Banjirembun.com - Kenalin, nama gue Asmirandah Marissa. Gue lebih suka dipanggil Asmiranda (tanpa huruf H). Dilahirkan dan dibesarkan di daerah Jabodetabek. Untuk sementara waktu, lokasi pasti alamatnya di mana, gue umpetin dulu. Sebab di wilayah itu, rumah orang tua tak cuma satu unit. Ada beberapa titik. Maaf, bukan maksud pamer, karena hal tersebut nanti akan terkait dengan cerita pengalaman gue pribadi ini.
Gue seorang mahasiswi di Kota Malang yang sedang aktif menemukan jati diri. Tentunya pula, tengah giat berusaha keras menentukan arah kehidupan ke depan. Ditambah, sedari usia bayi gue udah diajarin sama ortu untuk memahami dan memandang kehidupan secara benar. Masalah pendidikan keuangan, kesehatan mental, dan ilmu pengetahuan pasti tak akan tertinggal.
Baca juga 7 Tanda Seorang Karyawan Akan Segera Dipecat
Di usia 20-an tahun sekarang ini, gue terbilang sudah banyak memiliki pengalaman hidup. Salah satunya, dalam bidang mencari duit alias bekerja. Maaf bukan maksud sombong. Sekali lagi, itu lantaran masih terkait dengan alur kisah yang gue tulis. Di mana, beberapa bidang pekerjaan sudah gue jalanin. Dari bawahan yang levelnya terendah hingga "hampir" tingkat manajer sudah pernah gue coba semua.
Gue pernah jadi tukang ngepel lantai kantin sekolah, boleh dibilang semacam office girl. Sudah menjalani hidup sebagai sopir pribadi. Ngelesin atau memberi bimbingan belajar anak SD secara pribadi di rumah ortunya. Telah berpengalaman menjadi tim marketing lapangan yang langsung bersinggungan dan berhubungan dengan konsumen. Itu masih sebagian saja, belum seluruhnya.
Nah, bagaimana tentang pengalaman pribadi ketika gue dipecat dari tempat kerja secara halus? Jadi, kisahnya saat itu gue lagi kerja di bidang properti. Lebih tepatnya terkait jual beli rumah. Bukan rumah kelas atas sih. Bisa disebut rumah level menengah. Harga rumahnya di atas 750 juta hingga 1,75 miliar yang lokasinya di perumahan terkenal. Gaji dan insentif bagi gue sangat gede.
Nahas, penghasilan kerja berbanding lurus dengan risiko. Bukan hanya berdampak pada menguras waktu, tenaga, pikiran, dan kewarasan jiwa. Lebih dari itu, hubungan teman jadi renggang. Malah, parahnya ketaatan beragama ikut tergadaikan. Contoh kecilnya (ingat, tapi ini bukan masalah "kecil" ya) berupa gue kadang mesti melepas jilbab. Padahal, selama ini gue telah pakai jilbab sedari sekolah SD.
Sejujurnya, gue nekat cari kerja di perusahaan properti (developer perumahan) bukan untuk cari duit. Alasannya, kiriman bulanan dari ortu sudah lumayan. Nominalnya enggak berlebihan tapi bisa nabung. Bukan pula semata-mata ingin cari pengalaman pekerjaan. Namun, gue memutuskan kerja di sana gara-gara ingin melupakan seseorang. Yakni, sosok cowok yang telah menusuk hati gue sehingga membekas luka.
Lelaki itu, teramat gue sayangi. Gue pun yakin, sebenarnya dia juga merespon balik terhadap sinyal-sinyal yang gue kirim padanya. Mirisnya, apa entah dia punya sifat playboy sehingga hatinya berlabuh "merangkap" pada banyak wanita? Atau emang pengecut sehingga nyalinya begitu tumpul mendekati gue. Entahlah, ujungnya dia malah menjauh dari gue tanpa satu kata patah pun terucap.
Mungkinkah dia minder kepada gue? Sebab, pria tersebut sudah tahu latar belakang nasab gue. Di mana, dia berasal pula dari Jakarta. Berstatus sama kayak gue, masih sebagai mahasiswa. Kita seangkatan. Dia orang yang punya wajah manis, ceria, murah senyum, tinggi tegap, bentuk tubuh ideal, tatapan matanya teduh, dan alis matanya itu loh bikin gue terkesima.
Mungkin berawal dari niat yang sudah enggak bener itu, menyebabkan gue berujung diusir secara halus dari tempat kerja. Dengan kata lain, kantor pelayanan jasa properti itu hanya gue jadiin tumbal untuk melarikan diri dari masalah percintaan. Inilah yang bikin gue sangat menerima atau ridho ketika akhirnya mereka "membuang" gue secara sopan. Apalagi, sebenarnya gue telah lama ingin keluar.
Ceritanya begini, gue udah bekerja selama 3 bulanan. Durasi segitu menurut gue lama banget. Enggak betah. Mau memutuskan resign (mengundurkan diri) juga malu, lantaran gue dulu minta pekerjaan sama teman yang juga bekerja di sana sampai ngemis-ngemis segala. Bukan teman dekat sih, cuma pernah jadi teman saat sekelas kuliah bareng. Itu pun kenalnya enggak begitu lama.
Eh ternyata, emang di kantor perusahaan jasa jual-beli properti tersebut lagi butuh pegawai baru. Sedang membuka lowongan pekerjaan. Persis sesuai peribahasa "Pucuk dicinta ulam tiba." Manajer butuh karyawan baru dan gue butuh pekerjaan untuk mengisi waktu luang. Tentunya, pasti pula ingin membuang ingatan pada si "mantan" (mantan incaran, bukan mantan pacar).
Sebagai pegawai yang belum berpengalaman di bidang properti, gue sebenarnya butuh bimbingan dan semacam pendampingan. Justru hal sebaliknya terjadi. Gue malah jadi sasaran pengucilan dan intimidasi oleh para pekerja lain. Entah apa maksudnya? Apa gara-gara bapak manajer dan bos besar terlihat respek sama gue? Atau jangan-jangan mereka takut tersaingi sama kehadiran gue?
Gue usahakan tetap betah dan kuat bertahan kerja di sana. Sayangnya, suasana tempat kerja sudah enggak kondusif. Banyak fitnah yang menyerang gue. Baik itu dilakukan by design (sengaja direncanakan) secara dramatis maupun dengan mendadak menunggu momen waktu apes gue tiba. Sadisnya, termasuk teman gue yang membantu "memasukkan" ke sana pun ikut-ikutan menjauhi gue.
|
Ilustrasi dipecat dari pekerjaan secara halus oleh perusahaan (sumber freepik.com) |
Alhasil, gue putuskan untuk mengundurkan diri saja secara lisan langsung ke pihak manajer. Lagi pula, ketika berhasil diterima kerja di sana juga enggak ada hitam di atas putih. Tanpa disertai kontrak kerja. Bisa dikata, gue dianggap sebagai pekerja magang yang masih belajar. Mungkin yang mereka perhatikan bukan pengalaman kerja gue. Akan tetapi, postur tubuh gue dan antusiasme gue tatkala lamaran.
Gini-gini, walau gue tepos tapi wajah gue cantik dan berkulit putih bersih. Maaf, ini bukan sombong tapi hendak membangun kepercayaan diri. Terbukti, tatapan mata manajer dan bos besar begitu bersemangat saat mewancarai gue di kala sesi penerimaan pegawai baru dahulu. Lagian, di kampus pun gue tergolong mahasiswa yang jadi gebetan banyak lelaki. Termasuk dosen muda yang masih jomblo ternyata sama saja.
Seharusnya, yang menangis gara-gara cinta bukan gue, tetapi lelaki itu yang telah mengacuhkan gue begitu saja. Semestinya, yang patut dikasihani bukan gue, tapi pria itu yang telah menyia-nyiakan perasaan gue yang begitu sungguh-sungguh tulus cinta dia. Sebab, bukan sekadar 6 bulan ataupun satu tahun gue "setia" menunggu kata-kata cinta darinya.
Baca juga 8 Sikap Pekerja yang Pantas Dipecat dan Digantikan dengan Mesin atau Robot
Gue melempar kode-kode perasaan ketertarikan padanya sudah 3 tahun. Nyatanya, dia diam begitu saja. Tak ada keberanian untuk mengajak ngobrol. Bahkan, menatap mata gue terasa berat pula bagi kepalanya untuk tegak. Bayangkan saja. Cowok macam apa yang sungguh tega membikin wanita seperti gue ini menderita gara-gara cinta. Hati-hati nanti menyesal di kemudian hari.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Pengalaman Pribadi, Dipecat dari Tempat Kerja Secara "Halus""
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*