Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Menjadi Pendakwah Harus Mandiri Ekonominya, Agar Tak Tersandera Pengikutnya

Banjirembun.com - Boleh-boleh saja para tokoh agama menerima hadiah, hibah, atau pemberian dari jamaah. Baik itu berupa makanan, fasilitas (penginapan, pengawalan, hingga transportasi), bingkisan, maupun uang tunai. Namun, secukupnya saja. Nah, ketika pemberian dari umat Islam sudah terlihat berlebihan sehingga tampak tak wajar sebaiknya ditolak secara makruf.


Takutnya, tatkala pendakwah Islam menerima pemberian yang berlebihan bakal berakibat ketagihan sehingga penuh harap (rakus dan tamak) orang lain juga memberi dengan nilai sama besarnya. Lebih parah, lantaran sudah merasa "berhutang budi" membikin tokoh agama itu menjadi tidak independen lagi. Justru, alam pikir dan kebijakan yang dianggap "suci" oleh masyarakat menjadi amat tampak tersandera.

Baca juga 5 Alasan Umat Islam Indonesia Harus Kaya Raya

Menjadi seorang dai sebaiknya punya sumber penghasilan sendiri agar tidak menggantungkan kebutuhan hidup dari isi amplop para pengikutnya. Enggak harus langsung berupa bisnis besar. Barangkali bisa dengan cara mendirikan lembaga pendidikan keagamaan yang berbayar khusus orang-orang mampu (subsidi silang). Kalau bukan seperti itu, bisa dengan bentuk usaha pertanian dan peternakan.


Intinya, para pemuka agama Islam wajib memiliki sumber duit sendiri agar terlihat berwibawa di mata jamaahnya. Bayangkan saja, ketika terlalu menggantungkan hidup dari pemberian jamaah bagaimana tidak membuat lidah mereka menjadi berat untuk menasihati atas kesalahan yang dilakukan pengikutnya. Apalagi, nyatanya hadiah yang diterima sungguh fantastis.

Pebisnis sukses menurut Forbes Middle East (sumber gambar)

Harus diakui, sebagai seorang dai yang hidup di zaman modern yang disebut sebagai peradaban "kaleng" seperti sekarang ini memang dituntut punya penampilan sempurna. Mesti berpakaian terbaik (rapi, klimis, dan "bernilai"). Memakai kendaraan terbaik. Menggunakan HP terbaik. Serta, memiliki jam tangan terbaik. Tentu, semua harus bersumber dari usahanya sendiri. Berdikari dan mandiri ekonominya.


Bangga itu bukan karena menerima atau diberi sesuatu dari orang lain. Sebaliknya, bangga diri (bukan ujub dan takabur) itu saat mampu memberikan sesuatu kepada orang lain. Di mana, sedekah yang diberikan itu tentu tak memiliki maksud apa-apa selain hanya mencari ridho Allah. Lantas kenapa masih mengharap pemberian? Hilang ke manakah sifat qonaah, tawakal, dan taqwa yang mereka ajarkan?

Baca juga Peradaban Kaleng, Seorang Tokoh Agama Dituntut Tampil Mewah

Justru, makin ke sini bertambah jumlah pendakwah beserta keluarganya (istri, anak, dan orang tuanya) yang pamer barang-barang tak fungsional. Maksudnya, benda-benda yang digunakan tidak berhubungan langsung untuk kepentingan syiar dan dakwah Islam. Sebut saja seperti memiliki sepeda motor sport mahal, rumah mewah, uang tunai ratusan juta, sampai kegiatan wisata yang berlebih-lebihan.






Baca tulisan menarik lainnya:

Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Menjadi Pendakwah Harus Mandiri Ekonominya, Agar Tak Tersandera Pengikutnya"

Posting Komentar

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*