Banjirembun.com - Secara sederhana wartel diartikan sebagai warung telepon. Warkom ialah warung sewa komputer. Warnet adalah warung internet. Terakhir, warteg yaitu warung tegal. Semua bisnis tersebut berada di fase puncak kejayaan pada masanya masing-masing.
Wartel, warkom, dan warnet merupakan bisnis di bidang teknologi. Penggunanya beraneka ragam. Namun pada awal kelahiran mereka, umumnya konsumen lebih banyak dari kalangan pelajar dan pekerja kantoran. Terutama penghuni kos atau kontrakkan.
Baca juga Dua Pedagang Nasi Pecel Omset Turun Drastis Gara-gara Hal Berikut
Perlu ditekankan bahwa istilah warkom di sini merupakan singkatan penulis sendiri. Maksudnya, di dunia nyata barangkali tidak ditemukan penggunaan frasa "warkom" sebagai ganti penyebutan tempat rental komputer. Tujuan penyingkatan tersebut agar memudahkan pemahaman sekaligus penghematan kata.
Sejarah Lahirnya Warteg
Warteg merupakan dunia usaha kuliner yang dari berdirinya telah menyebar di pusat perkotaan. Enggak seperti 3 jenis bisnis yang disebutkan di atas, untuk penyebaran warteg mulanya lebih bersifat menonjolkan ciri kedaerahaan dan kesederhanaan.
Menu sajian sangat kental dengan lidah para konsumen sehingga pembeli seolah memakan masakan ibu sendiri. Ditambah, harganya amat murah. Salah satu indikasi utama pada waktu itu yaitu takaran nasi sangat melimpah ruah sehingga bikin awet kenyang dan jadi sumber energi tubuh.
Warung tegal identik dengan daerah Kota Tegal di Jawa Tengah. Apalagi, kemunculan pertama kali warteg dilatarbelakangi oleh faktor urbaninasi (perpindahan penduduk desa ke kota) ke Kota Jakarta. Mayoritas kaum urban itu berasal dari daerah Jawa.
Maklum saja, di awal kemerdekaan (sekitar tahun 1950-1960) hingga tahun 1980-an pemerintah Indonesia lagi menggalakkan pembangunan fisik di Ibu Kota. Tak sedikit orang-orang yang berasal dari Tegal ikut merasakan manisnya buah perkembangan ekonomi bangsa di Jakarta.
Pada saat itu banyak pekerja bangunan, sopir angkot, sopir bus, tukang becak, sampai buruh yang kesulitan mencari makan di warung berharga murah. Akhirnya, sebagai solusi pedagang makanan yang berbahan utama nasi mulai bertebaran di sekitaran proyek-proyek pembangunan gedung.
Tidak seperti masa-masa lahirnya wartel, warkom, dan warnet sungguh miris kenyataannya nasib warteg dianggap sebelah mata. Para pengunjung warteg mendapat stigma sebagai masyarakat ekonomi kelas bawah.
Alhasil, di luar sekitaran Ibu Kota sangat jarang ditemukan warung makan melabeli diri sebagai warteg. Apalagi kota-kota kecil yang warung makannya sangat rentan kehilangan pelanggan. Salah sedikit strategi saja, orang-orang dijamin ogah mampir.
Alur Waktu Kepunahan Wartel, Warkom, dan Warnet
Wartel dan telepon umum berwarna biru sudah ada sebelum era tahun 1990. Artinya, pada zaman orde baru telepon "tempel" yang menyambung dengan kabel menjadi primadona saat itu. Alat komunikasi tersebut telah jadi kebutuhan pokok, pelengkap, sekaligus mewah.
|
Telepon umum (sumber gambar dari Pixabay) |
Sebagaimana keberadaan internet seperti sekarang ini, dulu cuma dengan bertelepon sudah menjadi sebuah hiburan tersendiri. Bahkan, waktu itu sangat sering ditemukan pendengar radio menelepon kantor perusahaan radio. Baik melalui sambungan "terhubung" siaran maupun offline.
Boleh dikatakan bahwa wartel merupakan bisnis teknologi terlama dan paling kuno dibanding warkom dan warnet. Sebab, warkom baru muncul tahun 2000-an. Adapun warnet secara malu-malu kucing mencoba menonjolkan diri pada kisaran tahun 2002. Lantas, mulai speak up pada 2006 ke atas.
Berikutnya, tahun 2010-an menjadi tonggak sejarah kepunahan wartel. Di tahun itu pula warkom sudah mulai kembang kempis tak menggiurkan lagi seperti dulu. Di sisi lain, warnet tetap tegar bertahan dengan berbagai inovasi yang dilakukan. Salah satu tujuannya supaya peminat generasi muda bertambah banyak.
Menjelang tahun 2020 keberadaan warnet mulai benar-benar asing di telinga. Beberapa alasannya banyak tersedia akses wifi, harga kuota internet murah, hingga sinyal kuat di berbagai daerah. Jangankan memakai laptop (komputer jinjing), smartphone saja sudah cukup sebagai pengganti warnet.
Ketika Wartel, Warkom, dan Warnet Musnah Tapi Bisnis Warteg Justru Meroket
Tragis, setelah maraknya telepon genggam (ponsel) bikin eksistensi wartel semakin tersingkir. Lebih nahas, banyak para pebisnis yang justru bertambah banyak membuka usaha wartel. Akibatnya, bikin minat masyarakat pada wartel menurun drastis lantaran disebut tidak lagi perlu rebutan antri untuk bertelepon.
Kemudian, pada tahun 2005-an muncul pusat bisnis baru terkait ponsel. Berupa penjualan pulsa, paket data, hingga aksesoris handphone. Kala itu bisnis konter HP mulai merebak di mana-mana. Terutama di daerah perkotaan yang memiliki sinyal kuat untuk akses komunikasi seluler.
Tanda-tanda bisnis wartel semakin lesu bukan cuma disebabkan oleh munculnya telepon seluler. Lebih dari itu, sembari bisnis wartel konsisten tenggelam akibat digerus HP ternyata warkom secara tidak langsung ikut andil dalam menyapih warga untuk meninggalkan wartel.
Warung sewa komputer saat itu menjadi tulang punggung bagi mahasiswa untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah. Biaya sewanya satu jam bervariasi tergantung fasilitas di ruko tempat persewaan komputer dan spesifikasi komputernya. Apakah disediakan musik? Komputer lemot tidak?
Baca juga Pentingnya Pertunjukan Live Music Bagi Usaha Kuliner
Dengan begitu, kesibukan pengguna wartel mulai teralihkan kepada gaya kebiasaan baru berupa rental komputer. Perlu diketahui saja, menyewa komputer ketika itu bukan cuma untuk tujuan urusan serius. Ada yang memakai komputer sekadar sebagai hiburan semisal game dan menggambar.
Menyusul wartel, di atas tahun 2010 pamor warkom ikut pula tersungkur jatuh. Dua di antaranya penyebabnya yang pertama harga laptop semakin terjangkau. Kedua, warkom umumnya sudah dilengkapi akses wifi sehingga durasi pakai komputer bisa dipangkas padat.
Selanjutnya, warnet setelah masa pandemi juga boleh dikatakan musnah. Kalaupun masih ada, keuntungan yang didapat sudah jauh beda. Itupun barangkali sambil menunggu satu persatu menjual unit komputer yang dianggap tak lagi menguntungkan.
Uniknya, dari berbagai bisnis teknologi di atas ternyata warteg justru sekarang ini meroket. Hal mengejutkan, frinchise (waralaba) warteg sudah merebak di berbagai kota. Oleh sebab itu, tak perlu kaget ketika mendapati pemilik hak cipta atas waralaba kuliner tersebut beberapa di antaranya Chinese (Orang China).
Enggak seperti tatkala di awal sejarah kemunculan warteg, kini usaha kuliner itu tak boleh lagi dipandang sebelah mata. Bukan cuma tentang potensi keuntungan yang besar. Lebih dari itu, variasi menu dan kualitas sajian semakin diperhatikan. Termasuk tentu masalah kebersihan tempat.
Warteg bukan lagi menjadi simbol tempat makannya masyarakat urban yang dianggap miskin yang merantau untuk cari uang di kota. Apalagi, konsumen warteg sekarang sudah mulai merambah anak-anak muda. Dampaknya, mungkin ke depannya warteg bakal dikenai pajak oleh pemerintah.
Terbukti, di area pendidikan perguruan tinggi keberadaan warteg justru di mana-mana. Salah satu kota yang memiliki banyak penjual makanan yang berlabel warteg di depan warungnya yaitu di Kota Malang. Pembelinya beragam usia, pekerjaan, dan orientasi kesukaan makanan.
(BE 05/06/23)
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Perbedaan Bisnis Wartel, Warkom, Warnet, dan Warteg"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*