Banjirembun.com - Bagaimana kalau sudah merasa berjuang, bekerja keras, dan menggunakan segala potensi (waktu, uang, tenaga, hingga pikiran) tetapi ujungnya masih miskin juga? Jawabannya sederhana yaitu enggak usah gelisah. Tak perlu menyalahkan diri maupun nekat menggugat Allah Subhanahu wa ta'ala.
Sebab, mau menjadi orang miskin atau kaya keduanya merupakan sama-sama takdir dari-Nya. Semua sudah dikehendaki dan ditetapkan oleh-Nya. Apalagi di zaman sekarang yang sedang marak mengalami kesulitan ekonomi. Di mana, orang-orang yang sedang jatuh miskin tidaklah sedikit.
Baca juga Tiga Alasan Umat Islam "Harus" Ditimpa Musibah
Tak perlu merasa rendah diri ketika memang sudah yakin telah ditakdirkan hidup dalam kemiskinan. Justru, orang-orang yang semestinya gelisah yaitu mereka yang hidupnya bermalas-malasan. Mereka lebih pilih berdiam diri tanpa ikhtiar untuk menjemput rezeki. Diperparah, otaknya cuma dipakai bersenang-senang.
Seharusnya, manusia-manusia yang gelisah adalah mereka yang mencari makan dengan cara haram. Mengumpulkan duit melalui jalan yang penuh perilaku zalim. Seakan-akan mereka telah lupa bahwa tugas hidup manusia ialah untuk beribadah. Bukan bertujuan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya.
|
Ilustrasi orang miskin (Sumber gambar dari Pixabay) |
Alhasil kalau masih berjuang di jalan kebenaran dalam mencari rezeki, sebaiknya tetaplah tenang. Bagaimanapun, kewajiban setiap insan hanya berusaha. Sedangkan, hasilnya serahkan pada-Nya. Oleh sebab itu, agar senantiasa tetap "waras" dianjurkan untuk qonaah (merasa cukup) dan ridho pada takdir-Nya.
Jika menyangkut urusan kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, dan papan sudah terpenuhi secara layak maka tak perlu ada lagi yang dirisaukan. Enggak apa-apa digelari sebagai orang miskin oleh manusia lantaran menerapkan gaya hidup "terbatas". Sebab, kemiskinan akan tetap selalu ada sampai zaman kapan pun.
Mau bagaimana pun bahagia dan enaknya hidup yang dijalani, saat berada di lingkungan yang salah bakal tetap mendapatkan julukan miskin. Maksudnya, di satu tempat mungkin berstatus kaya tetapi bila pindah di lokasi lain maka strata sosialnya bisa turun menjadi miskin. Disebabkan, tempat tinggal barunya itu berada di kawasan orang-orang elit.
Buat apa mengalami gelisah disebabkan omongan orang yang belum tentu punya niat baik?
Lagi pula, kehidupan akhirat jauh lebih penting ketimbang kehidupan dunia. Gagal menjalani hidup di dunia menurut versi manusia bukanlah masalah besar ketika dibandingkan mengalami penderitaan saat di akhirat. Artinya, lebih baik fokuskan diri berharap sukses di akhirat daripada gelisah akibat takut disebut miskin di dunia.
Tatkala diberi pilihan, memutuskan untuk mengutamakan dunia atau menomorsatukan akhirat? Andai kata dijawab menyeimbangkan keduanya tetaplah salah. Sebab, satu-satunya hal dari tujuan kehidupan dunia ini adalah akhirat. Kehidupan dunia hanya sebagai alat untuk mencapai kebahagian di akhirat.
Alam akhirat tidaklah sebanding nilainya dengan kehidupan dunia yang penuh kelemahan ini. Toh, mau tetap memaksakan diri untuk berpegang teguh pada keseimbangan dunia dan akhirat, lalu bagaimana caranya? Apakah membagi imbang dalam satu hari 12 jam untuk kehidupan akhirat dan 12 sisanya untuk akhirat?
Baca juga 3 Cara Agar Ridho Terhadap Takdir Allah Subhanahu Wa Ta'ala
Bagaimana cara menyeimbangkan urusan dunia dengan akhirat? Apakah harta yang dimiliki misalkan 100 juta, lantas 50 juta untuk kepentingan akhirat dan sisanya untuk memenuhi kebutuhan dunia? Tentu sangatlah mustahil menyeimbangkan keduanya secara konsisten. Lebih baik tetap pilih mengutamakan akhirat.
Kemudian, bagaimana cara mengutamakan atau menomormastukan akhirat? Semua tentang apa yang dibatin, diucapkan, serta dilakukan semata-mata diniatkan atau bertujuan untuk mencari rihdo Allah. Misalnya, bekerja mencari uang diniatkan untuk mencapai kesuksesan di akhirat. Bukankah menuju akhirat juga butuh uang?
Lebih lanjut, tatkala jalan-jalan hendak berwisata atau hiburan (yang tak melanggar syariat agama) itu semua ikut pula karena ingin mudah sukses di akhirat kelak. Artinya, dimaksudkan demi menjaga kesehatan mental agar tetap "waras". Bukankah mempunyai pribadi yang ramah, anggun, tenang, dan bahagia merupakan anjuran agama?
(A. Rifqi Amin)
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Kemiskinan Adalah Takdir, Lantas Mengapa Gelisah?"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*