Banjirembun.com - Sakit jiwa masih kerap dikaitkan dengan orang gila yang benar-benar kehilangan akal budi, sehingga tak bisa bersanding hidup bersama dalam tatanan sosial masyarakat luas. Dianggap bahwa individu sakit jiwa harus dirawat dan disembuhkan di rumah sakit jiwa.
Nyatanya, sakit jiwa itu bermacam-macam jenisnya. Begitu pula gejalanya juga tak boleh disamakan. Artinya, bisa saja orang yang kelihatannya waras tanpa tanda-tanda mengalami gangguan mental, malah sejatinya menderita sakit jiwa. Di mana, kondisi batang otaknya terdapat kerusakan fisik.
Nah, untuk tahu orang tersebut mengalami gangguan jiwa atau enggak cara mengukurnya sudah jelas. Salah satu yang paling utama yaitu memeriksa hal-hal yang terkait dengan otaknya. Tatkala "dipindai" menggunakan teknologi medis ada masalah, berarti setidaknya dikatakan berpotensi mengalami sakit jiwa.
Beberapa ahli bidang kesehatan mental di barat dalam mengukur, menilai, dan menemukan kejanggalan masalah mental individu bukan sekadar dengan mengamati, pelacakan riwayat medis, dan mewawancarainya. Lebih penting malahan pemeriksaan fisik pada otak para pasiennya.
Gangguan Jiwa Mempengaruhi Emosi, Pola Pikir, dan Perilaku Individu
Gangguan jiwa ringan maupun berat dapat mempengaruhi tiga aspek berikut meliputi: 1) Emosional (marah, sedih, takut/cemas, jijik, terkejut, gembira, dan lain-lain), 2) Pola pikir (cara pandang, paradigma, fanatisme, filosofi hidup, prinsip hidup, dan lain-lain), hingga pada 3) Perilaku seseorang.
Sayangnya, fakta di lapangan menunjukkan yang sering terjadi ialah guna menilai seseorang dikatakan waras atau sakit jiwa, tolok ukurnya cuma pada perilaku. Misalnya orang yang cenderung menyendiri dikatakan anti sosial sehingga pantas disebut terserang sakit jiwa.
Padahal belum tentu demikian. Sebab, boleh jadi tubuh terlihat sendiri tetapi jiwa (emosional) dan pola pikir tetap terjaga kesehatannya. Asumsinya, kesendirian sangat berbeda dengan kesepian. Justru, bisa jadi walau di tengah kebersamaan serta keramaian yang ada tetap mengalami kesepian akut.
Baca juga Perbedaan Kesendirian dan Kesepian
Akibatnya, walau perilakunya seolah baik-baik saja ketika emosi dan pola pikirnya sudah rusak boleh jadi mengarah ke gangguan jiwa. Contohnya orang yang terlihat kumpul bersosialisasi bersama individu lain tetapi kenyataannya emosi dan pola pikirnya telah menyeleweng serta terbodohi (terdoktrin).
Temuan yang dapat dijadikan bukti nyata tak terbantahkan berupa komunitas sekte sesat. Di mana, pemimpin sekte tersebut mengajak bunuh diri kepada para pengikutnya. Anehnya, para anggota dengan senang hati mengikuti ajakan manusia yang dianggap punya kekuatan mistis tersebut.
Ilustrasi keseimbangan pola pikir, kestabilan emosi, dan perilaku yang normal (Sumber gambar dari Pixabay) |
Kasus lain yang tak kalah mengerikan adalah kelompok teroris yang rela melakukan bom bunuh diri. Otak mereka telah dicuci habis-habisan oleh para penghasut (provokator). Awalnya mereka memang berkeyakinan bahwa bunuh diri itu salah dan haram. Akan tetapi, berhubung dibohongi bikin pola pikirnya berubah total.
Walau perilaku para pengidap sakit jiwa di atas yang "semangat" berbuat bundir terlihat baik-baik saja, nyatanya pola pikirnya telah mengalami gangguan hebat. Bahkan, barangkali emosinya juga terlihat stabil. Alhasil, bagi orang awam mereka sungguh sulit dikatakan sebagai pengidap gangguan jiwa.
Dari sini dapat diambil pelajaran, tidak semua individu yang memiliki perilaku yang tergolong normal dan emosinya tampak stabil serta merta bisa disebut manusia waras, sehat akal budinya. Bisa jadi dari segi pola pikirnya mengalami sakit jiwa yang teramat parah.
Konsekuensi mempunyai pola pikir yang rusak, terkadang bukan hanya membuat masa depan seseorang jadi gelap alias suram. Lebih mengerikan lagi orang-orang di sekitar memperoleh imbasnya. Baik itu secara langsung maupun tak langsung.
Nah ketika menemukan orang yang mengalami kerusakan pola pikir, lebih baik dijauhi saja. Enggak mesti menunggu mereka mengajak bunuh diri dulu atau bertindak melawan sisi kemanusiaan. Ingat selalu, untuk menjadi waras enggak harus mengikuti alur gerombolan yang pola pikirnya ganjil.
Baca juga 5 Paradigma Orang Kaya dalam Memahami Kehidupan
Saat paradigma, cara pandang, fanatisme, prinsip hidup, hingga filosofi hidup individu tertentu telah disadari tampak menyimpang lebih bijaknya seketika jaga jarak saja. Sekali lagi ditekankan, meski perilakunya seakan normal dan emosinya terlihat stabil tetap tinggalkan saja mereka ketimbang terkontaminasi.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Perilaku Tergolong Normal dan Emosinya Tampak Stabil, Tapi Kenapa Masih Bisa Disebut Sakit Jiwa?"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*