-hal baru. Termasuk pula, gemar melamar pekerjaan ke berbagai lokasi yang membuka lowongan maupun tak buka sekalipun.
|
Ilustrasi sedang wawancara lamaran kerja (sumber pexels.com) |
Betapa sebuah tantangan tersendiri bagi gue, yang sebenarnya gue orangnya terbilang dimanja sama ortu, tetapi bertingkah anti kemapanan. Artinya, gue memang orangnya tergolong aktif. Enggak suka berdiam diri dengan rebahan berlama-lama di kosan. Oh iya lupa, gue kasih tahu dulu. Gue merupakan mahasiswa yang kos. Jadi, orang tua enggak begitu tahu seperti apa aktivitas gue di Kota Malang ini.
Nah, suatu hari gue tiba-tiba kepikiran untuk melamar pekerjaan. Langsung gue cari-cari dong lamaran pekerjaan di papan pengumuman Kantor Pos (PT Pos Indonesia). Tak sekedar itu. Gue juga aktif cari-cari di internet untuk tahu kabar tentang pihak yang sedang cari pekerja. Tentunya, enggak ketinggalan bertanya-tanya pada temen-temen, barangkali mereka punya info lowongan kerja.
Singkat cerita, gue menemukan peluang pekerjaan, yang waktu itu gue sangat yakin betul "pasti" diterima. Sebab, gini-gini gue sudah lumayan banyak pengalaman kerjanya. Walau sebenarnya, semua enggak ada yang berdurasi lama. Soalnya, gue bekerja untuk cari pengalaman hidup. Langsung deh, gue buat surat lamaran kerja yang isinya disesuaikan dengan apa yang dibutuhkan oleh calon penerima pegawai baru.
Berhubung terlalu PD (Percaya Diri), gue enggak banyak persiapan yang tampak sempurna seperti biasanya. Gue akhirnya memutuskan untuk berpenampilan sederhana tapi tetap sopan. Selanjutnya, gue sewa sepeda motor di tempat persewaan di salah satu area kios di Kota Malang. Sengaja gue pilih motor butut. Gue memesan pada pihak penyewa untuk memberikan motor lama tahun 2010 ke bawah.
Entah dapat inspirasi dari mana, mungkin salah satunya dari cerita pendek yang dulu pernah gue baca, sehingga gue nekat berpura-pura tampil dengan mempertontonkan diri sebagai orang yang benar-benar butuh kerja. Pikir gue kala itu, kalau gue menunjukkan "keterbatasan" membikin pihak manajemen bakal kasihan lantas mau menerima gue kerja. Apalagi, berdasarkan informasi yang gue dapat calon bos gue ialah ibu-ibu.
Di benak gue, ibu-ibu yang rambutnya agak keriting dan sebagian telah berwarna putih itu pasti iba dan berbelas kasihan terharu saat melihat tampilan gue. Apalagi antara lokasi parkiran dengan tempat wawancara kerja tidak tertutup tabir. Maksudnya, tempat kerja itu menggunakan kaca transparan untuk memisahkan antara luar dengan dalam ruangan. Diimbuhi, biar udara dari AC tidak berhamburan keluar.
Faktanya, angan-angan tak sesuai kenyataan. Sesudah memarkirkan motor jadul itu, gue disambut "buruk" oleh satpam yang berjaga. Diperparah lagi, karyawan front office begitu sewot sekali. Mimik muka dan gaya bicaranya teramat menjengkelkan. Gue seperti enggak ada harga dirinya. Gue seolah dipandang sebagai manusia buangan. Dari situ, sebetulnya gue telah merasa kagak enak. Ada firasat buruk.😁😃😄
Sayangnya, mau mundur pun segan. Lagi pula, gue sudah berkomitmen untuk menambah pengalaman hidup. Siapa tahu suatu hari nanti sangat bermanfaat bagi kehidupan gue. Alhasil, diharapkan terdapat kesan tersendiri yang mampu jadi bagian dalam upaya pembentukan jati diri gue kelak. Lalu gue termenung "Sudah terlanjur basah harus dituntaskan secara totalitas. Jangan setengah-setengah. Bukankan ini keputusan gue sendiri?"
Datang waktunya gue dipanggil. Dengan gerak cekatan gue masuk ruangan. Ternyata memang benar, yang mewawancari gue langsung si bos yaitu seorang ibu-ibu yang gue sebut di atas. Setelah memeriksa berkas lamaran gue, ibu-ibu itu menyuruh gue memperkenalkan diri. Penuh semangat gue langsung ingin menjelaskan panjang lebar. Nahasnya, belum juga tuntas si ibu-ibu seketika main potong saja.
Sembari melempar dokumen lamaran, dia berujar "Ini maksudnya apa? pengelaman kerja kamu kok begini? Sory ya mbak, ini tempat kerja profesional. Bukan untuk cari pengalaman, tempat belajar, bukan balai pelatihan! Jangan main-main kalau melamar. Sebab kita butuh orang yang benar-benar serius untuk kerja, supaya kita tidak rugi!"
Gue langsung medunduk diam tak berkutik. Apes, baru kali ini gue menemukan orang kaya gitu. Kagak seperti kantor kerja lain, yang walau sama-sama menolak lamaran kerja tapi mayoritas kata-kata yang dituturkan sangat sopan dan ramah. Setidaknya, meski kata-katanya tak halus nyatanya masih berkategori wajar dan bisa dimaklumi. Lah, emak-emak di atas begitu judes banget. Maksudnya apa coba?
Gue jawab "Mohon maaf buk, bukan maksud saya seperti itu. Kalau ibuk masih berkenan memberi kesempatan bagi saya kerja di sini, saya akan tunjukkan kemampuan lain yang belum saya sebutkan di surat lamaran."
Dengan penuh amarah dia jawab "Ya tetap saja, seharusnya kamu sudah tunjukkan semua apa yang kamu punyai di CV ini!" Gue akui sih terkait CV (Curriculum Vitae) yang gue buat enggak sesempurna sesuai dengan proses melamar di lokasi lain. Namun, sepertinya dia sudah menutup peluang gue untuk kerja di sini semenjak gue masuk ruangan tersebut.
Sebagai basa-basi, gue ingin menunjukan diri sifat tidak menyerah. Kemudian gue berkata "Mohon maaf bu, masih bisakah saya dites dulu kemampuan yang saya maksud tersebut?"
Dia menjawab "Tidak perlu, sudah cukup!"
Gue tanggapi "Baik buk, terima kasih sudah memberikan kesempatan saya untuk ikut wawancara."
Gue langsung pamit. Menuju keluar gedung disertai tatapan para pekerja di sana yang seakan menonton gue dengan penuh rasa "puas" dan sinis. Meski lamaran itu "sekadar" sandiwara tapi tetaplah membuat hati kecewa. Akan tetapi, hal itu juga bisa menjadi cambuk bagi gue agar terus memperbaiki diri. Hitung-hitung untuk melatih kekuatan mental dan mengasah kesabaran diri.
Selang beberapa hari. Lamaran gue di tempat lain alhamdulillah berhasil diterima. Dengan gaji yang jauh lebih tinggi. Ditambah, perlakuan menyenangkan dari pihak atasan di kala proses wawancara penerimaan pegawai baru. Inilah yang disebut usaha yang sungguh-sungguh pantang menyerah pasti membuahkan hasil. Biarlah hasil yang mengkhianati usaha. Jangan sampai putus asa yang berujung pada "usaha yang mengkhianati hasil."
Baca juga Karyawan Kantoran Jangan Menyepelekan Office Boy, Ketimbang Menyesal Kayak Begini
Bukan pada seberapa banyak jumlah lamaran yang dikirimkan maupun telah berapa lama berusaha mendapatkan pekerjaan. Melainkan, seberapa kuat dan terus berusaha mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan diri. Tidak peduli berapa ratus surat lamaran disebarkan serta tak peduli perlu bertahun-tahun untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai harapan.
Pelajaran yang dapat gue ambil dari peristiwa ditolaknya lamaran kerja tersebut adalah "Carilah tempat kerja yang mau menghargai. Bukan hanya yang membutuhkan. Alasannya, kadang seseorang hadir ketika butuh tapi lupa caranya menghargai."
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Pengalaman Pribadi, Lamaran Kerja Ditolak Mentah-mentah karena Pakai Kendaraan Butut"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*