Banjirembun.com - Kerakusan, ketamakan, atau keserakahan bisa menjangkiti siapa saja. Tidak peduli seperti apa latar belakang kehidupannya, senyampang iman dan moralitasnya tipis, potensi bertindak kemaruk bakal sangat besar. Bahkan, tindakan tercela itu bukan hanya diterapkan ketika ada kesempatan tetapi justru mencari-cari celahnya.
Sifat rakus yang dimiliki oleh orang miskin mungkin hanya sampai kenyangnya lambung perut. Paling banter lagi barangkali sekadar ingin punya kendaraan sepeda motor, baju pantas, dan tempat tinggal layak. Dengan kata lain, peluang bikin rugi orang lain enggak terlalu gede. Itupun kerap kali korban tamaknya kebanyakan orang-orang berduit.
Baca juga Orang-orang Rakus atau Serakah Jadi Sebab Kehancuran Peradaban
Akan tetapi, perilaku serakah yang dilakukan pengusaha dan pegawai kantoran kelas elit dapat berdampak buruk bagi masyarakat luas. Apalagi bagi mereka yang menyuap alias kongkalikong dengan oknum pejabat bejat. Semakin mengerikan kerugian yang bakal diterima rakyat kecil. Alhasil, "orang di atas" foya-foya tapi para jelata menderita.
Nah, sungguh luar biasanya ketika ditemukan fakta ada penjual makanan sederhana berupa mie ayam di pinggir jalan yang memilih qonaah. Yakni, sikap ridho atas pemberian Allah Subhanahu wa ta'ala lantaran merasa cukup atas usaha yang telah diupayakan sehingga jauh dari perasaan enggak puas serta merasa kurang pada hasil yang telah dicapai.
Hidangan mie ayam khas Indonesia (Sumber gambar dari pixabay) |
Jadi ceritanya begini. Di sore hari menjelang maghrib, aku pulang dari kantor. Orang di rumah sudah mewanti-wanti aku untuk membelikan mie ayam. Berhubung saat itu suasana lagi gerimis, tentu sangat enak ketika menyantap mie ayam yang panas. Namun, sebenarnya saat itu aku sudah agak kenyang disebabkan sebelum pulang kantor aku sudah makan.
Sayangnya, penjual mie ayam langganan tutup. Akhirnya, aku putuskan pindah ke pedagang lain yang letaknya masih satu jalur perjalanan pulang. Aku baru teringat, di sebelah Masjid ada kuliner Mie Ayam pinggir jalan. Langsung aku tancap gas menuju sana. Jujur saja fikiranku fokus untuk segera beli mie ayam, lalu pulang mandi air hangat di tengah dinginnya cuaca yang menghimpit.
Aku pun bergumam "Aduh, tak terasa sudah waktunya sholat Maghrib tiba".
Setelah menuju gerobak mie ayam, aku nyeletuk sangat lirih "Loh, orangnya ke mana ni? Kok sepi? Kosong mlompong."
Aku bertanya pada penjual martabak dan terang bulan di sampingnya "Pak, ini yang jual ke mana ya?"
Dia menjawab penuh ramah "Oh, lagi sholat Maghrib di Masjid itu Pak." Dia mengacungkan ujung jempol menunjuk ke arah Rumah Allah yang indah tersebut.
Aku terbengong sebentar sembari memandangi gerobak dengan tatapan kosong. Sebelum aku benar-benar kehilangan kesadaran karena merasa 'lemas' penuh takjub, dia kembali mengimbuhi "Sudah dari tadi kok Mas, bentar lagi pasti datang".
Ternyata aku menunggu cukup lama. Aku nanti-nanti kok tak kunjung tiba juga. Kalau bukan demi keluarga tentu aku sudah pergi meninggalkan tempat tersebut. Apalagi badanku sudah terasa capek dan kedinginan.
Terbesit dalam benakku "Kalau ditinggal begini bukannya penjual akan mengalami rugi?". Sudah berapa orang seperti aku di hari-hari lain yang memutuskan untuk beralih ke lokasi berbeda ketimbang menunggu. Parahnya, lantaran terlanjur kecewa bikin ogah balik lagi guna beli alias enggan jadi pelanggan.
Syukurnya, enggak lama setelah itu pedagangnya datang.
"Beli Mie ayam Pak, dua saja dibungkus" Pintaku sebelum bapak-bapak itu benar-benar tiba menghampiri lapaknya.
Setelah melihat wajah ceria sang Bapak, aku serta-merta berubah pikiran "Tiga bungkus Pak".
Entah dari mana asalnya, aku sedikit kaget, sekonyong-konyong bermunculan sejumlah pembeli lain yang berhamburan menuju antrean. Aku terheran membatin "Kok jadi ramai begini?"
Masya Allah, di kala pedagang lain fokus menunggu barang jualannya yang belum tentu ada pembelinya saat suara azan berkumandang, ternyata penjual mie ayam ini pilih rela mengutamakan ibadahnya.
Tak jarang pula dijumpai para pengusaha dan pegawai kantoran memutuskan meninggalkan ibadah (atau setidaknya menunda sholat dulu) demi menuntaskan urusan yang belum tentu berhasil 100%. Artinya, mempertaruhkan hal yang belum pasti dengan sesuatu yang sudah diwajibkan oleh-Nya.
Mereka seakan lupa bahwa rezeki sudah diatur oleh Allah. Di mana, dengan cara apapun (halal maupun haram) baik itu diupayakan maupun "dibiarkan" tanpa usaha keras, kalau sudah ditetapkan sebagai rezekinya pasti datang. Artinya, mau seperti apapun cara dipakai kalau bukan jatah rezeki pasti tidak bakal berada di tangan.
Ada sebuah ungkapan "Kalau pun anak Adam lari menjauhi rezekinya, sebagaimana ia lari dari kematiannya, niscaya rezekinya akan mengejar sebagaimana kematian itu juga akan mengejarnya."
Di sisi lain, tukang mie ayam di atas seolah-olah telah meninggalkan rezekinya untuk mendirikan sholat. Faktanya, walau tampak ditinggal ibadah nyatanya tatkala itu sudah jadi rezekinya para konsumen tetap bakal mengunjungi lapaknya secara berduyun-duyun.
Penjual mie ayam tersebut lebih memilih takut pada-Nya ketimbang mati-matian fokus kerja karena khawatir kalau ditinggal sholat berjamaah penghasilannya berkurang drastis. Itulah bukti nyata ketakwaan. Di mana, orang yang bertakwa pasti mendapatkan rezeki yang tak disangka-sangka dari mana arah datangnya.
Semoga cerita di atas bisa menginspirasi kita semua untuk senantiasa beriman pada takdir-Nya.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Sebuah Kisah Panutan, Saat Beberapa Pengusaha dan Pegawai Kantoran Rakus Mengeruk Uang Ternyata Penjual Mie Ayam ini Pilih Takut Pada-Nya"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*