Banjirembun.com - Hampir semua politisi di seluruh dunia mempunyai ciri-ciri tahan banting, tahan fitnah, tahan omongan pedas, tahan terpaan "angin," tahan jegal, dan tahan komentar jelek. Intinya, jiwa mereka bermental baja serta tangguh dalam menghadapi tantangan dan tekanan hidup. Tentunya mereka juga memiliki sifat sabar, telaten, ulet, pintar memosisikan diri (adaptif), murah senyum, jago komunikasi terutama melobi, hingga cerdas mencari waktu/momen tepat dalam mengambil keputusan penting.
Boleh dibilang, untuk menjadi politisi sukses dituntut punya mental kuat. Uang, populer, prestasi, dan wajah rupawan saja belum cukup menjadi modal untuk masuk ke gelanggang percaturan politik. Barangkali itu semua mampu membawa ke pintu masuk arena perpolitikan. Akan tetapi, apakah mampu terus bertahan sampai usia pensiun tiba? Jangan-jangan sebelum masa jabatan politik habis sudah menyerah di tengah jalan sehingga memilih mengundurkan diri. Akhirnya, terkena prasangka buruk lantaran dikira telah lari dari kewajiban dan tanggung jawab.
Baca juga Tips Jitu Agar Tetap Kuat Iman Ketika Terkena Fitnah, Ghibah, dan Omongan Tak Sedap
Para politisi yang bermental lembek hanyalah menjadi beban bagi kalangan di dalam satu komunitasnya. Bagaimana tidak? Mereka sedikit-sedikit mengeluh, gemar mengadu, atau sering melapor. Padahal masalah yang dihadapi sebetulnya bukan persoalan berat dan fatal. Masih bisa diredam dengan cara lunak dan elegan. Berakibat sumber daya dalam diri seperti waktu, pikiran, tenaga, dan uang dicurahkan untuk melawan balik perilaku orang-orang yang sebenarnya remeh alias tak penting.
Seorang politisi yang terlalu fokus membangun pencitraan memang biasanya bakal sensitif. Berisiko mudah tersinggung, gampang marah, serta bereaksi cepat tatkala ada orang yang dia anggap menjatuhkan nama baiknya. Tidak cukup dari situ. Perilakunya juga suka tebar pesona. Ingin tampil paling mencolok di depan. Dikenal banyak orang sebagai manusia berjasa, layaknya pahlawan. Kalau perlu, gambar muka harus berada di mana-mana dan namanya disebut-sebut maupun dipuja-puji banyak orang.
Nah, dalam membangun rupa diri, biasanya politisi bakal melakukan banyak aksi kegiatan. Menyibukkan diri agar terlihat sebagai orang bermanfaat dan berguna bagi masyarakat. Bergabung di tengah-tengah kalangan bawah supaya terlihat lebih mendekat dan merakyat. Nyatanya, walau mengaku cinta pada rakyat, ketika ada orang yang mengkritik tajam yang masih berkategori logis dan faktual, justru dendam terhadap pihak yang memberi masukan atau komentar tersebut.
Meniru Menjadi Manusia "Muka Tembok" Seperti Politisi
Bermuka tembok demi memuluskan urusan yang benar merupakan hal baik. Sebaliknya, bermuka tembok dalam upaya menyembunyikan kebusukan diri semestinya dihindari. Misalnya, walau sudah tahu dirinya salah tapi tetap merasa tak bersalah dan tingkahnya biasa saja seperti enggak punya beban sama sekali. Artinya, gunakan mode "muka tembok" untuk permasalahan tepat. Ketika itu bisa diterapkan, dijamin musuh-musuh yang usil bakal frustasi untuk terus mengintimidasi.
Selama telah yakin betul bahwa diri sendiri sepenuhnya tak bersalah dan enggak seperti yang banyak orang bilang, selama itu pula dunia masih baik-baik saja. Lagi pula, tidak semua orang berhati jahat. Di sekitar, kalau mau menyadari dan mensyukuri (menerima), terdapat orang-orang yang punya rasa peduli dengan memberi perhatian beserta dukungan. Andai pun, ketika semua orang memusuhi tapi nyatanya mereka hanya korban fitnah dari mulut laknat lantas buat apa gelisah? Apakah takut nama baik hancur?
Pegang betul kata-kata ini, sebuah ataupun beberapa fitnah yang menerpa suatu saat pasti bakal sirna. Baik itu dengan jalan berupa "Kebenaran yang terungkap" maupun melalui mekanisme surut sendiri seolah-olah tanpa alasan maupun pemicu tiba-tiba fitnah itu mereda begitu saja. Kalau tidak di dunia, kelak pasti di akhirat bakal terungkap semua, mana yang batil (salah) dan mana yang haq (benar). Bukankah Allah Subhanahu wa ta'ala yang menjamin bahwa kebatilan pasti dibinasakan?
Ibarat kata seperti orang yang sedang tidur. Jika ada orang yang menyulut fitnah maka sebaiknya memang dihadapi dengan tetap diam. Itu merupakan pilihan paling aman. Apalagi, tatkala berbicara ternyata khawatir semakin memperkeruh suasana. Namun, jika dibutuhkan bicara maka bicaralah secara bijak daripada berdiam diri layaknya setan bisu. Sebab, membisu dengan tujuan memboikot yang diterapkan berlebihan merupakan perbuatan tercela. Maksudnya, lakukan itu secara proposional sesuai dengan keadaan.
Baca juga Tak Perlu Ajari Allah SWT, Tetap Berada di Jalur Benar karena Kebatilan Pasti Bakal Dibinasakan
Dari sini ada titik temunya. Di mana, berdiam diri malah mampu menjaga nama baik. Sedangkan, melawan balik terhadap fitnah-fitnah yang menyerah dapat berisiko menambah makin jatuhnya nama baik. Nahasnya, orang-orang penyebar fitnah itu nyatanya sengaja ingin menyulut amarah pihak yang jadi sasaran. Dengan begitu, di kala menyahut atau menanggapi segala tuduhan-tuduhan palsu tersebut cuma akan mengganggu ketenangan hidup.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Belajarlah "Bermuka Tembok" Layaknya Politisi Ketika Diserang Fitnah"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*