Banjirembun.com - Setiap manusia pasti pernah ditimpa musibah. Baik itu kadar masalah yang dihadapi tampak sederhana maupun yang tingkat kerumitannya sangat memberatkan jiwa. Bahkan, kadang tanpa ada angin atau hujan tiba-tiba hati merasa dongkol dan gelisah begitu saja. Salah satu sebabnya karena dihantam oleh trauma kenangan masa lalu.
Kesedihan dan kekhawatiran merupakan tabiat setiap insan. Perbedaan satu dengan yang lainnya yaitu bagaimana cara masing-masing dalam menyikapi kepedihan dan ketakutan tersebut. Ada yang memutuskan untuk menjadi pribadi sabar dan ridho. Sebaliknya, ada pula yang memilih jadi manusia yang mengutuk atau marah besar pada Allah. Menuduh Dia tak adil.
Rasa sedih dan khawatir bagi kalangan tertentu yang mempunyai kadar iman kuat serta beraqidah lurus hanya dianggap makanan ringan sehari-hari. Dalam menghadapinya mereka tempuh melalui langkah berzikir, istighfar, dan berdo'a. Tentu langkah usaha (ikhtiar) secara nyata dalam mendapat solusi juga sudah dilakukan dengan bersungguh-sungguh.
Lebih lanjut, masalah hidup yang menimbulkan rasa pedih dan takut di hati seperti di atas kerap mendatangkan kegalauan. Di mana, biasanya hal itu disebabkan oleh angan-angan yang terlampau panjang jauh ke depan serta ambisi yang muluk-muluk. Tidak berfikir dan bersikap realistis yang disesuaikan dengan kondisi kebutuhan maupun kemampuan di masa sekarang.
Misalnya, ada seorang yang punya cita-cita mulia ingin menjadi orang kaya raya yang dermawan alias ahli sedekah. Tujuan memiliki harta banyak tersebut sangatlah idealis. Yakni, hendak menebeng (menumpang) dalam upaya mengeruk pahala lewat pengabdian yang dilakukan oleh tokoh agama seperti Kiyai dan Ustadz.
Pikirnya, biarlah mereka yang sibuk membimbing umat Islam melalui syiar dan dakwah. Sedangkan dia yang bakal membiayai seluruh kebutuhan lembaga pendidikan yang berada di naungan Kiyai dan Ustadz. Mulai dari membangun gedung, kebutuhan tokoh agama, sampai kebutuhan santri (buku agama, makan, minum, hingga peralatan mandi).
Termasuk pula teramat ingin menutup seluruh anggaran biaya kegiatan majelis taklim. Baik itu mulai dari urusan konsumsi untuk seluruh peserta pengajian, uang saku penceramah, maupun area bermain untuk anak-anak kecil beserta para pendamping mereka selagi para orang tuanya sedang menuntut ilmu.
Intinya, dia ingin fokus cari uang sebanyak-banyaknya agar bisa memakmurkan kegiatan keagamaan di Masjid dan Pesantren. Supaya para jamaah dan kaum Muslim pada umumnya tertarik untuk mengikut kegiatan-kegiatan agama Islam. Maksudnya, ia tak hanya ingin bersedekah jumlah besar pada individu ahli agama yang sedang mengabdi pada umat.
Dia punya harapan besar yaitu ingin memenuhi semua kebutuhan umat Islam yang terkait dengan kaderisasi Umat Islam. Sayangnya, dengan polos atau lugunya dia berencana suatu saat ingin menyampaikan pesan khusus pada tokoh agama berupa "Mohon maaf, saya hanya bisa membantu uang. Tidak mampu menyumbang ilmu."
Setelah jeda sebentar dalam membatin dalam suara hati, dengan serius dia mengimbuhi "Biarlah saya yang sibuk cari uang. Pak Ustadz silakan menjaga keilmuan Islam dengan langkah mengajar santri di Pondok Pesantren ini dan berceramah pada jamaah. Tak perlu memikirkan biaya, semuanya bakal saya tanggung tanpa terkecuali apapun."
Itulah impian luhur dari seseorang yang ingin melestarikan nadi-nadi kehidupan masyarakat Islami. Ia berfikir lebih mudah dan praktis tatkala pilih jalan bersedekah kepada para tokoh agama ketimbang terjun sendiri langsung ke masyarakat. Di mana, hal itu dipandang sangat minim risiko. Enggak ada yang memfitnah dan tak perlu capek memperdalam ilmu.
Lagi pula, memenuhi semua keperluan untuk dakwah dan syiar Islam pasti pahalanya setara dengan mereka yang terlibat di dalamnya. Artinya, cukup dengan bersedekah sudah mendapat pahala setara dengan yang diperoleh para pengajar dan santri tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Sungguh terlihat keren bukan?
|
Beranda aplikasi al Quran digital (sumber gambar koleksi pribadi) |
Fakta di Lapangan Tak Sesuai Harapan
Kenyataannya, harapan di atas tidak sesuai dengan fakta yang sedang terjadi. Bisnis yang sedang digeluti mengalami pasang-surut. Artinya, terkadang mendapatkan untung besar tapi ada kalanya rugi bertubit-tubi. Keuntungan yang diperoleh seringnya cuma untuk menutupi kerugian yang dialami. Jangankan memikirkan kebutuhan umat Islam, mengurus diri dan keluarga saja kerepotan.
Nasib nelangsa yang menerpa akhirnya berujung pada perasaan sedih dan khawatir. Sedih lantaran usaha dagang yang digeluti tak kunjung meroket. Khawatir karena merasa hidupnya enggak berguna dan tak bisa bermanfaat bagi sesama. Akibatnya, muncul dalam pribadi sebuah pertanyaan "Bagaimana aku bisa mendapatkan pahala kalau kondisi diri sendiri saja tetap miskin begini?"
Frustasi, depresi, stres, pusing, putus asa, rasa salah diri, dan penyesalan semuanya berkecamuk jadi satu. Mulai bertanya-tanya "Apa yang salah pada diriku?" Lantas seolah menggugat pada Allah "Padahal niatku baik, ingin memudahkan diri dalam mencari pahala serta ingin menyemarakkan aktivitas umat Islam, kenapa kehidupanku justru semakin sulit begini?"
Syukurnya, tak lama sesudah itu dia memutuskan sowan (bertamu) pada Kiyai yang menjadi panutannya. Dia memang ingin berkeluh kesah sekaligus meminta nasihat pada tokoh agama kharismatik tersebut. Uniknya, di tengah suara gemuruh di hati ternyata para tamu yang datang silih berganti tanpa henti. Padahal, dia berniat ingin "curhat" berduan saja. Selain karena malu diketahui tamu lain, juga agar "bebas".
Sambil sungkem pada Kiyai tanpa disadari tetesan air mata terjun berlinang. Lisan terasa berat untuk berkata-kata. Tanpa aba-aba Abah Kiyai langsung menasihati dalam bahasa jawa yang artinya kurang lebih "Jika kamu istiqomah, urusanmu bakal dicukupi Allah. Sudahlah, percaya padaku. Aku tidak akan membohongi kamu."
Kemudian beliau membacakan al Quran Surat Yunus (62-64):
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
اَ لَاۤ اِنَّ اَوْلِيَآءَ اللّٰهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ
"Ingatlah wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati."
(QS. Yunus 10: Ayat 62)
Beliau lantas bertanya "Siapakah wali Allah itu?" Beliau melanjutkan:
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَكَا نُوْا يَتَّقُوْنَ
"(Yaitu) orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa."
(QS. Yunus 10: Ayat 63)
Artinya, kalau kamu bertakwa, kebutuhanmu pasti dijamin Allah. Tidak ada yang bisa merubah. Baik itu mengurangi atau pun menambahi.
لَهُمُ الْبُشْرٰى فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَفِى الْاٰ خِرَةِ ۗ لَا تَبْدِيْلَ لِـكَلِمٰتِ اللّٰهِ ۗ ذٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ
"Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi janji-janji Allah. Demikian itulah kemenangan yang agung."
(QS. Yunus 10: Ayat 64)
Itu semua sudah menjadi ketetapan Allah. Ketika bisa bertaqwa itulah yang disebut dengan sukes.
Baca juga Kemiskinan Adalah Takdir, Lantas Mengapa Gelisah?
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Al Quran Surat Yunus Mengajarkan untuk Tidak Sedih dan Tak Khawatir pada Masa Depan"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*