Banjirembun.com - Setiap manusia pasti terkena musibah. Mustahil tak ada yang terlewatkan dari bencana kehidupan. Oleh sebab itu, janganlah merasa paling sengsara dan nelangsa nasibnya saat mengalami fase hidup terendah. Berhenti pura-pura sedih! Sebab, masih banyak yang berhak untuk bersedih.
Kuatkan diri. Berpuralah menjadi sosok tangguh. Tunggulah, suatu saat pasti jalan keluar dari masalah yang mendera bakal tiba. Baik itu harus diusahakan dengan bersusah payah dulu maupun kadang tiba-tiba seolah datang sendiri dengan mudah begitu saja. Roda pasti berputar. Bersabarlah sambil berusaha!
Baca juga Contoh Metode dalam Memahami Takdir Buruk atau Sial Secara Salah Kaprah
Sebaliknya pula, orang-orang yang sekarang ini kelihatannya sedang baik-baik saja dan "terkondisikan," sejatinya dia sedang menunggu dapat jatah terjatuh. Bisa juga, capaian puncak hari ini justru merupakan "balasan" dari masa lalunya. Sebagaimana terkadang musibah untuk hukuman, kadang kesuksesan juga sebuah hadiah.
Masing-masing manusia punya periode kelak-kelok dan naik-turun dalam hidupnya. Itulah yang disebut fitrah dan sunatullah dalam penciptaan alam semesta. Percayalah sesukses apapun individu, dijamin kelak mengalami meninggal dunia. Cepat atau lambat niscaya itu terjadi.
Ada lahir ada mati, ada sehat ada sakit, ada muda ada tua, ada pertemuan ada perpisahan, ada pemberian ada kehilangan, ada waktu lapang ada waktu sempit, hingga ada kemudahan ada kesulitan. Semua itu merupakan kepastian tanpa boleh diragukan.
Makna yang bisa di ambil dari paragraf di atas ialah sebuah cobaan bukan cuma berupa keburukan. Melainkan, suatu kebaikan di mata manusia juga bisa menjadi ujian kehidupan. Dengan kata lain, dunia ini memang ladang musibah bagi manusia.
|
Ilustrasi sedang heran (sumber gambar pexels) |
Tidak ada yang kekal di dunia ini. Baik materi fisik, ilmu pengetahuan, entitas gaib, maupun sifat-sifat yang dimiliki sebuah benda pasti ada masa berakhirnya. Hari ini seseorang mungkin dikatakan sangat kaya raya. Namun, beberapa tahun depan barangkali dijuluki si miskin.
Harus Dengan Apalagi Agar Jera dan Taubat, Kalau Musibah Besar yang Menimpa Dianggap Masalah Biasa
Sebagai manusia yang punya akal, setiap masalah atau musibah yang dihadapi harus dipandang sebagai sebuah peringatan. Menjadi tanda sudah saatnya untuk mendekat pada-Nya. Malah, lebih bagus lagi sebagai motivasi untuk semakin bertambah iman.
Pasti ada dosa-dosa yang sedang dilakukan sehingga bikin musibah datang. Menjadi sebuah teguran untuk memperbaiki diri. Kalau memang merasa yakin betul telah menjadi manusia lurus dan "benar," pastilah musibah yang diterima sebagai sarana untuk pembelajaran manusia lain.
Orang-orang saleh dan beriman kuat yang terkena musibah bakal sabar, tabah, tawakal, dan ridho pada-Nya. Nah, sikap mereka akan menjadi teladan bagi manusia lainnya. Meski sudah tertimpa musibah besar, ternyata hati dan jiwanya sangat tangguh untuk bertahan serta bangkit.
Berbanding terbalik dengan golongan manusia yang "lupa diri." Setelah diberi kesempatan kedua (sesudah sembuh dari sakit parah, sesudah bangkit dari bangkrut, sesudah terlepas dari kubangan para manusia sampah) seakan-akan lupa tentang musibah yang pernah dialami.
Mungkin mereka pernah berbalas budi pada manusia, tetapi sayangnya ia lupa untuk "berbalas budi" pada Maha Kuasa. Dikira hamba tidak perlu untuk bersyukur pada Tuhan. Mungkin secara lisan sudah. Namun, wujud nyata dengan cara bertaubat enggak dilakukan sama sekali.
Baca juga Tiga Alasan Umat Islam "Harus" Ditimpa Musibah
Selepas terentas dari musibah tetap mencari uang dengan haram, tetap menzalimi orang lain, tetap beribadah ala kadarnya, atau tetap menjadi manusia yang seperti dulu sebelum terkena musibah. Tanpa disertai peningkatan kualitas diri sebagai bentuk rasa syukur dari seorang hamba pada Tuhan.
Belum cukupkah musibah yang diterima? Harus dengan cara apalagi untuk membuat jera dan taubat kalau musibah yang dialami dianggap angin lalu? Apakah mau diberikan musibah yang jauh lebih besar lagi supaya sadar diri, tahu diri, dan tak lupa diri? Atau jangan-jangan baru menyesalinya ketika berada di alam kubur?
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Begitukah Menjadi Manusia? Musibah yang Menimpa Belum juga Membuat Jera dan Bertaubat"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*