Banjirembun.com - Pernah tahu manusia yang sudah usia sangat matang tapi belum memutuskan nikah? Apa juga menemukan seseorang yang sudah menikah tapi hidup tak bahagia lantaran merasa dipaksa keadaan? Boleh jadi, kedua permasalahan tersebut salah satu faktor utamanya adalah terlalu tingginya harapan yang diperparah mengabaikan kenyataan.
Harapan yang tak rasional biasanya berangkat dari rasa ketakutan. Contohnya, takut melakukan relasi di ikatan pernikahan karena khawatir bakal dikecewakan pasangan. Akhirnya, pilih membujang saja. Dia pilih-pilih pasangan yang standarnya wajib sesuai dengan kriterianya. Di luar itu tentu ditolak.
Sebagai jalan menyalurkan hasrat seksual, ditempuh dengan langkah menyibukkan diri. Bekerja dan berkarya totalitas yang membikin energi syahwat birahi bisa dijinakkan. Cara lainnya berupa imajinasi liar dari pikiran tentang sosok manusia sempurna yang layak dicintai olehnya.
Berkhayal memiliki hubungan dengan manusia ciptaan sendiri yang tak pernah ada di dunia nyata. Saking indahnya tubuh insan khayalan tersebut sangat sulit tergambarkan. Bahkan, lukisan maupun patung seperti apapun tak sanggup mendefinisikan nilai estetika darinya.
Alih-alih mengakui realitas yang tak sesuai harapan, justru yang ada menganggap khayalan sebagai kenyataan yang sesungguhnya. Itu semata-mata sebagai penghibur diri karena tak mampu, kecewa, takut, hingga trauma ketika mesti menerima kenyataan.
Alhasil, individu yang seperti di atas berubah menjadi sosok prefeksionis. Yakni, mendambakan kesempurnaan. Dia tak mau mempunyai pasangan nikah yang kualitas dan kualifikasi tak sesuai standarnya. Menurutnya, lebih baik pilih beraktivitas secara produktif untuk kebahagian diri sendiri.
Ujung-ujungnya, lantaran tidak menemukan kesempurnaan di dunia nyata pada akhirnya membangun dunia imajinasinya sendiri. Memilih fokus dengan dunia khayalan pribadi ketimbang berdamai dengan realitas yang terpampang jelas. Bisa dibilang semacam melarikan diri.
Memang, terkadang fakta lapangan tak sesuai dengan idealisme dan harapan. Namun, selama keinginan dan karakterisrik pribadi mampu beradaptasi dengan realitas sosial masyarakat senyampang itu pula seseorang mampu hidup normal.
Sebaliknya, ketika menyangkalnya ditambah penuh terpaksa atau berpura-pura menerima kenyataan berakibat ingin hidup menyendiri. Bahkan, memutuskan menarik diri dari kehidupan sosial. Meski terlihat berbaur tetapi isi hatinya kosong.
Ilustrasi seseorang yang mampu menghasilkan karya dari proses menyendiri ( sumber foto koleksi pribadi) |
Kendati diakui, menyendiri tak selalu berdampak negatif. Malahan, dengan asik hanyut pada dunianya sendiri tak mustahil mampu menghasilkan karya benda maupun teori yang berguna bagi peradaban manusia.
Sebagai bukti, banyak karya-karya tokoh dunia yang dihasilkan dari proses menyendiri. Misalnya, seperti Albert Einstein yang menghasilkan rumus E=mc² dari proses menyendiri di dalam kamar yang cukup lama.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Alasan Harus Sadar Tentang Adanya Perbedaan Antara Harapan dan Kenyataan"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*