Banjirembun.com - Takdir merupakan perkara rahasia ilahi. Dalam artian, ilmu takdir tidak bakal diketahui seluruhnya oleh manusia secara utuh. Sebab, tidak ada satu pun entitas yang mengetahui sesuatu apapun dari ilmu Allah Subhanahu wa ta'ala. Kecuali, hanya sebagian darinya yang Dia kehendaki. Artinya, manusia dilarang sok tahu dan merasa berhak memaknai takdir kehidupan di dunia ini secara sembrono.
Apalagi menggunakan takdir sebagai dalih, alasan, sangkalan, atau alibi untuk lari dari tanggung jawab maupun kewajiban. Begitu pula, bersembunyi di balik istilah takdir untuk membenarkan perbuatan salah yang akan diterapkan maupun yang sudah dilakukan. Cukup katakan di dalam hati saja "Ini sudah takdir." Tak perlu diucapkan pada lawan bicara sebagai alat mensucikan diri.
Baca juga Cara Memahami Takdir Allah dengan Benar Agar Hidup Tak Salah Arah
Penyimpangan-penyimpangan dalam masalah takdir sejatinya bukan cuma dilakukan oleh umat Islam awam. Melainkan, kaum Muslim yang terdidik dan berilmu pun berpotensi tersesat ke dalam pemahaman takdir yang keliru. Salah satunya, disebabkan lantaran terlalu berani memakai akal alias rasional untuk memahami konsep takdir. Tentu, mendalami ilmu filsafat jadi salah satu langkahnya.
Bagaimanapun, perkara takdir tidak Allah buka kepada siapapun. Baik itu kepada malaikat, para nabi, apalagi manusia biasa. Oleh sebab itu tatkala diajak berdebat atau berdiskusi tentang urusan takdir, hukumnya wajib menahan diri. Jangan sampai terpancing dan terjebak dalam retorika semu. Hindari ikut-ikutan menimpali, menambahi, atau sekadar mengomentari demi adu gagasan seputar takdir.
Harus disadari secara sungguh-sungguh bahwa ilmu Allah itu sangat luas, komplit, dan detail. Dalam artian, sifat ilmu Allah adalah Dia mengetahui segala hal alias seluruhnya yang gaib maupun tampak tanpa ada satu hal apapun yang tidak diketahui oleh-Nya. Hal itu berarti menjelaskan tentang ilmu Allah yang tak terbatas maupun dibatasi. Di mana, Allah juga mengetahui seluruh isi takdir alam semesta dari awal penciptaan hingga hari kiamat.
Nah, pantaskah manusia yang memiliki keterbatasan memikirkan sesuatu yang di luar jangkauannya? Misalnya, bertanya-tanya kenapa Allah mentakdirkan iblis diciptakan untuk mengganggu manusia? Mengapa Nabi Adam dan Bunda Hawa dikeluarkan dari surga? Kalau Allah Maha Kuasa kenapa enggak semua manusia dimasukkan ke surga saja? Jika Allah Maha Pengasih dan Penyayang maka kenapa hamba-Nya diperintahkan berdo'a?
Sangkalan-sangkalan di atas yang telah disamarkan, dikaburkan, diperhalus, atau dibiaskan dalam bentuk sebuah pertanyaan juga telah dilontarkan oleh masyarakat musyrikin jahiliah Arab. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta'ala dalam QS al Anam ayat (6) 148:
سَيَـقُوْلُ الَّذِيْنَ اَشْرَكُوْا لَوْ شَآءَ اللّٰهُ مَاۤ اَشْرَكْنَا وَلَاۤ اٰبَآ ؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ ۗ كَذٰلِكَ كَذَّبَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتّٰى ذَا قُوْا بَأْسَنَا ۗ قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِّنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوْهُ لَـنَا ۗ اِنْ تَتَّبِعُوْنَ اِلَّا الظَّنَّ وَاِ نْ اَنْـتُمْ اِلَّا تَخْرُصُوْنَ
"Orang-orang musyrik akan berkata, "Jika Allah menghendaki, tentu kami tidak akan mempersekutukan-Nya, begitu pula nenek moyang kami, dan kami tidak akan mengharamkan apa pun." Demikian pula orang-orang sebelum mereka yang telah mendustakan (para Rasul) sampai mereka merasakan azab Kami. Katakanlah (Muhammad), "Apakah kamu mempunyai pengetahuan yang dapat kamu kemukakan kepada kami? Yang kamu ikuti hanya persangkaan belaka, dan kamu hanya mengira.""
Berikut kandungan yang hampir sama dalam Firman Allah Subhanahu wa ta'ala tertulis di QS an Nahl (16) 35:
وَقَا لَ الَّذِيْنَ اَشْرَكُوْا لَوْ شَآءَ اللّٰهُ مَا عَبَدْنَا مِنْ دُوْنِهٖ مِنْ شَيْءٍ نَّحْنُ وَلَاۤ اٰبَآ ؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ دُوْنِهٖ مِنْ شَيْءٍ ۗ كَذٰلِكَ فَعَلَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۚ فَهَلْ عَلَى الرُّسُلِ اِلَّا الْبَلٰغُ الْمُبِيْنُ
"Dan orang musyrik berkata, "Jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu apa pun selain Dia, baik kami maupun bapak-bapak kami, dan tidak (pula) kami mengharamkan sesuatu pun tanpa (izin)-Nya." Demikianlah yang diperbuat oleh orang sebelum mereka. Bukankah kewajiban para Rasul hanya menyampaikan (amanat Allah) dengan jelas."
Parahnya lagi, terdapat pihak yang menggunggat takdir Allah. Menuduh Dia Yang Maha Agung tidak adil terhadap kehidupannya. Sungguh itu kesesatan yang nyata. Padahal, sudah jelas disebutkan dalam Firman Allah pada QS al Anbiya (21) 23:
لَا يُسْـئَـلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْئَــلُوْنَ
"Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan, tetapi merekalah yang akan ditanya."
Nilai moral dari pemaparan di atas ialah barangsiapa yang mencoba, penasaran, atau tertantang memakai akalnya untuk membahas takdir bisa berakibat terhadap rasa tidak puas diri. Sebaliknya, setiap Muslim dianjurkan untuk mengganti keterbatasan otak tersebut dengan memakai dalil-dalil yang telah dibahas oleh ulama terdahulu. Salah satu kata kuncinya yaitu berpatokan pada beriman pada takdir yang baik maupun takdir buruk (qodo dan qodar) hukumnya wajib.
Contoh metode dalam memahami takdir buruk atau sial secara salah kaprah biasanya melalui langkah mencari-cari hikmah di balik keburukan yang terjadi. Diimbuhi dengan pernyataan "Baik menurut Allah belum tentu baik menurut manusia" dan "Segala sesuatu pasti ada hikmahnya." Faktanya, tidak semua hikmah "suci" tersebut diketahui dan disadari oleh manusia lantaran keterbatasan akalnya. Setidaknya, butuh waktu relatif lama untuk tahu.
Contoh takdir buruk berupa gagal olahraga secara full gara-gara sepatu kekecilan (sumber foto koleksi pribadi) |
Seharusnya, cukup beriman saja (tanpa pakai akal) bahwa di setiap keburukan yang dialami pasti mengandung kebaikan-kebaikan yang tersembunyi di sisi Allah. Dengan demikian, setiap insan dilarang sekali-kali berusaha mencoba membuka tabir (tutup) terkait hakikat ilmu takdir. Mungkin, Allah memang berkehendak untuk menyimpan rapat. Barangkali pula kelak saat di akhirat, semua takdir buruk yang menimpa itu justru jadi penolong dari azab dan kesulitan setelah kematian.
Cara lain individu yang keliru dalam memahami takdir yang buruk ialah berupa sikap pasrah total pada setiap musibah atau pun hal-hal yang menjengkelkan hati. Tanpa disertai inisiatif untuk menindaklanjuti, agar hal-hal semacam itu tak terulang lagi. Penjabarannya seperti dalam kisah di bawah:
Ada seorang pria mendapati istrinya berselingkuh dengan laki-laki lain. Lantas, ia pun marah dan ingin menyeret mereka ke pengadilan. Pria yang berzina itu mengucapkan pada suami perempuan yang dizinainya "Ini sudah takdir Allah, bukankah engkau beriman pada takdir?" Sekonyong-konyongnya pria itu menjawab "Iya, aku beriman pada takdir." Kemudian ia diam. Seolah ridho dan melegalkan (membolehkan) perbuatan zina itu.
Karakter pria di atas memosisikan "klaim takdir" lebih tinggi dan mulia daripada syariat Islam yang wajib untuk dilaksanakan. Bahkan, manusia sekuler pun juga bakal menolak mentah-mentah saat seseorang yang sedang diadili di hadapan hakim mengatakan "Ini sudah takdir." Lalu, bagaimana saat hakim tersebut memutuskan balik mengklaim "Kamu bakal dihukum, hukuman ini juga bagian dari takdirmu!"
Kesimpulannya, ketika menghadapi takdir buruk atau sial dilarang memahaminya sebagai sebuah hal yang harus diterima tanpa ada doa dan usaha untuk memperbaiki atau meluruskan. Dengan kata lain, pakai alasan dengan kata-kata "Kalau sudah takdir mau bagaimana lagi?" Padahal belum ada upaya sama sekali untuk menanggulangi, menyembuhkan, memastikan, atau yang semacamnya agar sebuah takdir buruk tidak dibiarkan begitu saja.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Contoh Metode dalam Memahami Takdir Buruk atau Sial Secara Salah Kaprah"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*