Banjirembun.com - Saat pertama kali muncul gejala penyakit ini saya benar-benar sudah siap dengan kemungkinan terburuk. Saya telah mantap dan siap tanpa beban menghadapi kematian. Mungkin ada yang sinis sambil bilang "Apakah amal ibadah dan pahala telah cukup untuk bekal?".
Saya akan balik tanya, apa sih yang bisa diharapkan dari pahala? Bukankah mendapatkan ridho Allah SWT jauh lebih utama? Buat apa rajin ibadah tapi nyatanya tidak ridho pada takdir Allah SWT. Bukankah Dia akan ridho pada hamba yang juga ridho pada-Nya.
Penyakit dan kematian di usia produktif juga bagian dari takdir. Tumpukan pahala di masa lalu tak akan ada artinya lagi ketika murung dan kecewa dalam menerima takdir dari-Nya. Sebaliknya, bertaubat dan berprasangka baik pada Allah SWT bakal jadi bekal luar biasa.
Buat apa pula tetap cinta dunia kalau akhirat sudah di depan mata? Lebih baik terus bermunajat pada-Nya agar setelah mati diberikan kebahagiaan. Mendapatkan nikmat kubur serta diperlancar menuju surga firdaus tanpa melalui proses hisab maupun azab.
Kini Ujian Penyakit ini Terasa Jadi Berat
Entah bagaimana tiba-tiba saya merasa berat menghadapi penyakit ini. Ingin segera sembuh total lalu melakukan aktivitas seperti dulu lagi. "Kenikmatan" menghadapi penderitaan atau ujian selama merasakan gejala penyakit sudah mulai musnah. Hidup jadi terasa hambar. Hati semakin sulit dikendalikan.
Saya sempat yakin betul bahwa penyakitku ini akan mengurangi bahkan menghapus semua dosa-dosa. Beberapa waktu lalu saya juga sangat percaya kalau terjadi kematian, itu merupakan pilihan terbaik dari Allah SWT. Serta mengimani bahwa surga dan neraka memang nyata.
Saya dulu saat gejala sakit parah sudah rela menjadi pecundang di dunia. Nama tercoreng, harga diri sudah tak ada nilai lagi, dan tersisihkan dari orang-orang yang dimuliakan. Mati dalam keadaan hina di mata manusia. Serta saya menganggap ghibah dan fitnah yang menimpa bakal memperoleh balasan indah di akhirat kelak.
Kini, seakan saya telah kehilangan motivasi mendapatkan surga. Lebih memilih (atau lebih tepatnya) masih ingin menikmati kehidupan dunia. Padahal saya sadar betul kenikmatan surga itu tak sebanding dengan apapun. Di sana, banyak hal menakjubkan yang tersedia untuk jadi alasan bahagia.
Baca juga: Bertaubatlah! Ini 5 Hal Menakjubkan yang Didapat Penghuni Surga
Perasaan ingin mengalahkan dan mau memberikan pembuktian pada manusia lain merupakan salah satu penyebab enggan sakit maupun mati. Jiwa ini masih diliputi penasaran. Ibarat main game, ini merupakan fase paling seru dan penuh semangat. Amat sayang untuk ditinggalkan begitu saja.
Gejolak ingin membalikkan keadaan sungguh membara. Obsesi mengumpulkan perhiasan dunia kembali menggerogoti. Angan-angan menaklukkan tantangan begitu terngiang. Kehidupan ini seolah sangat berat untuk ditinggalkan. Betapa nistanya diri ini yang lupa akan adanya hari kebangkitan.
Baca juga: Tiga Level Ujian dari Allah untuk Manusia Beriman, Jangan Mengaku Iman dan Taat Sebelum Lolos Level Ketiga
Astagfirullah, mungkin inilah yang disebut ujian hidup yang paling berat? Yakni, sebuah cobaan untuk mampu melawan dan mengalahkan diri sendiri. Agar bisa kembali ke jalan lurus. Penuh harap mati dalam keadaan tenang tanpa diliputi rasa penyesalan dan kehilangan dunia.
Semoga Allah SWT merahmati serta mengampuni dosa-dosa saya. Semoga Dia mengharumkan nama saya di kalangan penduduk langit. Roh saya dihormati oleh para malaikat. Kemudian, bisa bertemu dengan Nabi Muhammad SAW di telaga kausar dan surga firdaus. Aamiin.
Disclaimer: Tulisan ini saya buat sendiri saat gejala penyakit masih ringan. Lantas saya jadwal rilis atau posting otomatis pada tanggal yang telah saya tentukan. Disesuaikan dengan perkembangan gejala penyakit.
Tulisan milik *Banjir Embun* lainnya:
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Beginikah yang Disebut Ujian Hidup yang Paling Berat?"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*