Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Bukan Adu Otot, Inilah Kasus "Kuat-kuatan" yang Aku Alami

Banjirembun.com - Kuat-kuatan alias adu kuat enggak cuma terkait otot, tenaga, atau gerakan fisik yang kokoh. Kuat-kuatan masalah mental malah lebih wajib diterapkan. Lagi pula buat apa punya postur tubuh berotot dan perkasa? Tetapi nyali dalam mempertahankan diri ciut saat diintimidasi secara "samar-samar".


Justru, mental baja sangat penting dimiliki seseorang. Terutama bagi mereka yang hidup di perkotaan. Tujuannya agar terhindar dari rasa takut, minder, patah semangat, bimbang, ragu, cemas, dizalimi, diakali, ditipu, atau bentuk lainnya yang merugikan diri. Oleh sebab itu, jagalah kesehatan mental senantiasa kuat.


Sekali lagi, ditekankan bahwa makna "kuat" di sini bukan untuk menyerang maupun mengalahkan orang yang menzalimi. Melainkan bertahan dari potensi menerima serangan, tipu daya, tingkah semena-mena, mau menang sendiri, merasa benar sendiri, atau perilaku buruk lain yang berisiko buat rugi kita.


Dalam konteks umum pada kehidupan masyarakat urban, tindakan agresif paling sering disebabkan oleh beban ekonomi dan sikap individualis. Sayangnya, faktor finansial itu bukan hanya demi memenuhi kebutuhan pokok. Melainkan untuk meladeni gaya hidup yang ingin tampil mewah sehingga bisa dipandang kaya raya. 


Dalam artian, mereka rela adu kekuatan mental dengan mitra atau konsumen yang maksudnya hendak memperoleh keuntungan duit sebesar-besarnya. Padahal, laba atau selisih modal dengan harga jual barang/jasa sudah cukup. Namun, lebih pilih ambil untung gede dengan langkah mengakali dan "memeras".


Baca juga Perilaku Pihak Penjual, Sales, dan Broker Jual Beli Properti yang Patut Diwaspadai


Nah, jangan terkecoh sama tampilan siapapun yang kelihatannya sederhana dan alim (agamis). Sejatinya, apa yang mereka tampilkan terkadang amat tidak menggambarkan kondisi sebenarnya. Artinya, mereka tampil sederhana agar dikasihani konsumen. 


Tentu, sasaran "korban" yang jadi konsumennya juga mesti kalangan kelas menengah ke bawah. Kalau calon pembeli atau pengguna jasa merupakan kalangan atas, kadang sebaliknya mereka bakal dituntut untuk tampil "berkelas". Kendaraan pakai mobil, baju rapi klimis, dan gaya bahasanya seperti kaum elit.


Dengan berpenampilan sederhana dan cenderung agamis (pakai peci, busana khas agama, atau semacamnya) para calon "korban" berpeluang menjadi iba, simpati, dan empati. Asumsinya, mereka enggak terlalu banyak menawar harga. Penyebabnya, kalaupun kemahalan dianggap saja sebagai sedekah.


Lebih-lebih telah bersedekah pada orang yang dinilai tepat. Yakni, orang yang ekonominya sulit serta taat beragama. Faktanya, itu hanya sebagai modus. Orang yang punya mental "menipu" secara halus tersebut, hidupnya berkecukupan dengan simpanan uang besar. Serta, dalam kehidupan sehari-hari jauh dari religius.


Kasus "Kuat-kuatan" yang Pernah Aku Alami

Kasusku yang pertama kuat-kuatan mental adalah ketika aku pesan taksi online melalui aplikasi di HP pada tahun 2018-an. Titik penjemputanku di rumah Ibadah. Sedang titik akhir berada di daerah lereng gunung yang jalannya terkenal berliku-liku serta naik turun tajam sekali.


Kala itu, algoritma aplikasi tak seperti sekarang. Posisi konsumen alias pengguna aplikasi bagaikan raja. Ditambahi, rata-rata driver ingin performa bintangnya tetap sempurna tanpa cacat maupun ogah tercatat dalam sistem dirinya pernah "cancel" pelanggan. Itu semakin memanjakan konsumen. 


Bisa dikatakan, sebagai konsumen nilai posisiku unggul. Waktu itu, aku melakukan pesan jasa taksi online di aplikasi. Untungnya sesuai prediksiku, driver enggan menerima orderan pengantaran penumpang dariku. Mungkin alasannya medan yang akan dilewati sangat merugikan pengemudi taksi online.


Waktu itu, aku putuskan untuk terus menunggu sampai sopir taksi tersebut meng-cancel. Pikirku, biarlah aku tetap sabar menunggu kepastian darinya yaitu cancel atau terima order. Aku tetap memelototi layar HP yang menunjukkan aplikasi sedang bersusah payah "menyambungkan" aku ke sopir.


Aku berpikir, andai aku yang mengcancel berakibat aku nanti kesulitan menemukan driver lain sebagai pengganti. Apalagi, kala itu hari sudah sore menjelang malam. Akhirnya, kuputuskan terus menunggu yang sudah "diproses". Alhasil, setelah beberapa menit driver tersebut menyerah sehingga menerima orderan dariku untuk pengantaran.


Jika mental aku tak kuat lantaran merasa kasihan, enggak sabar menunggu, atau ragu maka sudah barang tentu pihak yang diuntungkan adalah driver online. Sebab, dia seolah-olah pihak yang dizalimi olehku. Di mana, tanpa alasan atau keterangan detail mengapa aku melakukan cancel begitu saja.


Kasus kedua ialah saat aku adu kuat-kuatan mental dengan sales, makelar, atau marketing properti. Dia sering menghubungiku. Parahnya, gaya bicara dan pilihan kata yang dikeluarkan dari mulutnya sangat lihai. Lidahnya begitu licin mengeluarkan ucapan-ucapan yang berpotensi bikin aku tergoda dan terpana.

Ilustrasi kuat-kuatan mental di halte bus saat ditawari naik bis umum yang bukan pilihan (sumber foto koleksi pribadi)


Berhubung waktu itu aku enggak terlalu buru-buru ingin punya rumah, butuh hitung-hitungan dulu, serta aku masih ingin mencari alternatif pilihan lokasi perumahan lainnya bikin aku teguh pendirian. Itulah beberapa dari sekian alasan yang membuat kesehatan mentalku terjaga


Saat dia kerap meneleponku, dia punya banyak dalih yang bikin aku mudah terperdaya. Parahnya, dia ogah mau memberikan informasi seutuhnya ketika aku tanya-tanya.


Bayangkan, bila nafsuku ingin segera punya rumah menggebu-gebu serta tak mencari perumahan lain sebagai perbandingan, tentu aku mudah termakan rayuannya. 


Dengan demikian, salah satu cara agar mental kuat saat transaksi yaitu hindari terburu-buru dan terlalu fanatik pada satu pihak saja. Carilah alternatif dulu.


Baca juga Pengalaman Pribadi Beli Rumah Murah 150 Juta, Sangat Dekat Kota Malang


Terakhir sebagai pamungkasnya, aku sebelum mengambil keputusan pada sesuatu akan mencari kepastian dulu. Bukan hanya persoalan berapa harga pasaran atau biaya yang wajar. Lebih dari itu, wajib menelusuri detailnya (ukuran, spesifikasi, bahan, durasi, dan lain-lain) supaya antara apa yang kubayar sebanding dengan yang kuterima. 






Baca tulisan menarik lainnya:

Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Bukan Adu Otot, Inilah Kasus "Kuat-kuatan" yang Aku Alami"

Posting Komentar

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*