Banjirembun.com - Akidah merupakan ajaran keimanan yang paling pokok dan mendasar dalam agama Islam yang harus dipegang teguh penganutnya. Di mana, wujud nyata aqidah yaitu berupa 6 rukun iman. Di antaranya meliputi iman kepada Allah, malaikat, kitab-Nya, rasul, hari kiamat, dan qodo serta qodar. Dengan catatan, sifat-sifatnya juga harus diketahui.
Dalam makna khusus akidah berfungsi sebagai pengikat supaya hati manusia tetap terhubung pada Tuhan. Artinya, orang yang memiliki akidah kuat pasti telah mengetahui serta mengimani sifat-sifat Allah tanpa ragu. Ia mengenal Allah dan merasa dekat dengan-Nya.
Lebih dari itu, orang yang beraqidah kokoh pasti pula sudah mencapai level ihsan kepada Allah. Yakni, beribadah kepada Allah seakan-akan telah melihat-Nya atau sebaliknya ketika terasa kesulitan melihat-Nya berarti seolah-olah Allah telah melihatnya.
Tentunya, guna ke tahap manusia yang berakidah lurus serta kuat, diwajibkan untuk mempunyai guru agama yang ahli di bidangnya. Bagaimanapun, berbicara tentang aqidah bukan hanya tentang ketauhidan. Melainkan juga terkait membangun "hubungan" dan rasa terpaut tanpa putus (parsial) dengan Allah.
Alhasil sebagaimana dalam rukun iman di atas, seseorang yang ingin punya aqidah benar dituntut untuk percaya juga pada takdir secara tepat. Oleh sebab itu, siapapun yang mengakui berakidah Islam tetapi ia tak tahu konsep dan "cara kerja" tentang takdir Allah sejatinya belum benar-benar mengenal-Nya.
Baca juga 3 Cara Agar Ridho Terhadap Takdir Allah Subhanahu Wa Ta'ala
Perlu diketahui bahwa dalam kehidupan bermasyarakat ini semua hal tentangnya sudah tertulis di catatan takdir-Nya. Tak ada getaran secuil atom (benda terkecil di semesta) yang terlewatkan dari garis takdir yang ditetapkan-Nya. Dengan demikian, daun yang jatuh di hutan rimba pun pasti sudah diketahui dan ditakdirkan oleh-Nya.
Apalagi perlakuan buruk orang lain seperti iri, dengki, dendam, pamrih, zalim, atau semacamnya tanpa diragukan lagi tentu juga sudah dikehendaki-Nya. Termasuk rezeki, jodoh, dan mati tanpa ragu mesti pula wajib diimani bahwa semuanya sudah ditakar serta ditentukan-Nya.
Dengan memegang teguh akidah di atas seharusnya bikin individu memiliki hati tenang, tidak serakah, tak merasa takut tersaingi alias "dikalahkan" oleh makhluk, hingga khawatir berlebih tentang datangnya kematian. Alasannya, dia percaya penuh bahwa semua peristiwa di masyarakat sudah diatur-Nya.
Contoh nyata yaitu berupa adanya satu pedagang di pasar yang laris dan banyak pembeli. Namun, ternyata ia lebih pilih ridho dan ikhlas menutup toko sebelum jadwalnya untuk memberi kesempatan pedagang lain yang sering mengalami sepi pengunjung.
Kadang, dia memutuskan untuk "melimpahkan" sebagian konsumen yang datang ke tokonya untuk pergi ke kios sebelah yang sepi sambil berkata "Silakan cari di toko samping saja!". Itu semua demi menolong tetangganya yang ditimpa kemalangan tak diminati para pengunjung pasar.
Fenomena di atas bukanlah hal lazim yang gampang ditemukan di era merebaknya kapitalisme yang berdampak pada gaya hidup hedon, penuh persaingan, rakus (serakah), hingga mencari keuntungan sebesar-besarnya. Sungguh sangat bertentangan dengan kelaziman zaman edan yang kini makin menjadi-jadi.
Apalagi masyarakat sekarang ini sudah terbiasa dicekoki tentang ilmu marketing dan strategi bisnis. Dengan tujuan agar konsumen banyak mendatangi serta fanatik (betah berkunjung lagi). Bahkan, kalau perlu menutupi celah agar pesaing tidak mendapatkan jatah pembeli sama sekali.
|
Pedagang di pasar (sumber gambar dari Pixabay) |
Alih-alih memonopoli yang diimbuhi membuka cabang di mana-mana, yang dilakukan oleh umat Islam berakidah kuat justru memberi kesempatan bagi sesamanya untuk ikut tumbuh berkembang. Kalaupun membuka cabang pasti niat dan caranya baik. Ditambahi, yakin betul itu semua demi mencari ridho Allah.
Dia tetap mengimani bahwa Maha Pemberi Rezeki tidak mungkin salah sasaran dalam pembagian rezeki. Apabila Allah sudah berkehendak memberi maka tak ada hal apapun yang dapat mencegah. Begitu pula tatkala Dia telah menahan rezeki tak ada hal satupun yang mampu memberi.
Nah, saat pedagang tersebut menutup tokonya lantaran ingin membantu orang lain tentu enggak mengurangi jatah rezeki yang ditetapkan untuknya. Kalau bukan dibagikan hari ini pasti rezeki yang telah ditetapkan untuknya akan diturunkan pada hari lain. Sebagai penerima tentu ia tak tahu kapan jatahnya sampai ke tangan.
Baginya rezeki Allah bukan untuk diperebutkan maupun diiris-iris sesuai dengan nafsu manusia. Pembagian rezeki menurutnya sudah dikalkulasi secara tepat oleh Allah. Tak boleh diragukan sedikit pun. Meragukannya berarti menunjukkan aqidahnya mengalami kerapuhan. Dampaknya bakal merembet ke mana-mana.
Lebih lanjut, dia menilai pola pikir manusia yang terburu-buru atau ingin cepat sukses merupakan bukti adanya kelemahan iman. Maksudnya, perilaku tergesa-gesa bertanda seseorang punya sifat tercela. Parahnya lagi, itu wujud nyata perilaku iblis yang berupa mudah berburuk sangka pada-Nya.
Berpikiran negatif dan mencela Allah karena dianggap tidak adil, enggak segera melimpahkan harta, dan mempersulit kehidupan bermasyarakat umat manusia. Ujung-ujungnya bukan malah ikhlas dalam beribadah serta ridho menerima takdirnya, yang ada mengambil jalan sesat atau semau sendiri.
Baca juga Akidah Umat Islam Patut Dipertanyakan Ketika Meragukan 6 Hal ini, Salah Satunya Tentang Ketetapan Rezeki
Dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang nepotisme, kolusi, korupsi, sampai memakai cara-cara haram lainnya sungguh memiliki akidah lemah. Ia tak meyakini tentang kaidah "mau memakai cara haram atau pun halal, rezeki yang ditetapkan pasti mendatangi setiap manusia yang telah ditakdirkan akan mendapatkannya."
Lantas kenapa tetap nekat memakai cara 'brutal' untuk menjemput rezeki yang sudah jadi jatahnya?
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Sebuah Contoh Nyata Tentang Pentingnya Akidah Lurus dalam Kehidupan Bermasyarakat"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*