Banjirembun.com - Pengemis adalah orang yang meminta-minta atau mengharapkan bantuan yang umumnya berupa uang dari orang lain tanpa syarat apapun, baik sebelum maupun sesudah menerima pemberian. Maksudnya ialah pengemis tak perlu melakukan sesuatu apapun yang memberatkan pikiran dan tenaga, baik itu sebelum maupun sesudah menerima uang.
Umumnya pengemis di atas bakal menggunakan cara-cara ekstrim yang penuh kepura-puraan bagaikan aktor teater saat melancarkan aksi. Misalkan seperti membawa anak kecil yang masih balita, memakai baju super kumuh, tampil seperti orang yang mengalami gangguan/keterbatasan fisik, hingga berwajah memelas.
Baca juga Jangan Ikuti Challenge ini di Medsos, Taruhannya Jadi Korban Penipuan dan Sabotase
Intinya, sandiwara yang dilakukan di atas semuanya demi mengambil hati calon pemberi. Enggak peduli barangkali justru si penderma keadaan ekonominya lagi terjatuh. Bahkan dibanding si pengemis sendiri, pemberinya kalah jauh. Sebab, rumah yang dimiliki pengemis di kampung halaman ternyata jauh lebih megah ketimbang pihak pemberinya.
Biasanya perilaku mengemis dilakukan oleh anak-anak kecil, ibu-ibu, nenek-nenek, atau kakek-kakek yang sudah tampak layu tubuhnya. Sangat jarang atau malah enggak ada pengemis berumur muda yang terlihat bertenaga dan sehat. Kalaupun ada mungkin mereka lebih pilih jadi pengamen, badut jalanan, tukang bersih kaca mobil, sampai jualan stiker.
Perilaku meminta-minta baik di jalanan, pemukiman, dan di media sosial memang bikin ketagihan. Bagaimana tidak mampu membuat kepincut sehingga perbuatan itu diikuti alias ditiru oleh banyak orang? Pendapatan duit pengemis sangatlah besar. Sebagaimana penghasilan gede para tukang parkir, pengamen, dan supeltas (sukarelawan pengatur lalu lintas).
Hitung saja, ketika satu pengemis terima 1000 perak dari pemberi. Kemudian, dalam sehari penuh dari pagi hari hingga sore dikalikan dengan 100 pemberi. Uang diterima di kantong sudah tembus 100 ribu rupiah. Bagaimana ketika dari sebagian orang yang mendermakan mengasih 5 ribu atau 10 ribu. Andai kata jumlah pemberi 10 orang saja. Silakan hitung sendiri totalnya.
Keuntungan cuma-cuma di atas diperoleh dengan mudah. Hanya dengan buang-buang waktu. Kalau pun perlu tenaga, dikeluarkan untuk jalan kaki saja. Andai kata dibutuhkan otak untuk berfikir, itu sekadar dipakai demi bisa menemukan cara agar para pemberi mudah bersimpati sehingga merasa ringan tangan untuk mengasih uang ke saku mereka.
Uniknya, banyak juga pengemis yang menerima uang tanpa perlu berkata-kata serta menggerakkan badan. Modalnya cuma menengadahkan tangan atau seenggaknya menaruh umplung, kardus kecil, dan batok di depan tempat duduknya. Sungguh bikin terenyuh serta merinding bagi insan polos nan lugu ketika melihat pemandangan kaum yang pura-pura miskin itu.
Disebut pura-pura miskin lantaran masih banyak orang yang jauh lebih kekurangan, menderita, dan kesulitan hidupnya tapi enggak mau menjadi pengemis. Mereka memiliki prinsip hidup "Tangan di atas lebih baik daripada di bawah". Kendati demikian, mereka tentu bakal memberi uang kepada pihak yang tepat. Contohnya sedekah pada pesantren, Masjid, panti asuhan Yatim Muslim, atau semacamnya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengemis sangat berbeda dengan tunawisma. Sebab, gelandangan atau tunawisma adalah orang yang tak memiliki tempat tinggal baik itu secara sewa maupun menumpang. Sedangkan, untuk pengemis mayoritas dari mereka masih memiliki hunian. Malahan rumah yang mereka punyai di kampung halaman tergolong mewah.
Maraknya Pengemis Online di Media Sosial
Akhir-akhir ini banyak ditemukan para pengemis online yang agresif melakukan "promosi" di media sosial. Baik itu di postingan akun mereka secara langsung, posting di beranda grup medsos, atau melalui komentar-komentar di postingan grup/komonitas. Terkadang tak jarang ditemukan yang nekat langsung inbox atau chat pribadi secara langsung.
Intinya, pengemis digital di medsos melakukan berbagai cara untuk mendapatkan akses komunikasi kepada para calon pemberi yang dianggap dermawan dan peduli. Strateginya yaitu cukup hanya dengan "bermain peran" layaknya artis yang menampilkan diri sebagai orang nelangsa, terzalimi, terbuang, dan merana.
Ilustrasi modus pengemis online (sumber gambar koleksi pribadi) |
Fenomena pengemis online yang kian marak di media sosial salah satu pemicunya disebabkan oleh pembatasan sosial di kurun waktu 2020-2022. Lagi pula kala itu tindakan meminta-minta di pinggir jalan, mengelilingi perkampungan, dan area bisnis sudah tidak menghasilkan lagi. Banyak warga yang enggan untuk bermobilitas dan beraktivitas di luar rumah.
Diimbuhi lagi, terdapat kebijakan tegas oleh aparat pemerintah daerah yang mengusir para pengemis. Begitu pula Ketua RT juga bertindak keras menolak kehadiran para pengemis yang beroperasi di lingkungan mereka. Alhasil, selain ruang gerak peminta-minta yang semakin kecil perolehan duit juga mengalami penurunan tajam.
Berhubung mental mengemis masih melekat di dada, sebagian dari jaringan pengemis itu memilih untuk tetap mengemis. Mirisnya, jiwa pengemis yang terlanjur lekat dalam diri tersebut juga diturunkan dan ditularkan pada keluarga. Salah satu alasannya, kerabatnya sudah tahu sendiri betapa mudahnya memperoleh uang lewat sindikat pengemis.
Nah, sasaran korban para pengemis bukan lagi pengguna jalan raya maupun warga pemilik rumah atau toko. Mereka telah mulai menjamah internet. Tentulah guna bisa mengakses internet butuh beli pulsa (paket kuota) dan telepon seluler. Aneh bukan? Kenapa bisa membeli dua hal tersebut tapi kok tetap saja ngemis-ngemis di medsos?
Pakai logika saja, para pengemis online di atas kenapa tidak memutuskan berhutang pada tetangga? Apakah mereka tak memperoleh bantuan sosial dari pemerintah? Mengapa enggak meminta bantuan pada keluarganya? Sungguh tak rasional untuk urusan uang harus membawa-bawa dan melibatkan orang lain. Apalagi di medsos yang rawan dengan kebohongan.
Barangkali mengemis di dunia maya perlu butuh memutar otak agak lebih banyak dibanding pengemis di dunia nyata. Sebab, mereka dituntut kreatif dan produktif membuat konten (kata-kata, foto, sampai video) yang mampu menggugah suara hati pengguna medsos. Salah langkah saja, bukannya dapat simpati serta empati yang ada dihujat dan dipermalukan.
Baca juga Waspada pada Setiap Link dan Situs Mencurigakan yang Disebar di Medsos
Perlu diketahui saja, sekarang ini sudah banyak masyarakat pengguna internet yang cerdas. Mereka memiliki kesadaran tinggi serta pengetahuan tentang modus penipuan online. Jangankan yang mengemis di medsos yang diterapkan secara vulgar tanpa basa-basi, pengemis digital yang jago pura-pura sedang jadi "korban" dan terkena musibah enggak lagi mempan membuat warganet terperdaya.
Pelajaran yang dapat diambil yaitu pastikan uang yang disedekahkan diterima dan dimanfaatkan oleh pihak yang tepat.
(26/06/23/Banjir Embun)
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Fenomena Pengemis Online di Media Sosial"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*